blank
Erik Ten Hag saat mencium trofi Piala FA, yang berhasil dimenangkan timnya. Foto: dok/manutd

blankOleh: Amir Machmud NS

// mereka bagai berjalan/ di titian serambut dibelah tujuh/ itukah dunianya?/ berada di antara trofi dan ancaman suksesi/ senyaman apakah bergerak/ di dunia yang penuh spekulasi itu?//
(Sajak “Dunia Pelatih”, 2024)

BARU saja, Asosiasi Sepak Bola Arab Saudi (KFA) mengumumkan pemecatan pelatih nasional Roberto Mancini. Ya, akhirnya…

Seharusnya, pelatih asal Italia itu bertugas sampai 2027, namun hasil kurang meyakinkan dalam kualifikasi Piala Dunia Grup C Zona Asia mempercepat keputusan KFA.

Mancini, yang pernah sukses bersama Manchester City, Internazionale Milan, dan memberi trofi Euro 2020 kepada Italia, mencatat tujuh kemenangan, lima kali seri, dan enam kekalahan selama menangani The Green Falcon. KFA pun memutuskan untuk memecat Mancini lebih cepat.

Saat menukangi timnas Arab Saudi, dia menjadi pelatih termahal dunia dalam sejarah dengan gaji Rp 413 miliar per musim. Artinya, KFA harus mengompensasi hak Mancini sebelum masa kontraknya selesai.

Sementara itu, di Liga Primer, Erik Ten Hag makin dekat dengan pemecatan dari Manchester United. Hasil seri 1-1 melawan Fenerbahce di Liga Europa, dua hari lalu memperkuat kemungkinan itu. Tinggal menunggu hari-hari manajemen MU menetapkan, bahwa tidak ada jalan yang lebih tepat untuk membuat penyegaran selain dengan memberhentikan pelatih asal Belanda itu.

Ten Hag benar-benar sudah di ujung tanduk. Hingga sejauh ini, performa The Red Devils belum kunjung berkembang. “Bedah jantung” yang pernah disampaikan pelatih sebelumnya, Ralf Rangnick, sudah diterjemahkan manajemen MU dengan merombak skuad, namun labilitas permainan Manchester Merah masih menjadi persoalan yang belum mendapat kunci jawaban sejak dari 2013, ketika Alex Ferguson memutuskan pensiun. Berganti-ganti manajer belum mendatangkan perbaikan bagi Setan Merah.

Batas Tipis
Persoalan Mancini dan hari-hari yang dihadapi Erik Ten Hag adalah gambaran yang menegaskan, pelatih berada dalam posisi spekulasi, batas tipis antara “aman” dan “tidak aman”, antara cocok dan tidak cocok, atau antara sukses meraih trofi atau gagal menunjukkan daya saing.

Apakah ”dunia pelatih” seperti ini adalah bentuk lain dari risiko profesionalitas? Atau ini hanya konsekuensi dari spekulasi-spekulasi ketika dia menerima pinangan untuk menangani klub tertentu? Menemukan atau tidak menemukan chemistry dalam menerapkan filosofi dan taktik permainan?

Buktinya, kita mengenal Arne Slot, yang tampak segera cocok begitu dipercaya untuk meneruskan tugas Juergen Klopp di Liverpool. Mikael Arteta juga terlihat pas melanjutkan kiprah Unai Emery bersama Arsenal sejak 2019.

Kecocokan pelatih yang langsung ber-chemistry dengan klub juga dirasakan oleh Hansi Flick, pengganti Xavi Hernandez di Barcelona.

Blaugrana kembali menjelma menjadi kekuatan di La Liga. Barca sungguh meyakinkan. Raphinha dkk baru sekali kalah dari 10 laga di liga. Penampilan di Liga Champions ketika melibas Bayern Muenchen 4-1 empat hari lalu, menunjukkan mereka sebagai raksasa Eropa.

Menjelang El Clasico melawan Real Madrid, hasil meyakinkan ketika mengalahkan Bayern menjadi modal penting. Konsistensi taktik Hansi Flick akan diuji oleh kematangan Carlo Ancelotti.

Sementara itu, Alex Ferguson, ketika mulai meracik MU dari 1986, baru pada 1990 meraih gelar, lalu meraih sukses dan bertahan hingga 2013. Juga Jose Mourinho, yang membersamai Chelsea dalam rekatan kimiawi dari 2003.

Yang agak berbeda adalah Pep Guardiola. Selepas meninggalkan Barcelona pada 2012 dengan membukukan 14 trofi, dia menangani Bayern Muenchen dengan raihan tiga gelar Bundesliga, dua Piala Jerman, satu Piala Super UEFA, dan Piala Dunia Antarklub. Lalu bersama Manchester City hingga sekarang Pep meraih 17 piala.

Dia tercatat sebagai manajer yang paling lama bertahan di klub Premier League saat ini. Pelatih asal Spanyol itu datang ke Manchester Biru pada 2016, ketika di Liga Primer masih ada “datuk-datuk” Arsene Wenger (Arsenal), Jose Mourinho (Manchester United), dan Juergen Klopp (Liverpool).

Di The Citizens, Pep boleh dibilang tidak pernah dirongrong ancaman pemecatan. Ya, karena City betul-betul stabil di level utama, ketika tim-tim rival seperti Arsenal, MU, Chelsea, Liverpool, dan Tottenham Hotspur berkutat dengan problem stabilisasi permainan.

Dalam wawancaranya dengan Sky Sports sebagaimana dikutip detik.com (24/10-2024), manajer 53 tahun itu menguraikan, “Ketika Anda sudah sembilan tahun (di pekerjaan ini), Anda jadi yang terlama. Di dalam sepak bola, jika Anda tidak juara, atau Juergen pensiun, ketika Anda tidak menang, maka Anda mengganti manajernya. Inilah dunia kami”.

“Jawaban sederhananya, saya masih di sini karena kami juara. Kalau tidak, saya tidak akan di sini — bahkan rasa hormat dan kepercayaan yang kami miliki satu sama lain tidak ada pada hierarki dengan saya, dan saya dengan hierarki — saya tidak akan berada di sini. Anda memang harus juara di dalam bisnis ini. Ini adalah satu-satunya pekerjaan ketika orang-orang sangat menuntut untuk mendepak Anda. Di dalam profesi kami, Anda harus menerimanya,” ungkap Pep.

Syarat Kesiapan
“Kesadaran posisi” itu, bagaimanapun adalah bukti bahwa salah satu syarat pelatih adalah kesiapan untuk berjalan dengan segala kemungkinan: antara terus dipercaya, atau menerima kenyataan diberhentikan.

Roberto Mancini boleh jadi sukses di luar tugasnya sekarang, namun chemistry-nya dengan The Green Falcon boleh jadi tidak dalam kondisi “pas”, dan dia gagal membawa tim ke performa terbaik untuk lolos ke Piala Dunia 2026.

Sedangkan Erik Ten Hag, seperti deretan pelatih pasca-Alex Ferguson, belum berhasil membentuk MU dalam kekuatan yang mampu bersaing di level elite Liga Primer musim ini.

Kecocokan, timing, juga formula yang tepat acapkali menjadi penentu kesuksesan seorang pelatih. Kita pasti dibuat berpikir dengan penuh spekulasi, siapa pun nanti pengganti Mancini, Ten Hag, atau yang lainnya.

Tak semata-mata suar karena nama besar…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah ==