Tri Hutomo dsaat terima kuasa monitoring dari Ketua Lingkar Juang Karimunjawa Bambang Zakariya

JEPARA (SUARABARU.ID) – Proses persidangan 4 terdakwa petambak Karimunjawa  yang digelar sejak 25 Juni 2024 di Pengadilan Negeri Jepara telah  memasuki tahap tuntutan.

Para terdakwa  didakwa melanggar pasal “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (2) jo pasal; 33 ayat (3) UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Eko Sistemnya dan / atau tindak pidana di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kreiteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (1) UU RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Para terdakwa duduk di kursi tersangka karena tidak kooperatif pada tahap pembinaan, atau dilakukannya langkah preventif oleh instansi yang berwenang. Dari 25 pelaku tambak, ada 4 orang yang memilih jalur hukum yaitu Teguh Santoso Bin Sumarno, Sutrisno Bin Sunardi, Sugianto Limanto Bin Tri Santoso Limanto, Perkara Nomor Mirah Sanusi Darwiyah Binti Tular.

Tri Hutomo yang mendapat surat kuasa monitoring perkara dari kelompok masyarakat Lingkar Juang Karimunjawa (LINGKAR), menyatakan akan terus komitmen mengawal persoalan ini sampai tuntas, karena sudah memasuki tahapan putusan. “Kami akan menyampaikan semua hasil monitoring jalannya persidangan dari awal sampai menjelang pembacaan tuntutan oleh JPU, kepada Lembaga Pengawas Eksternal, “terang Tri

Dalam beberapa catatan yang akan disampaikan, diantarannya adalah tentang jalannya proses persidangan pelanggaran UU Lingkungan Hidup maupun UU Konservasi yang  dilihat belum maksimal, karena JPU maupun Hakim sendiri belum pernah melihat kondisi fakta lapangan tentang tambak udang yang diperkarakan (perihal kawasan konservasi maupun lingkungan hidup), sehingga JPU tidak melakukan pendalaman pertanyaan kepada para saksi yang dihadirkan, maupun kepada para terdakwa. Hanya terkesan formalitas dan cenderung mengikuti opini yang dibuat oleh pihak terdakwa.

Hakim Pemeriksa Perkara dalam memeriksa dan menilai keterangan ahli di persidangan harusnya menguji kesesuaian dengan ilmu pengetahuan dan diterima oleh komunitas ilmu pengetahuan, relevansi antara bukti ilmiah dan pendapat ahli dengan fakta dalam pembuktian didasarkan pada teori dan/ atau metode.

Sehingga Hakim maupun JPU tidak terbawa oleh opini-opini yang sengaja dimunculkan dipersidangan oleh pihak terdakwa, untuk mengalihkan fakta yang sebenarnya. “Misalnya,  dalam memeriksa bukti ilmiah yang diajukan dalam proses persidangan perkara lingkungan hidup, Hakim harus mempertimbangkan ketepatan metode dan validitas prosedur pengambilan sampel dengan memperhatikan akreditasi laboratorium serta pendapat ahli dari kedua belah pihak,” ungkap Tri Hutomo

Lebih lanjut ia menjelaskan, apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ahli, Hakim juga dapat meminta dihadirkan ahli lain atas biaya para pihak atau menggunakan pendapat ahli yang dianggap benar dengan memberikan alasannya dalam pertimbangan hukum.

Dalam hal pembuktian kesesuaian kegiatan/usaha dengan penataan, Hakim juga bisa memeriksa dan menilai dalam hal konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang atau persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang oleh pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang dan kesesuaian lokasi suatu kegiatan/usaha dengan rencana tata ruang yang berlaku.

Hal lain menurut Tri Hutomo adalah penerapkan Asas Kehati-hatian apabila terdapat ketidakpastian dalam Bukti Ilmiah pada suatu perkara lingkungan hidup. “Dengan mempertimbangkan ancaman serius yang berpotensi tidak dapat di pulihkan baik ancaman terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan manusia generasi saat ini dan generasi yang akan datang, terdapat ketidakpastian ilmiah dalam menentukan hubungan kausalitas antara kegiatan/usaha dan pengaruhnya pada lingkungan hidup; dan upaya pencegahan kerusakan lingkungan lebih diutamakan meskipun upaya pencegahan tersebut membutuhkan biaya yang lebih besar daripada biaya awal rencana kegiatan/usaha.

Ia mengungkapkan, dengan catatan hasil monitoring yang akan disampaikan kepada 9 (Sembilan) lembaga pengawas eksternal, yaitu Kompolnas , KPK, Kemsetneg, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Yudisial, Kemenko Polhukam RI, BPK, Ombusman, dan Komnas HAM RI harapannya supaya dapat menegakkan, mengawasi dan memantau semua proses hukum yang berjalan di PN Jepara, serta seluruh instansi pemerintah ataupun pada setiap instansi yang berkaitan dengan perkara pidana yang didakwakan kepada 4 (empat) pelaku usaha tambak ilegal di Kawasan Strategi Pariwisata Nasional (KSPN) Karimunjawa.

Dengan pemantauan ini diharapkan bisa menghasilkan putusan yang berkualitas, bisa dipertanggungjawabkan dan bisa memberikan kepastian hukum kepada tujuh (7) kelompok masyarakat yang selama ini terdampak adanya kegiatan usaha tambak illegal di Kawasan Strategis Pariwsata Nasional Karimunjawa.

“Karena dari awal kita sampaikan bahwa penindakan ini adalah murni karena pelanggaran-pelanggaran para petambak terhadap undang-undang dan aturan negara, jika memang terbukti merusak ekosistem, merugikan masyarakat dan negara para pelaku harus dihukum seberat-beratnya,” pungkasnya.

Hadepe