SPEKTAKULER, gelaran Tari Gambyong massal yang dimainkan seribu orang penari, Rabu (11/9/24), digelar di Lapangan Pakelsari, Desa Ketos, Kecamatan Paranggupito (sekitar 70 Kilometer arah selatan Ibukota Kabupaten Wonogiri).
Paranggupito, merupakan satu-satunya kecamatan di wilayah Solo Raya yang memiliki pantai dan menjadi destinasi wisata bahari. Juga terkenal sebagai objek wisata spiritual, karena memiliki event wisata budaya Labuhan Laut Selatan setiap Bulan Sura. Pantai Paranggupito, secara gaib diyakini menjadi salah satu Gerbang Ratu Kidul.
Pentas flashmob seribu penari Gambyong, diiringi oleh Group Seni Karawitan Sekar Arum. Ini menjadi event spektakuler dalam memeriahkan Hari Jadi Ke-32 Kecamatan Paranggupito, Kabupaten Wonogiri. ”Gelar budaya ini, merupakan kerjasama oleh delapan desa se Kecamatan Paranggupito,” jelas Camat Paranggupito, Catur Susilo Prono.
Dalam memperingati Hari Jadi Kecamatan Paranggupito Ke-32, juga digelar olahraga jalan sehat massal, pentas seni, pengajian akbar dan pentasyarupan santuan untuk anak yatim piatu. Bersamaan itu, juga digelar bazar produk unggulan oleh para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Dipentaskan pula Musik Campursari Sastro (Seniman-seniwati Paranggupito), dengan menghadirkan Bintang Tamu Rina Aditama.
Di Serat Centhini yang ditulis pada abad XVIII, nama Tari Gambyong diambil dari nama penciptanya, yakni Mas Ajeng Gambyong. Dia adalah seorang penari wanita dan sinden (waranggana) yang sangat terkenal.
Kemahirannya menari dan melantunkan suara merdu Mas Ajeng Gambyong, membuat populer di zamannya. Ia kemudian diundang ke Keraton Surakarta. Selanjutnya, Tari Gambyong banyak dimainkan untuk menyambut tamu kerajaan, atau dipentaskan di depan para bangsawan dan kaum priyayi.
Tari Gambyong, kemudian diperhalus geraknya dan dibakukan menjadi tarian klasik, yang ditampilkan di lingkungan Keraton Surakarta. Kreativitas ini, diawali oleh Nyi Bei Mintoraras, seorang seniwati dari Pura Mangkunegaran, yang menghasilkan Tari Gambyong Pareanom pada Tahun 1950.
Sakral
Dalam Buku Bauwarna Adat Tata Cara Jawa, karya Drs R Hamranto Bratasiswara (Yayasan Suryasumirat, Jakarta 2000), menyebutkan, Gambyong merupakan tari kebaktian persembahan kepada Dewa Dewi. Pada awalnya merupakan tari sakral (suci), diyakini dapat memberikan daya keramat.
Contoh pengeramatan Tari Gambyong, digelar pada menjelang panen padi oleh kaum agraris, untuk menyambut anugerah panen yang melimpah. Juga sebagai sarana penolak Sawan (gangguan aura negatif) pada anak yang sakit, agar segera sembuh dengan dimintakan bunga yang dipakai penari Gambyong.
Pada awal Abad Ke-20, Sri Mangkunegara VII, mengangkat Tari Gambyong di lingkungan Praja Mangkunegaran Surakarta. Yang kemudian dikembangkan menjadi berjenis tarian. Yaitu Gambyong Campursari, Padhasih, Gambir Sawit dan Pareanom.
Budayawan Jawa Peraih Anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM, yang Abdi Dalem Keraton Surakarta, menyatakan, manakala berpegang teguh pada pakem, maka Tari Gambyong akan mencitrakan karakter sajian yang berkesan bergas, wibawa, dan terselip keanggunan.
Iringan Tari Gambyong menggunakan gamelan Jawa Gending Pangkur dengan lantunan suara Sindhen Waranggana, berirama titi laras Pelog Pathet Nem. Terdiri dari beberapa bagian, yaitu Ladrang, Merong, Gobyogan dan Minggah. Teknik gerak yang dipadukan dengan irama iringan dan pola kendhangan, mampu menampilkan karakter tari yang luwes, kenes, kewes, dan tregel.
Busana dan kelengkapan asesoriesnya, mestinya juga harus baku. Di antaranya adalah kain jumputan, kain jarik, sampur, stagen, kamisol, sanggul, subal, aksesoris bros, cundhuk mentul, cundhuk jungkat, kalung, gelang, bunga, dan giwang. Gemulai Penari Gambyong, menggambarkan sebuah kelembutan dan keindahan seorang wanita.(Bambang Pur)