Laporan Hari Jadi Blora Ke-270
Catatan : Wahono
BLORA (SUARABARU.ID) – Rabu wage 11 Desember 2019, Kabupaten Blora sudah menapak usia ke-270 (11 Desember 1749-11 Desember 2019). Kabupaten dengan 295 desa-kelurahan, dan 16 kecamatan ini, warganya tengah bersukaria mangayubagya hari jadi daerahnya.
Kabupaten yang berbatasan dengan Bojonegoro-Tuban (timur), Rembang-Pati (utara), Grobogan (barat), dan Sragen-Ngawi (selatan), kini fokus membangun ekonomi rakyat di sektor pertanian dan peningkatan usaha kecil pedesaan.
Usia 270 adalah usia yang tergolong matang. Meski demikian, kabupaten yang dapat julukan produsen kayu jati terbesar di Indonesia dan kualitas terbaik di dunia, dituntut untuk terus membangun, dan berbenah diri.
Setiap tahunnya, dana APBD juga terus digelontorkan untuk perbaikan segala bidang, terutama infrastruktur jalan. Kota juga terus di-make-up, gedung kantor ditata, dan bangunan kuna dirobohkan untuk dibangun baru.
27 Bupati
Dalam sejarah kelahiran Blora, bertepatan “Surya Sengkala Trus Kawarna Sabdaning Aji” atau 2 Syura tahun Alib 1675 (1749) ber-Condro Sengkolo Ponco Pandhito Obahing Bumi, bersamaan diangkatnya Bupati Blora pertama, Tumenggung Wilatikta, dan lahirlah Kabupaten Blora.
Jika dihitung dari Bupati Wilatikta tersebut, maka sejarah mencatat sampai 2019 ini, kabupaten yang separuh lebih wilayahnya berupa hamparan hutan jati, telah dipimpin 27 bupati.
Bupati saat ini, dijabat H Djoko Nugroho, jabatan yang tinggal mengemban tugas satu tahun lagi, pria kelahiran Kota Minyak Cepu ini memimpim Blora sejak 2010 (dua periode)
Total wilayah Blors seluas 1.820,59 Km2, ketinggian terendahnya 30 dibawah permukaan laut (dpl) dan tertinggi 250 dpl.
Tata struktur tanah 56% gromosal, 39% mediteran, 5% alluvial diapit Pegunungan Kendeng (kapur) Utara dan Kendeng Selatan.
Seperti perputaran roda, pembangunan di berbagai sektor terus berjalan, khususnya pertanian, pendidikan, kesehatan dan perekonomian berbasis kerakyatan dengan tetap mengandalkan dana APBD bantuan pusat.
Hanya yang menjadi masalah krusial dan menahun, bahkan sejauh ini masih belum mampu diatasi secara signifikan, adalah jeritan warganya kurang air di musim kemarau.
Kondisi ini termasuk dalam tahap yang memprihatinkan, masalah akut, dan momok menahun. Berita tentang kekeringan, warga kurang air saat kemarau, nyaris sering menghiasi, dan jadi berita menarik di media massa sejak puluhan tahun silam.
Bupati Djoko Nugroho, memang sudah bekerja keras dan mengembangkan teknik termudah, efisien dan terprogram bernama embungisasi, pembangunan embung untuk menolong masyarakat saat musim kering.
Puluhan embung sudah dibangun di banyak lokasi pinggiran kota, dan desa-desa. Bahkan seruan menggiatkan penghijauan, larangan menebang, dan ajakan merawat pohon produktif sejak 2011 lalu sangat sering dilontarkan.
Solusi Cukup Air
Dengan jumlah embung atau sejenis yang signifikan di Blora (secara bertahap), awalnya diharapkan jadi salah satu solusi penampungan air, agar air tidak hilang terbuang ke sungai-sungai dan menggelontor hilang di hulu.
Obsesi Bupati Blora mengentaskan warganya kekurangan air di musim kemarau, memang terdengar manis, dan menghangatkan. Hanya sayang saat ini masih jadi PR paling serius.
Untuk berkecukupan air, tentu butuh waktu, dan dana besar yang harus digarap secara bertahap kedepan, sebab sampai Desember 2019 ini, wujud fisik embung masih minimal, banyak kurang perawatan, dan belum begitu bisa dirasakan.
Harapan warga Blora untuk bisa menikmati proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) senilai Rp 130 miliar, belum bisa memuaskan, lantaran sering adanya pencemaran dan kendala lain dari Bengawan Solo.
Maka diakui atau tidak, saat ini beban dan PR terberat Pemkab Blora, masih soal kekeringan (kurang air di musim kemarau), kasus menahun ini masih melanda di sekitar 170 dari 295 desa-kelurahan.
Kekurangan air memang menjadi kasus menahun yang diderita warga masyarakat di desa-kelurahan yang tersebar di 16 kecamatan di Blora. Penanganan model konvensional (droping) dirasa hanya menjangkau sebagian kecil warga.
Muncul masukan ke Pemkab Blora, solusi mengurangi jeritan warga dari dampak musim kemarau, adalah membedung potensi sumber daya alam di daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo.
Bisakah Bendung Gerak raksasa DAS Bengawan Solo di Karangnongko mampu memecahkan solusi air untuk warga Blora ? Jawabnya adalah menunggu proyek besar bendung gerak nantinya terwujud.
Wahono/mm