JAKARTA (SUARABARU.ID) – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) diminta untuk dapat bersikap tegas dan serius dan hati-hati menyikapi kasus meninggalnya mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) dr ARM.
“Hal ini untuk menjaga citra profesi kedokteran,” kata Ketua Komite Pusat Solidaritas Penyelamat Citra Profesi (KPSPCP), dr Daeng Mohammad Faqih, saat membuka diskusi daring bertajuk “Benarkah Kasus PPDS FK Undip Didekati Secara Subjektif dan Unprofessional” yang digelar Ahad 25 Agustus 2024.
Dalam agenda itu, tampil sebagai panelis Dr. dr. Darwito S.H. Sp.B.Onk. (Direktur Utama RSA UGM), Guru besar Unair Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki, dr., Sp.B., Sp.BP-RE(K), dan dr C Andryani, dokter forensik di RS Bhayangkara Bandarlampung serta dipandu oleh dr Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia M Nasser.
dr Daeng menegaskan, peristiwa yang menyebabkan meninggalnya mahasiswi PPDS Anestesi FK Undip ini menjadi kasus yang serius.
Dia menggarisbawahi, dalam merespons dalam bentuk pernyataan, keputusan maupun tindakan harus disampaikan secara hati-hati dan jangan sampai melebihi dari ranah hukum yang bukan menjadi areal profesi sebagai dokter.
“Bagi keluarga korban pasti ini menimbulkan kesedihan mendalam dan kemarahan. Bagi masyarakat secara umum, pasti akan menimbulkan kemarahan dan kutukan kepada siapa saja yang menyebabkan hilangnya nyawa. Untuk itu harus ditangani secara serius dan hati-hati, jangan sampai tanggapan kita melebihi dari hukum,” kata sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) periode 2018-2021 itu.
Menyikapi kasus tersebut, pentingnya sikap tegas dan tidak ada pembelaan terhadap tindakan perundungan atau bulliying bila hal itu terbukti.
“Karena bulliying ini bertentangan dengan etika profesi, hukum dan bisa menghancurkan solidaritas dan citra luhur profesi. Untuk itu kita harus hati hati menangani kasus ini, kita harus menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan perundungan secara baik dan tegas,” kata dia.
Dalam sesi diskusi, dr Djoko Widyarto yang menjabat sebagai ketua Majelis Kehormatan Etik Kehormatan IDI Wilayah Jawa Tengah, meminta agar pengertian mengenai perundungan ini dapat diperjelas. Sejauh ini masih terdapat perbedaan pada pehamanan soal perundungan sepeti pada intruksi Menkes, Permendikbud hingga Fatwa MKEK.
Dia juga mengusulkan di masa depan perlu diperkuat lagi kurikulum mengenai modul etika di semua fakultas kedokteran.
“Dasar dasar etika kedokteran itu harus ditanamkan, tidak hanya sekadar memberikan pelajaran tetapi harus bisa memberikan contoh di lapangan sehingga peserta didik itu paham tentang etika kedokteran,” ujarnya.
Sementara moderator menyampaikan sejumlah kesimpulan penting dari sesi diskusi yang diikuti oleh lebih dari 150 peserta yang berasal dari profesi dokter ini.
Nasser mengatakan kesimpulan pertama adalah perundungan dalam seluruh proses pendidikan kedokteran, baik di pendidikan kedokteran maupun pendidikan dokter spesialis, merupakan musuh bersama.
“Perundungan sebagai perusak solidraitas kesejawatan, kohesi anggota kedokteran dan kami yakini bulliying ini adalah masalah pribadi maka harus diselesaikan dengan cara pribadi,” katanya.
Kedua, kata Nasser, perlu adanya semangat untuk mawas diri dan bersatu menghadapi bullying atau orang orang yang bermaksud tidak baik terhadap profesi kedokteran. “Mari kita jaga integritas, martabat dan muruah yang hendak diluluhlantakan oleh pihak tertentu pada profesi kita.”
Selanjutnya, Nasser menyimpulkan untuk menyiapkan aksi legal prosedural terhadap upaya atau langkah yang hendak mengobrak-abrik melalui kegiatan yang sistematis dan terencana terhadap profesi kedokteran.
“Kita ingin mendorong semua pihak untuk menyebarkan sikap anti premanisme birokrasi karena ini berbahaya. Ini harus diperjuangkan hingga pemerintahan baru nanti. Di sini kita harus menonjolkannya dengan mengedepankan budaya ilmiah, bukan dengan budaya kekuasaan,” katanya.
Diaz Abidin