Hartono Sri Danan Djoyo
Hartono Sri Danan Djoyo

Oleh : Hartono Sri Danan Djoyo

Bagi pihak yang kontra, pengakuan Presiden Jokowi yang melarang Kaesang maju pilkada Gubernur Jakarta tak ubahnya sebagai politik “kembang lambe”. Saat momentum tiba, Jokowi akan mengucapkan “tak bisa menolak keinginan rakyat”. Setidaknya mantan Menteri Polhukam, Mahfud MD, adalah pihak yang secara terang benderang mengucapkan ketidak percayaan itu.

Meski belum jelas dengan “siasat” apa Kaesang maju pilkada, tak butuh waktu lama bagi publik untuk membuktikan apakah ketidakpercayaan Mahfud terbukti atau isapan jempol. Kini, Kaesang deklaratif mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta. Demikian itu bisa dipastikan bahwa restu dari sang ayah, Presiden Joko Widodo, sudah Kaesang dapatkan.

Jika kondisi dibalik, dan justru somasi etis ditujukan pada publik (termasuk Mahfud MD), adakah yang salah pada pemihakan seorang ayah pada anak dan menantunya? Selain karena dia seorang Jokowi yang kebetulan presiden faktor manakah yang publik dan Mahfud pikir memberatkan? Penulis percaya bahwa kearifan untuk menilai itu publik miliki. Tulisan ini tidak berupaya menuntun pemberian label Jokowi atau Mahfud MD yang benar atau salah, namun melengkapi kearifan dalam menakar ketulusan perilaku elit.

Hemat penulis, nasehat Filsuf Jerman Imannuel Kant bisa menjadi rujukan. “Two things fill the mind with wonder and awe: the starry sky above and the moral law within”. Kant mengingatkan kita tentang keagungan alam semesta dan hukum moral. Hukum dan moral mendudukkan semua orang sebagai makhluk yang sama. Ketika mampu menyadari akan keduanya, manusia cakap untuk merendahkan hati dihadapan orang lain. Oleh karenanya, mengambil posisi memimpin atau dipimpin harus mendasarkan pada keagungan moralitas, diantaranya etikabilitas dan kapabilitas.

Nasehat Kant sejalan dengan pemikiran filsuf-filsuf ternama lain, salah satunya pelopor Feminisme dari Inggris Mary Wollstonecraft. Nasehat yang layak kita pedomani berbunyi, ”I have always considered that a human being has two principal duties: to educate himself and to help others.” Mendidik diri dan membantu orang literatif tidak bisa tidak diterjemahkan sebagai ketinggian budi bahwa manusia (apalagi penguasa) harus mendengar dan berbagi dengan orang lain, terutama keterpilihan dirinya, Pertanyaan reflektif itu terungkap mudah melalui teknologi survey elektabilitas.