JC Tukiman Tarunasayoga
BACALAH nggabres seperti Anda mengatakan “Orang saleh itu ternyata memiliki banyak akses.” Adamakna berbeda antara nggabres dan gabres, meski lafal membacanya sama. Untuk gabres, maknanya ialah cangkeme gupak panganan, di seputar mulut ada banyak makanan melekat.
Bayangkan balita yang sedang belajar makan, pasti seputar mulutnya ada banyak makanan. Itulah gabres. Akan tetapi jika ada kata ora di depan kata gabres, tekanan membacanya terasa lebih berat dan menjadi ora nggabres (bandingkan mengatakan Bantul dan mBantul). Ora nggabres bermakna ora melu-melu, tidak ikut, tidak mau terlibat, ogah, males.
Sedangkan untuk ngrewes bacalah seperti Anda bergumam: “Bebek itu kelihatannya sedikit lebih pendek dari ayam.” Makna ngrewes, asal katanya rewes ialah peduli; dan kalau ada orang mengatakan: “Ah, aku ora ngrewes maneh urusanmu,” itu artinya orang itu wis ora merduli, ora gelem gatekake maneh, sudah tidak mau peduli terhadap apa pun dan siapa pun.
Gawat
Situasi akan menjadi gawat manakala ada orang sampai berkata: “Ora nggabres, Ora ngrewes maneh.” Itu artinya, seseorang itu sudah sampai ke batas terakhir kesabarannya, kepeduliannya, dan/atau perhatiannya. Frustrasi dia. Kecewa berat dia. Dan apa pun dikomentari dengan ungkapan: “Ah, mbelgedhes.” Gawat kalau sudah sampai pada kesimpulan seperti itu.
Baca juga Gimmick itu Santolan
Pertanyaannya, kapan kondisi gawat semacam itu terjadi? Sudahkah saat ini terjadi? Adakah tanda-tanda lain yang menggejala? Dan berbagai pertanyaan lain sejenis dapat muncul, namun intinya, waspadailah gejala-gejala seperti itu jangan sampai terakumulasi.
Dari sisi pemerintah, hendaklah pandai-pandai pasang mata pasang telinga bila ada satu, dua, tiga, atau empat orang bahkan lebih sudah sering mengeluh: “Ah, ora nggabres ora ngrewes maneh, aku.” Jangan dipandang sepele ungkapan semacam itu.
Sebutlah terkait sekitar hilangnya data, atau masalah judi online yang konon menarik minat orang-orang terpilih di negeri ini. Jangan ada anggapan, ah…….itu efek sebentar saja, nanti akan tenang kembali. Apalagi kalau sudah terdengar ada orang berkata: “mBelgedhes tenan kok orang-orang itu.”
Jika, ungkapan-ungkapan seperti itu dianggap terpaan angin sesaat saja, padahal di sana-sini sudah terdengar “Wis ta, ora nggabres ora ngrewes, maneh,” pemerintah segeralah bertindak cepat, tepat, dan benar-benar solutif.
Paul Claudel (dlm Frank Mihalic, SVD. 2000) dengan sangat tepat meski sederhana menjelaskan sikap terbaik antara konservatif dan progresif. “Agar kitab isa berjalan, setiap orang harus meletakkan satu kaki di tanah/lantai, dan satu kaki lainnya di udara. Jika kedua kaki ada di tanah, siapa pun tidak bergerak, itulah konservatif. Jika kedua kaki ada di udara, kita pasti terjatuh, terlalu progresif itu namanya.”
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University