Oleh : Umi Nadliroh
PEMILU Legislatif dan Pemilu Presiden 2024 telah usai, tinggal menunggu hasil rekap tingkat Nasional. Bagaimana pelaksanaan Pemilu yang digelar 14 Februari 2024 yang lalu. penulis mencoba menyorot sisi pelaksanaannya dari perspektif money politic. Sebelumnya, penulis ingin mengambil definisi money politic dari Aspinall dan Sukmajati (2017), bahwa money politic atau politik uang, merupakan upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa, agar preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap.
Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tidak secara rinci mendefinisikan politik uang, tetapi mengatur norma, ketentuan, larangan dan sanksi politik uang dan merupakan tindak pidana. Pasal-pasal yang mengatur tentang norma, ketentuan, larangan dan sanksi politik uang adalah Pasal 515, Pasal 523 Ayat (1), Pasal 280 Ayat (1) Huruf j dan Ayat (2), Pasal 278 Ayat (2) dan (3), Pada Pasal 278 ayat (3) ini berbunyi, ”Setiap orang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Ketentuan larangan dan sanksi pidana politik uang dalam pemilu, dibedakan empat kategori, (1) kejadian politik uang terjadinya pada tahapan Pemilu berlangsung, (2) pada saat kampanye, (3) masa tenang dan (4) pada hari pemungutan suara. Dan pelaku politik uang diancam sanksi pidana penjara dan denda, berkisar antara paling lama 2 tahun sampai 4 tahun pidana penjara, dan denda 24 juta sampai 48 juta.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah pada Pemilu Legislatif 2024 di meja lembaga yang memiliki kewenangan menindak politik uang ada laporan tentang tindak pidana politik uang? Apakah cukup bukti atau lembaga ini menemukan kasus politik uang? Masyarakat tidak berani melapor dan juga sepakat pemberian dari calon atau tim itu bagian dari sedekah, pengganti transport, sehingga halal dan dianggap sah dan wajar? Bagaimana masyarakat sipil (mereka tidak mau melaporkan politik uang justru menanti pembagian uang, lembaga yang memiliki kewenangan untuk menindak politik uang, LSM, parpol, caleg melihat ini? Apakah semua elemen tersebut akan menjawab “wajar” tentang politik uang.
Lakukan Penindakan
Atau perlu meredefinisi ulang tentang politik uang, ataukah memperkuat penindakan politik uang, atau justru melegalkan saja politik uang, daripada ada Lembaga yang berwenang untuk menindak, tetapi tidak cukup bukti, atau tidak berani melakukan penindakan karena kekuatan dan kekuasaan parpol yang melakukan? Atau sama-sama membangun kesadaran masyarakat, partai politik, caleg, lembaga yang memiliki kewenangan mengawasi Pemilu untuk sepakat menolak politik uang, dan melakukan penindakan?
Pemilu Legislatif 2024, yang digelar pada tanggal 14 Februari 2024 yang lalu, sangat luar biasa dalam perspektif politik uang. Berdasarkan informasi-informasi dan pengamatan yang penulis lakukan, perspektif pembiayaannya sungguh sangat mahal. Mulai saat pendaftaran caleg di partai politik ini, juga harus membayar untuk mendapatkan nomor strategis daftar caleg. Apakah di nomor 1 atau di nomor yang paling bawah. Karena dua nomor tersebut dianggap nomor strategis tampak dalam surat suara untuk Pemilu Legislatif. Walaupun tidak semua partai menerapkan ongkos pemerolehan nomor dalam pencaleg-an. Setelah itu pembiayaan pemenuhan syarat caleg, misalnya untuk mendapatkan surat keterangan sehat dari rumah sakit. Biaya sosialisasi, mencetak alat peraga kampanye, biaya kampanye dan endingnya adalah “amplop”. Berapa cost dan modal caleg terpilih atau caleg jadi.
Berdasarkan info-info yang penulis kumpulkan, Pemilu Legislatif di daerah yang dulu terkenal dengan sebutan atau istilah “Ola uwek ola obos”, modal seorang caleg di tingkat kabupaten itu berkisar antara Rp 2-5 miliar, atau bahkan ada yang modalnya lebih dari itu. Modal sekian itu dipergunakan sejak proses tahapan pencalonan, kampanye, serta untuk pembagian amplop untuk pemilih.
Sementara untuk modal para calon legislatif di tingkat provinsi berkisar antara Rp 4-7 miliar, dan untuk calon legislatif pusat berkisar antara Rp 10-20 miliar.
Semakin Menjadi-jadi
Dan untuk uang yang dibagikan ke pemilih per amplop, berkisar antara Rp 50.000-150.000. Ada juga pembagian per amplop untuk 1 keluarga berisi adalah Rp 450.000 dari 1 calon legislatif, untuk tingkat kabupaten. Sementara untuk calon legislatif di tingkat provinsi amplop berisis antara Rp 15.000-50.000. Sedangkan untuk calon legislatif pusat, berkisar Rp 25.000-50.000.
Betapa mahalnya pembiayaan untuk jadi anggota legislatif di Indonesia, Mulai anggota DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Pusat, terutama untuk pemberian amplop. Apakah terus seperti ini pelaksanaan Pemilu Legislatif di Indonesia, yang diwarnai dengan politik uang? Politik uang dilarang, tapi semakin menjadi-jadi bentuknya yang terjadi di setiap Pemilu. Di manakah fungsi lembaga berwenang untuk mengawasi dan menindak praktik politik uang? Dimanakah posisi partai politik? Bagaimana fungsi pendidikan politik untuk konstituen maupun pemilih? Apakah sudah dilakukan secara maksimal? Bagaimana dengan calon legislatf, menjadi kompetitor yang tidak beretik, pokoke bagi-bagi uang dan amplop sebanyak-banyaknya. Bagaimana dan kapan masyarakat menjadi pemilih yang cerdas dan berintegritas? Bukan menjadi masyarakat “Moto duiten”, yang mengharap dan menanti “amplop” di setiap event Pemilu.
Pertanyaan-pertanyaan di atas untuk bahan renungan, untuk mencegah terjadinya politik uang. Mampukah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, atau malah sebaliknya, menganggap politik uang adalah sebuah kewajaran, karena Pemilu dimaknai sebagai “pesta demokrasi” pesta rakyat, waktu dan saat di mana rakyat bisa berpesta, karena dapat dan menerima “amplop pemilu’.
Atau kita ambil langkah taktis, praktis, dengan meredefinisi makna dan pengertian politk uang dalam Undang-Undang Pemilu, dan politik uang dilegalkan saja, daripada dilarang tapi tetap dilanggar. Fungsi pengawasan juga tidak jalan, dan tidak maksimal. Masyarakat juga sangat mengharapkan, uang sebagai pengganti ongkos kerja sehari, karena mereka tidak kerja, harus libur saat Pemilu.
Politik uang merupakan racun demokrasi, dan merusak sendi-sendi demokrasi di Indonesia. Pemilu yang dianggap sebagai perwujudan demokrasi, ternodai karena adanya politik uang. Apa yang menjadi tujuan penyelenggaraan Pemilu, tidak bisa terwujud. Yaitu memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, dan mewujudkan Pemilu yang efektif dan efiesien.
— Umi Nadliroh, Dosen STAI Pati, Pegiat Kepemiluan dan Ketua LKP2A Pati —