Oleh Johan Saputro
MAKIN dekatnya tanggal pencoblosan Pemilu Serentak 2024 membawa sorotan pada perbincangan publik mengenai dinamika politik di Indonesia. Media digital dan sosial, sebagai platform utama pembahasan, memainkan peran signifikan dalam membentuk opini dan partisipasi politik masyarakat.
Namun, semakin pesatnya digitalisasi membawa tantangan serius, terutama terkait dengan penyebaran hoaks dan kurangnya literasi digital.
Sejak dekade terakhir, kemajuan media digital dan sosial membuka pintu partisipasi masyarakat dalam politik dengan lebih luas. Dengan ketersediaan berita yang lebih cepat, mudah, dan murah, media massa digital kini berlomba-lomba menyajikan berita yang ter-update.
Namun, berbagai keprihatinan muncul terkait dengan berkembangnya berita bombastis yang hanya mengejar rating dan klik, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah jurnalistik (Zubaidi, Jauhary,& Lestari, 2020).
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan populasi pengguna internet terbesar di dunia, menghadapi tantangan serius. Laporan We Are Social mencatat bahwa per Januari 2023, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 213 juta, setara dengan 77% dari total populasi. Jumlah ini menunjukkan betapa akrabnya masyarakat Indonesia dengan dunia internet.
Namun, dengan kemudahan akses ini juga muncul risiko serius. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat bahwa selama tahun 2023, sebanyak 1.615 konten isu hoaks ditangani. Isu hoaks ini mencakup berbagai konten, mulai dari akun palsu pejabat pemerintah hingga informasi palsu tentang kebijakan pemerintah.
Literasi Digital: Keberlanjutan Demokrasi
Di tengah membanjirnya hoaks, masyarakat Indonesia perlu mendekatkan diri pada konsep literasi digital. Literasi digital bukan hanya tentang kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kritis dalam menyikapi informasi yang diterima. Tiga aspek penting literasi digital adalah intensitas penggunaan media digital, ketergantungan pada mesin pencari dan media sosial, serta kemampuan menyaring informasi.
Melihat kecenderungan masyarakat yang semakin intens menggunakan media digital, literasi digital menjadi krusial. Internet dan media sosial bukan lagi sekadar tambahan dalam kehidupan sehari-hari, melainkan menjadi sumber utama informasi. Kemampuan menyaring informasi dari berbagai sumber dan memilahnya menjadi keterampilan yang semakin diperlukan.
Konsep “Era Post-Truth” atau era pascakebenaran, seperti yang diutarakan oleh Higgins (2016), menciptakan tantangan baru bagi negara demokrasi. Disinformasi yang tersebar di media sosial dapat merusak stabilitas demokrasi (Evanalia, 2022). Fenomena ini menunjukkan perlunya literasi digital yang solid, terutama di masa Pemilu Serentak 2024.
Menanggapi kompleksitas ini, penting bagi masyarakat untuk mengembangkan keterampilan literasi media sosial (Ganggi, 2018). Literasi media sosial, kata Ganggi, dapat berarti keterampilan seseorang dalam mencari, memilah, dan mengaplikasikan sumber informasi di media sosial. Media sosial sudah sangat melekat dengan netizen, sehingga masyarakat perlu memiliki keterampilan supaya menjadi konsumen media sosial yang kritis. Orang yang melek informasi di media sosial akan menjadi orang yang kritis ketika mendapati informasi hoaks. Masyarakat yang melek informasi di media sosial akan sulit untuk diadu domba karena kepentingan tertentu (Ganggi, 2018).
Menjaga Kesehatan Informasi
Dalam konteks ini, nasihat kuno dari Socrates mengenai ‘Tiga Filter’ menjadi relevan. Pertama, kita perlu bertanya apakah berita yang diterima merupakan kenyataan atau fiksi. Kedua, jika benar, kita perlu mempertimbangkan manfaatnya bagi diri kita dan masyarakat. Terakhir, kita harus bersikap kritis dan menilai dampak positif atau negatif dari informasi tersebut.
Situasi saat ini mengharuskan masyarakat untuk memiliki ketahanan terhadap penyebaran hoaks. Hoaks bukan hanya ancaman terhadap informasi yang benar, tetapi juga dapat memicu ujaran kebencian dan mengancam persatuan dan kesatuan. Kementerian Kominfo dengan bijak mengimbau warganet untuk berperan aktif dalam melaporkan informasi yang diragukan kebenarannya.
Pondasi Utama
Menghadapi masa Pemilu Serentak 2024, literasi digital dan literasi media sosial menjadi pondasi utama untuk menjaga keberlanjutan demokrasi. Dalam membangun kekritisan digital, masyarakat perlu mengedepankan tiga hal: intensitas penggunaan media digital yang bijak, keterampilan menyaring informasi, dan keberlanjutan literasi media sosial.
Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip literasi digital, masyarakat dapat merespons tantangan informasi di era digital dengan lebih bijak. Penyebaran informasi yang akurat dan berkualitas akan membantu menciptakan suasana yang kondusif untuk pemilihan umum, menjaga integritas demokrasi, dan merajut kerukunan dalam keberagaman masyarakat Indonesia.
Kementerian Kominfo mengimbau warganet yang menerima informasi elektronik yang patut diduga diragukan kebenarannya dapat menyampaikan kepada kanal pengaduan konten melalui email: [email protected] atau akun twitter @aduankonten atau melalui aplikasi pesan instan WhatsApp di nomor 081-1922-4545.
Johan Saputro, S.I.Kom., Pranata Humas Ahli Pertama Pemkab Grobogan