JC Tukiman Tarunasayoga
SEGALA sesuatu itu ada aturannya, kapan boleh, kapan tidak boleh; kapan harus, kapan tidak harus. Apa saja yang berkaitan dengan boleh dan tidak boleh, termasuk harus dan tidak harus; semuanya itu diatur dalam suatu peraturan atau pun kesepakatan sosial/bersama.
Itulah yang disebut dengan etiket, sedang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan etiket itu disebut Etika. Tegasnya, sebagai sebuah ilmu pengetahuan, etika itu mengajarkan tentang asas-asas akhlak (moral) kehidupan bersama, di dalamnya antara lain menegaskan kapan boleh dan kapan tidak boleh; apa yang harus dan apa yang tidak harus tadi.
Sekedar membunyikan klakson saja, itu ada etiketnya, yaitu kapan boleh kapan tidak boleh, kapan dianggap sopan dan kapan dirasakan tidak sopan. Dalam antrean lampu merah, misalnya, membunyikan klakson sudah dianggap sangat mengganggu bahkan dapat menimbulkan pertengkaran karena, jelas-jelas lampu merah masih menyala, tiga empat mobil yang di belakang saya sudah dua tiga kali membunyikan klakson.
Seseorang membunyikan klakson dalam kondisi semacam itu sudah dapat disebut melanggar etiket karena bukan saja telah mengganggu orang/pihak lain, namun juga tidak sepantasnya dilakukan sebab memang apa yang dilakukan itu tidak tepat atau tidak benar.
Baca juga Aja Wedi
Mungkin orang itu berpikir: “Saya sekedar memberi aba-aba saja agar mobil terdepan siap-siap untuk melaju.” Mungkin saja ada alasan lain mengapa dua tiga kali membunyikan klakson; namun apa pun alasannya, tindakannya itu sudah dianggap khalayak sebagai perbuatan yang tidak semestinya dilakukan. Tindakan yang sudah melanggar asas-asas kesopanan di tempat umum.
Subasita
Dalam bahasa Jawa, itulah yang disebut subasita, yaitu tatakramaning pasrawungan, asas-asas kesopanan (sopan santun) dalam kehidupan bersama yang mengatur (dan disepakati) agar seseorang tidak semau gue berbuat atau bertindak sesuatu di tengah hidup bersama.
Membunyikan klakson tadi sekedar contoh kecil, namun sudah dapat menimbulkan ketidaknyamanan orang banyak berhubung dilakukan di kerumunan, sementara mungkin saja orang berulangkali membunyikan klakson dan dianggap wajar saja berhubung ia sedang memperbaiki mobil di rumahnya.
Tekanan utama subasita ada pada dua hal penting, yaitu bahwa dalam kehidupan bersama ini selalu (dan harus) ada tatakrama, aturan sopan-santun, rambu-rambu kesopanan baik yang berlaku secara umum, atau bahkan secara khusus dalam kelompok yang paling kecil sekali pun.
Baca juga Dara Barakan
Hal penting kedua, ialah kita hidup selalu bersama orang/pihak lain, dan memang hampir tidak mungkin kita hiduptanpa ada persentuhannya dengan orang/pihak lain. Mengapa kepada orang yang lebih senior orang-orang perlu bersikap sopan, contohnya?
Jawabannya antara lain, karena ada asas-asas aturan kesopanan dalam bersikap, bertutur kata, dst. dst. Mengapa orang, siapa pun dia, tidak boleh sembarangan bertutur kata dan tidak hormat bahkan mengejek atau merendahkan kepala negara, contoh lainnya? Jawabannya, karena ada aturan etika.
Subasita, -suba sendiri artinya indah, keindahan, dan juga becik, yaitu baik dalam arti bernilai- , bukan saja berisi asas-asas kesopanan, melainkan berupa kesepakatan imperatif karena “mengharuskan” siapa pun untuk tunduk dan melaksanakannya.
Seorang kepala negara harus dihormati sedemikian rupa sesuai aturannya; sebaliknya seorang presiden juga tidak mungkin semau gue seolah-olah tidak terikat oleh asas-asas kesopanan umum.
Memprihatinkan?
Tentang subasita ini, orang-orang tua (generasi tua?) sering mengeluh karena merasa betapa orang-orang muda semakin kehilangan greget untuk mengembangkan asas-asas kesopanan umum. Benarkah memang terjadi degradasi seperti itu?
Kalau benar, berarti sangat mungkin orang-orang tua andil sangat besar atas degradasi itu karena tidak berhasil mengajarkan asas-asas kesopanan secara turun-temurun. Jadi, siapa yang memrihatinkan? Orang-orang muda, ataukah justru orang-orang tua?
Ada seorang bapak, mempunyai dua anak laki-laki. Setiap kali ayah itu menyuruh atau meminta tolong kepada si sulung, anak itu selalu menjawab “Ya,” namun ditunggu dan ditunggu, anak itu hampir tidak pernah melakukan apa pun atas apa yang diminta ayahnya.
Sedang anak kedua, hampir setiap kali menjawab “emoh ahhh” manakala disuruh atau diminta tolong ayahnya. Namun, sering anak itu “menyesal” atas jawaban itu lalu melakukan apa yang diminta ayahnya. Siapakah di antara dua anak itu dapat disebut memiliki subasita kepada orang tuanya?
Atau contoh lain, jika ada pejabat tiba-tiba membuat aturan sendiri dan ternyata ujung-ujungnya aturan itu hanya demi keuntungan dirinya sendiri; subasita macam apa ditegakkan oleh pejabat yang seharusnya menghormati bawahan dan masyarakat yang dilayaninya?
Tegasnya, bicara subasita, kita memang bicara tentang asas-asas kesopanan (umum), tatakramaning pasrawungan; dan ini mengikat siapa saja untuk melaksanakannya. Pelaksana subasita itu siapa saja tanpa ada pengecualian, misalnya silahkan dilaksanakan subasita sebaik mungkin kecuali para pejabat.
Siapa pun terkena “kewajiban” itu. Memang dalam kehdupan sehari-hari, ada banyak contoh justru orang yang selayaknya tahu aturan, dialah yang sering “melanggarnya.” Orang yang selayaknya menjadi anutan pelaksana terdepan subasita, dia pulalah yang justru abai terhadap subasita itu.
Memrihatinkankah? Mari kita renungkan di tengah ingar-bingar kampanye Pemilu 2024 ini (Ada yang nyletuk bertanya: Memang bisa merenung di tengah ingar-bingar? Jawabannya, itulah yang disebut tapa-ngrame)
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University