JC Tukiman Tarunasayoga
BEGITU menulis judul aja wedi, jangan takut, ini saya langsung teringat celetukan dua cucu saya ketika kami membersamai anak-cucu-mantu berlibur ke LegoLand, Johor, Malaysia bulan Juli lalu. Dengan lantangnya dua cucuku komentar, “Jangan takut Kung-Uti, naik roler-coasater enakkkk, asyikkk.”
Memang mereka saja yang naik dan menikmatinya, sementara saya dan istri merasa sangat cukup mendengar jeritan dan teriakan mereka manakala roller-coaster naik turun meliuk sana meliuk sini dengan cepatnya.
Mengapa kosakata aja wedi, jangan takut perlu dibahas? Ada dua alasan praktis, pertama, kosakata itu dapat menjadi jargon untuk “kampanye.” Bukankah saat-saat ini semua pihak sedang mencari amunisi dan bahan kampanye? Nah, aja wedi bahkan bisa juga menjadi yel-yel atau nyanyian, semisal: “Aja wedi, ana aku…….aja wedi ana aku……..” Lalu yang di sebelah sana menjawab: “Hiiiiiii………aku wedi, hiiiii aku wedi………”
Alasan praktis kedua, saat ini adalah waktu yang tepat untuk menjelaskan banyak aspek terkait kosakata aja wedi, dan penjelasan ini perlu mengingat sangat mungkin ada saja yang kurang tepat memakainya.
Bacalah kata wedi ini dengan perhatian khusus pada di, seperti Anda mengucapkan nama orang Suhadi, Sumardi, Adi Sucipto, dsb. Nama Suhadi harap tidak dipanggil menjadi Suhadhi, demikian pun Sumadi maupun Adi. Sebab, jika wedi Anda ucapkan menjadi wedhi; berubahlah maknanya.
Baca juga Dara Barakan
Wedi itu bermakna (1) ora wani, artinya takut, dan (2) duwe pangaji-aji, memiliki rasa hormat; sedang kalau Anda ucapkan menjadi wedhi, itu artinya pasir, lemah agal utawa krikil lembut. Beda banget, bukan?
Wedi ini searti dengan ajrih, maka sering ada ungkapan wedi- asih yang semakna dengan ajrih-asih, wong kang duwe pangaji-aji sarta tresna, yaitu orang yang memiliki rasa hormat dan cinta terhadap orang lain.
Bayangkan saja kalau celetukan cucu kami tadi (si sulung berumur 7 tahun dan adiknya 5 tahun) bukan ditujukan kepada kami tetapi kepada Anda. Berhubung celetukan anak kecil, yang tertangkap mesti lucu dan lugu lugasnya.
Namun, bila tiba-tiba seseorang dewasa mengatakan “Aja wedi, ana aku,” apa kira-kira maknanya? Adakah di ungkapan itu rasa hormat penuh cinta, ataukah justru sebaliknya bernada “merendahkan” orang lain yang sedang diajak bicara, seraya juwawa karena dirinya lebih?
Dari kata wedi, lalu terbentuk kata ikutannya, yaitu kata medeni, diwedeni, lan memedi. Medeni artinya njalari wedi, menyebabkan atau menjadikan takut; diwedeni berarti diaji-aji, yaitu dihormati atau dipuji-puji; sedangkan memedi artinya apa-apa sing njalari wedi, apa saja yang menjadikan orang lain menjadi takut.
Baca juga Pitung Puluh Lima Dina: Dara Getakan
Maka, bayangkan, kalau seseorang tiba-tiba mengatakan kepada Anda “Aja wedi………;” sangatlah mungkin kata-kata itu dapat ditangkap bukan sebagai penguatan atau jaminan keberanian, melainkan justru akan dirasakan sebagai hal yang medeni karena dipersepsikan ada memedi di depan sana.
Masa muda dulu
Teringat masa muda di dusun dulu, di zaman ketika listrik belum masuk desa; nonton pertunjukan di lapangan sana biasanya berangkat maupun pulangnya bergerombol ramai-ramai, laki-laki dan perempuan.
Laki-laki banyak yang iseng, memanfaatkan kegelapan seraya mengatakan “Ana memedi ……..” dan apa yang terjadi, cewek-cewek itu biasanya lalu merapat bahkan bisa jadi memegang tangan siapa pun yang berada di dekatnya. Lumayan…….. batin si Polan ketika Endang memegang tangannya kuat-kuat.
Di antara trik lainnya juga menggunakan kata-kata “Aja wedi, ana aku” tadi, sembari memepetkan tubuhnya ke cewek sebelahnya kalau-kalau ia dalam keadaaan ketakutan, lalu memegang tangannya.
Apa simpulannya? Sederhana saja, yakni meluncurnya kata-kata aja wedi harus kita lihat konteksnya apa dan di mana serta di saat seperti apa. Kalau saatnya seperti terjadi pada Polan dan Endang tadi, yah……………itu trik sangat umum di zaman itu (meski pun manjur lho…..).
Di zaman sekarang pun masih saja ada trik-trik sederhana seperti itu, seperti suami tiba-tiba mematikan listrik seolah-olah ada gangguan aliran listrik dari sentralnya. Apa maksudnya dengan tindakan seperti itu?
Macam-macam, tetapi sering dipakai untuk bersikap “sok jadi pahlawan” karena seisi rumah lalu berteriak karena gelap, dan tiba-tiba listrik nyala lagi. Apakah kata-kata aja wedi, mengarah ke: “Aku kok??” Simpulkanlah sendiri.
JC Tukiman Tarusayoga, Ketua Dewan Penyantun Catholic Soegijapranata University