blank
Ketua Pusat Studi Gender dan Anak Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM) Dr. Subaidah Ratna Juita, S.H.,M.H. saat menjadi narasumber dalam Talkshow Kudengar (Kuliah Keadilan dan Kesetaraan Gender) yang mengangkat tema "Memahami Hak Perempuan dan Kesetaraan Gender : Aspek Pencegahan Viktimisasi" di Studio Radio USM Jaya FM Gedung N Universitas Semarang (USM) pada Rabu (20/9).(Foto:News Pool USM)

SEMARANG (SUARABARU.ID)- “Soal kesetaraan gender, kita harus terlebih dulu merubah pola pikir bahwa antara laki-laki dan perempuan setara dalam hukum, tidak ada tumpang tindih. Permasalahan gender sampai saat ini merupakan isu yang tidak ada habisnya. Jadi memang masih terus diperjuangkan karena merupakan bagian dari hak asasi manusia”.

Hal itu diungkapkan Ketua Pusat Studi Gender dan Anak Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM) Dr. Subaidah Ratna Juita, S.H.,M.H. saat menjadi narasumber dalam Talkshow Kudengar (Kuliah Keadilan dan Kesetaraan Gender) yang mengangkat tema “Memahami Hak Perempuan dan Kesetaraan Gender : Aspek Pencegahan Viktimisasi” di Studio Radio USM Jaya FM Gedung N Universitas Semarang (USM) pada Rabu (20/9).

Menurut Ratna, kesetaraan gender merupakan suatu istilah yang merujuk pada konstruksi sosial dan budaya. Semua warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum dan pemerintahan seperti yang tertuang dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.

Selain itu perempuan yang memiliki hak dan harus dilindungi oleh Undang-Undang, salah satunya yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan dimana perempuan berhak mengajukan cuti melahirkan.

”Tak hanya itu, hak-hak yang dimiliki oleh perempuan telah diatur pula dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan termasuk perempuan. Lalu UU Nomor 23 Tahun 2004 terkait penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,” ujarnya.

Dia mengatakan, perempuan juga memiliki hak bekerja bahkan berpolitik, atau memilih sebagai wanita karir namun jangan sampai melupakan tugas dan tanggung jawabnya yang ada di rumah.

Kesetaraan gender dan hak perempuan serta budaya sosial di masyarakat dapat menyebabkan lahirnya kasus kekerasan seksual dimana korban didominasi oleh perempuan. Korban kekerasan seksual tersebut dapat masuk dalam zona viktimisasi yang membuat korban menjadi semakin merugi.

”Salah satu contoh dari viktimisasi adalah ketika korban kekerasan seksual menceritakan pengalamannya dan menyebut pelakunya di media sosial, situasi itu dapat diputar balik dengan si pelaku melaporkan korban balik atas nama pencemaran nama baik. Akhirnya di awal menjadi korban kekerasan seksual dan berakhir menjadi korban kembali,” jelasnya.

Menurut Ratna, korban pelecehan seksual harus mendapatkan pendampingan. Dia berpesan, masyarakat harus paham dengan kesetaraan gender sehingga tidak menjadi korban atau tidak masuk dalam area viktimisasi.

Muhaimin