Oleh: Amir Machmud NS
ENTAH bombardemen komentar seperti apa yang meruap, andai Lionel Messi memilih memenuhi pinangan klub Al-Ahli, pada akhir musim kemarin.
Bisa jadi sinisme bakal mengelombang, seperti ketika Neymar Junior akhirnya melabuhkan diri dari Paris St Germain ke Al-Hilal dengan komponen bayaran selangit dan privilese istimewa.
Artinya, Neymar lebih memilih bayaran tinggi ketimbang peluang meraih Ballon d’Or jika tetap bermain di klub Eropa.
Bintang Brazil itu menyusul sejumlah pemain top lain dari liga-liga Eropa yang terlebih dahulu hijrah ke Saudi, di tengah sorotan miring dari UEFA. Otoritas sepak bola profesional Negeri Gurun melangkah gila-gilaan untuk memoles performa liganya.
Nyatanya, the show going on. Liga Pro Saudi kini menjadi top of mind paling aktual ketika kita bicara soal kontrak-kontrak fantastis.
Ronaldo Vs Rooney
Pada bagian lain, saling berbalas komentar antara Cristiano Ronaldo dengan Wayne Rooney memberi indikasi kontroversi tentang rivalitas perkembangan industri sepak bola dunia.
Ronaldo berada di kutub opini Liga Saudi ketika menjadi pionir kehijrahan para bintang dunia ke Arab, dengan berpetualang ke Al Nassr. Dengan penuh keyakinan dia menuturkan, Liga Pro Saudi lebih kompetitif dari Major League Soccer (MLS).
“Setahun ke depan bakal lebih banyak pemain top yang datang. Liga Saudi akan menyusul Liga Turki dan Belanda,” katanya, seperti dikutip bola.net dari The Athletic (20 Juli 2023).
Sebaliknya, Rooney yang kini melatih DC United berpendapat, Liga Amerika Serikat punya segalanya untuk menjadi salah satu yang terbesar di dunia.
“MLS bisa mendatangkan Lionel Messi adalah pembuktian besar. Adakah cara yang lebih baik untuk membuktikan bahwa liga ini bisa bersaing dengan kedatangan Messi?” ungkap legenda Manchester United itu.
Polemik ini, pada sisi lain juga bisa bernilai “soccertainment” untuk mengangkat publisitas Liga Saudi. Bukankah budaya pop terkadang juga membutuhkan elemen konfliktif dalam membangun bla-bla-bla public relationship-nya?
Kita juga bisa menafsir, keberadaan Ronaldo di Liga Saudi dan Leo Messi di MLS diam-diam menciptakan “berkah persaingan”. Media dan budaya pop akan membawa rivalitas sengit kedua megabintang itu, dengan segala perniknya, untuk mengangkat popularitas liga kedua negara tersebut.
Migrasi Besar
Gelombang migrasi ke Arab dapat disimak dari distribusi para bintang di sejumlah klub. Dari yang berstatus eks bintang, yang masih di orbit utama, hingga yang benar-benar masih segar.
Tiga status itu menunjukkan spirit industrial yang tak hanya bernilai pragmatis, tetapi juga bervisi masa depan, dan menggalang sifat edukatif dari mereka yang pernah menjadi ikon dunia.
Di Al Nassr, selain Ronaldo ada Anderson Talisca, David Ospina, Marcelo Brozovic, Seko Fofana, Alex Telles, dan terakhir Sadio Mane.
Taburan bintang mewarnai skema Al-Hilal. Neymar baru saja mendarat dengan gaji dan hak-hak istimewanya. Dia akan berada di tengah Ruben Neves, Kalidou Koulibaly, Sergej Milinkovic Savic, dan Malcom.
Sementara itu, Karim Benzema akan bahu membahu dengan N’Golo Kante, Jota, dan Fabinho di Al-Ittihad.
Jangan abaikan pula Al-Ahly. Roberto Firmino yang langsung nyetel sebagai gelandang serang dengan hattrick di laga perdana, bertandem dengan Riyad Mahrez, Edouard Mendy, dan Alan Saint-Maximin.
Klub-klub lain tak kalah sibuk. Jordan Henderson, Mousa Dembele, dan Jae Hendry di Al-Ittifaq. Ever Banega dan Gregorz Krychowick di Al-Shahab, sementara Al-Fateh, Al-Sadd, dan Abha dengan masing-masing satu rekrutan Eropa: Cristian Tello, Romain Soiss, dan Felipe Caicedo.
Jika publisitas Liga Saudi terus disuburkan dengan kontroversi pro-kontra, apakah dalam format framing atau murni perang opini, perkiraan saya pada musim depan justru makin banyak bintang yang datang. Apalagi dengan iming-iming gaji yang lebih menggiurkan.
Kiprah Timur Tengah
Langkah baru Arab Saudi itu membuat kiprah negara-negara Timur Tengah dalam peta sepak bola dunia semakin terasa.
Piala Dunia 2022 yang sukses digelar di Qatar merupakan puncak yang langsung atau tidak langsung menandai peran “uang Arab” dalam percaturan sepak bola.
Jaringan bisnis Pangeran Mohamed bin Salman — konsorsium Public Investment Fund (PIF) — sejak tiga tahun silam mengambil alih 100 persen saham klub Newcastle United dari Mike Ashley di Liga Primer
MBS melengkapi investasi Syekh Mansour al-Sulaimany dari Uni Emirat Arab melalui City Football Group (CFG) untuk Manchester City, dan terbukti mengubah Pasukan Etihad itu sebagai kekuatan dunia.
Di Ligue 1, Syekh Nasser al-Khelaifi dari Qatar Sports Investment (QSI) menjadi pemilik Paris St Germain dengan ambisi Eropa seperti The Citizens.
Liga Pro Saudi, yang pada 2013-2019 berlabel sponsorik Liga Abdul Latif Jameel atau Dawry Jameel, kini betul-betul diinvestasikan untuk memacu kemajuan sepak bola negeri yang lolos ke 16 besar Piala Dunia 1994 itu.
Melawan Inferioritas
Sepak bola Asia, khususnya di kawasan Barat, masih berjuang melawan inferioritas di hadapan superioritas Eropa dan Amerika Latin.
Di kawasan Timur, Jepang dan Korea Selatan sudah mampu menegakkan kepala dengan penampilan tim nasional yang memberi warna kuat di setiap Piala Dunia, sejak 2002.
Sementara itu, Asia Barat lewat Arab Saudi dan Iran masih belum sekonsisten Jepang dan Korea yang ditopang oleh konsistensi impresif kompetisi liganya.
J-League dan K-League dikenal kuat dalam manajemen disiplin kompetisi, melahirkan banyak bintang yang bersinar di liga-liga Eropa.
“Kolaborasi” kemarakan liga domestik dan visi Eropa itulah yang menduniakan sepak bola Jepang dan Korea. Bahkan Liga China, dengan cara memacu diri yang mirip, belum juga beranjak ke level kedua negara tersebut.
Jadi apa salahnya kita bersikap positif? Liga Pro Saudi tampaknya melangkah dengan lebih revolusioner, yang bertumpu pada kekuatan uang dan setting masif public relations.
Sebagai kondisi kebetulan atau tidak, persaingan dengan Liga Amerika Serikat lewat representasi Ronaldo dan Messi bakal menjadi salah satu elemen pelecut lompatan sepak bola Arab Saudi.
Dari sisi visi industri sepak bola, atmosfer marak yang terkesan instan itu justru bakal memeratakan ingar-bingar “soccertainment” di seluruh penjuru dunia…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —