Oleh : Gunawan Witjaksana
BERBEDA dengan korupsi lainnya, utamanya ekonomi, yang biasanya mengurangi atau mengambil yang bukan haknya, korupsi komunikasi justru sebaliknya, yaitu dengan menambah bahkan mengalikan berkali lipat informasi yang diterima, ketika informasi tersebut akan diteruskan bahkan di-share kepada pihak lain.
Dampaknya, saat ini bertebaranlah informasi, utamanya melalui media sosial yang bias atau tidak sesuai aslinya, yang dampaknya tentu sangatlah membingungkan masyarakat awam.
Media pun, utamanya media sosial, yang sangat mudah dijadikan media korupsi komunikasi, dengan mengedit serta mengubah isi serta tampilannya sedemikian rupa, sesuai tujuan si pengirim, sehingga bagi yang agak melek teknologi dan komunikasi, tampak jelas antara ketidaksinkronan tampilan dengan isinya.
Celakanya, bagi sebahagian besar masyarakat yang tidak melek komunikasi dan teknologi informasi, sering mengira apa yang mereka terima benar adanya, sehingga pemahaman yang salah tersebut tak jarang melahirkan opini yang salah juga.
Karena itu, pada pemilu 2024 yang secara ideal semua pihak menginkan adanya pendidikan politik yang baik pada masyarakat, kita perlu mempertanyakan, tidakkah para calon beserta seluruh pendukungnya sebaiknya saling mengakhiri korupsi komunikasi demi masa depan bangsa? Atau sebaliknya akan saling terus melakukannya tanpa peduli dampaknya, yang penting menang?
Kejujuran
Kampanye atau sosialisasi, atau apa pun istilahnya, pada hakikatnya adalah melakukan komunikasi, utamanya komunikasi politik.
Semua pihak, utamanya para pemikirnya, tentu faham bahwa prinsip komunikasi itu adalah kejujuran. Dengan prinsip tersebut, maka sebenarnya bila saling melakukan korupsi komunikasi, meski mungkin dalam jangka pendek, bisa saja menang. Karena para pemilih salah persepsi, namun akhirnya apa yang mereka ikrarkan bersama sebelumnya, diingkarinya sendiri.
Karena itu, senyampang waktunya masih cukup, harapannya semua kontestan beserta seluruh komponen pendukung, utamanya yang menangani medsos, sebaiknya menghindari korupsi komunikasi, dengan mengedit serta memanipulasi informasi sesuai dengan tujuannya.
Mengganti pesan komunikasi dengan jujur serta berisi program yang jelas, selain memintarkan masyarakat, sekaligus menghindari kekecewaan masyarakat yang salah pilih kelak.
Selektif
Namun, tampaknya hal yang ideal tersebut akan sulit dihilangkan. Karena dalam bahasa politik, ada istilah politisasi (politiking), yang di dalamnya penuh dengan ketidakjujuran.
Karena itu, menghadapi banjir korupsi komunikasi dengan makin banyaknya komunikasi manipulatif, masyarakat, utamanya pengguna smartphone, harus makin selektif pada setiap informasi yang mereka terima.
Bila menghadapi berbagai pengeditan, setidaknya ada aplikasi yang cukup memadai dengan melakukan cek berita hoax.
Di sisi lain, bila kesangsian kita itu justru terhadap pandangan figur intelektual tertentu, setidaknya kita bisa melakukan tabayyun ke media penyiaran publik, atau media yang kita anggap cukup netral, atau pun kepada lingkungan kita yang dipandang integritasnya masih cukup terjaga.
Singkatnya, meski para elit itu sebenarnya cukup tahu pentingnya kejujuran dalam komunikasi, namun kepentinganlah yang sering membuat mereka lupa diri.
Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi masyarakat, untuk selalu berlaku cermat serta menyeleksi setiap informasi yang mereka terima.
Prinsipnya, hanya melalui hal itulah korupsi komunikasi bisa dikurangi, seiring dengan makin cerdasnya masyarakat, serta seiring meningkatnya tingkat pendidikannya, sekaligus oleh berbagai sumbangsih lainnya. Di antaranya media massa serta para intelektual di lingkungannya, yang masih peduli pada masa depan bangsanya.
— Drs Gunawan Witjaksana MSi; Dosen Tetap Ilmu Komunikasi USM dan Dosen Ilmu Komunikasi Udinus —