Manakala rembetan nyala api tali sumbu menyentuh bola merconnya, maka sontak muncullah kilatan api bernyala terang di langit waktu senja yang mulai gelap. Bersamaan itu, terdengarlah dentuman keras berbunyi guuuuur. Setelah sebelumnya, diawali dentuman bersuara blang (bleng).
Dentumannya, menggema di langit dan terdengar dalam radius sekitar 10 sampai 15 Kilometer (KM). Umat muslim pun sontak berkata: ”Wis (sudah) Duuul.” Begitulah tradisi Blanggur sebagai budaya di Tanah Air untuk menandai saat tiba waktunya berbuka puasa.
Bagi yang sekarang berusia 65 tahun ke atas, tidak asing dengan Blanggur. Karena dulu, setiap petang selalu disulut di Masjid Agung yang ada di hampir setiap ibukota kabupaten/kota. Itu untuk menandai datangnya waktu berbuka puasa di Bulan Ramadan.
Di era Tahun 1960-an, banyak warga yang datang ke Masjid Agung Taqwa sisi depan kiri Kantor Kabupaten Wonogiri, untuk melihat penyulutan Balanggur. Tokoh Umat Muslim Wonogiri, Katibin, dikenal sebagai petugas yang ahli menyulut Blanggur.
Mercon besar bulat berukuran garis tengah 15 CM dengan berat 8 Ons itu, sebelumnya dimasukkan di lubang tabung pipa besi (potongan tiang telepon) panjang sekitar 1,5 M yang ditancapkan tegak lurus ke atas di halaman masjid. Ketika disulut ujung sumbunya, melesat ke angkasa berketinggian sekitar 300 Meter, dengan gerakan ugil-ugil, sebelum kemudian meledak di ketinggian dengan suara Guuuurrrr.
Meriam Keraton
Dalam buku ”Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Orang yang Mengalaminya,” dituliskan, ada dua masjid di Jakarta yang rutin menyulut Blanggur selama Bulan Puasa. Yakni Masjid Kwitang dan Masjid Baitul Rahman Tanah Abang. Suara ledakannya terdengar sampai Senen, Kwitang, Kramat dan sekitarnya.
Di Solo, penanda waktu berbuka puasa awalnya melalui tembakan salvo meriam Keraton Kasunanan Surakarta. Sebelum kemudian dialihkan penyulutan Blanggur di Masjid Agung Surakarta dan di Masjid Tegalsari.
Blanggur yang disulut di masjid-masjid Tanah Air, awalnya diimpor dari Cina. Kemudian diproduksi oleh Cina Perantauan yang bermukim di Pantai Utara Jawa. Yakni di Cirebon (Jabar), Tegal (Jateng) dan Tuban (Jatim).
Wartawan Bambang Pur yang pernah dua kali melakukan tugas jurnalis ke Cina (Tahun 1990 dan Tahun 2007), mendapatkan pemahaman bahwa bangsa Tionghoa ahli dalam membuat mercon dan kembang api sejak dari Zaman Dinasti Tang (618-907 M) dan berkembang selama Dinasti Song.
Cina awalnya menggunakan teknologi bambu dan serbuk mesiu, untuk membuat petasan pertama sekitar Tahun 1.000 Masehi. Seorang Biksu Cina, Li Tian, mengisi lubang bambu dengan bubuk mesiu berbasis garam dan membakarnya. Timbullah suara ledakan bersama semburan cahaya putih terang ke langit malam.
Dari itu, Cina, kemudian memproduksi mercon bersuara keras dan kembang api, untuk perayaan Tahun Baru Imlek. Tradisi Cina kuno, menyebutkan, bunyi ledakan mercon awalnya untuk menakuti roh jahat. Namun seiring berjalannya zaman, petasan dan kembang api menjadi komoditas untuk memeriahkan aneka pesta perayaan.
Bambang Pur