Oleh : Hadi Priyanto
Dokter Cipto Mangunkusumo, lahir di Pecangaan Jepara 4 Maret 1886, atau 137 tahun yang lalu. Karena jasa-jasanya yang demikian besar bagi perjalanan bangsa ini dalam meraih kemerdekaanya, maka ia mendapatkan anugerah gelar Pahlawan Kemerdekaan Republik Indonesia. Penetapan tersebut dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan menerbitkan Keputusan Presiden No 109 tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964. Pada hari yang sama, juga dikeluarkan Kepres No. 108 tahun 1964 tentang penganugerahan gelar
Pahlawan Kemerdekaan Indonesia untuk RA Kartini yang lahir di Mayong tanggal 21 April 1879.
Pahlawan yang sering dipanggil sebagai dokter rakyat dan salah satu guru politik Ir Soekarno ini adalah putra Mangunkusumo, yang tahun 1884 diangkat menjadi manteri guru atau kepala sekolah rakyat di desa tersebut. Sebelumnya dia adalah guru di 2de Inlandsche School (Sekolah Kelas Dua untuk Bangsa bumiputra) di Ambarawa. Sedangkan Ibunya adalah RA Suratmi, putri seorang kasir pabrik gula Mayong bernama R.M. Sutodijoyo yang dikenal sebagai tuan tanah yang kaya. Bahkan tanahnya disewakan kepada pabrik gula Mayong untuk perkebunan tebu.
Dokter Cipto Mangunkusumo dan dr Gunawan Mangunkusumo sangat mengagumi RA Kartini Setelah keduanya sekolah di School tot Opleiding van Inlandssche Artsen ( STOVIA ) atau Sekolah Dokter Jawa di Batavia mereka bersahabat dengan RA Kartini dan berhubungan melalui surat. Dr Cipto Mangunkusumo mulai sekolah di STOVIA pada tanggal 1 Maret 1889 dan Dr Gunawan mulai 10 Januari 1903.
Kedekatan R.A. Kartini dengan mahasiswa STOVIA ini diungkapkan dalam suratnya tahun 1903 kepada Ny Ovink Soer, “Kami sudah mendapatkan banyak pengikut. Angkatan muda kita sudah mendukung sepenuhnya. Jong Java akan membangun persatuan dan tentu kami bergabung. …. Mereka menamakan saya Ayunda. Saya menjadi kakak mereka, pada siapa mereka setiap waktu dapat datang kalau mereka butuh bantuan atau pelipur hati,”
Pengaruh semangat R.A. Kartini terhadap kaum muda pergerakan diungkapkan Dr. Cipto Mangunkusumo dalam tulisannya di surat kabar De Express tanggal 24 Mei 1912, “ Tiap halaman surat Kartini tertuang keinginan, harapan, perjuangan untuk mengajak bangsanya bangun dari tidurnya yang panjang yang telah beratus-ratus tahun”. Bahkan karena kekaguman dan rasa hormat Dr. Cipto Mangunkusumo pada R.A. Kartini, juga ditunjukkan dengan mendirikan Kartini klab tahun 1910. Lembaga ini didirikan untuk memajukan bangsa di bidang pendidikan dan menyatukan pemuda dan pelajar.
Dokter Cipto Mangunkusumo kemudian mengembangkan sayap gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan negerinya. Pada tahun 1913, bersama dengan Douwes Dekker dan Soewandi Soerjaningrat dia mendirikan Indische Partij. Mereka dikenal sebagai tiga serangkai.
Indische Partij menggunakan majalah Het Tijdschrifc dan surat kabar de ekspres pimpinan Douwes Dekker untuk membangkitkan rasa kebangsaan serta rasa cinta tanah air. Partai pertama di Indonesia tersebut memiliki satu misi luar biasa, yaitu menentang politik rasial dari pemerintah kolonial Belanda dan memperjuangkan pemerintahan sendiri.
Namun sayang, partai tersebut tidak berjalan lama. Sebab, saat Indische Partij didaftarkan status badan hukumnya, pemerintah kolonial Belanda menolaknya pada 11 Maret 1913. Bahkan kemudian mereka bertiga di buang ke Belanda.
Saat di buang ke Belanda tahun 1913, dokter Cipto Mangunkusumo juga bergabung dengan organisasi Indische Vereeniging. Organisasi ini didirikan oleh para mahasiswa dari Hindia Belanda, salah satunya adalah Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono yang sejak tahun 1897 sekolah di Belanda. Dia merupakan mahasiswa pertama bangsa Jawa.
Kemudian pada tahun 1919 dr Gunawan Mangunkusumo bersama dr. Sutomo juga ke Belanda untuk menyelesaikan pendidikan dokter. Mereka juga bergabung dengan organisasi Indische Vereeniging. Bahkan kemudian dr Gunawan Mangunkusumo mendapatkan kepercayaan sebagai wakil ketua dan kemudian ketua dari organisasi Perhimpunan Indonesia yang semula bernama Indische Vereeniging..
Pejuang Gagasan di Panggung Pergerakan
Di pusat kolonialisme di Balanda, Drs Sosrokartono bukan saja telah ikut mendirikan Indische Vereeniging, tetapi telah menebarkan paham cinta tanah air. Drs. Sosrokartono juga menjadi salah satu tim redaksi penyusunan buku yang berisi sumbangan pemikiran – pemikiran dari Indische Vereeniging yang ditujukan kepada organisasi Budi Utomo yang didirikan antara lain oleh dokter Sutomo dan dokter Gunawan Mangunkusumo.
Hubungan antara “trah Jepara” juga terbangun saat Drs Sosrokartono kembali ke tanah air pada tahun 1925 setelah berada di Belanda selama 28 tahun. Di kota Bandung, dia kembali bertemu dan berhubungan dokter Cipto Mangunkusumo yang sejak tahun 1920 dibuang oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Bandung karena tulisan-tulisannya yang kritis. Di Bandung Drs. Srosrokartono maupun dokter Cipto Mangunkusumo kemudian berhubungan dengan para pemuda pergerakan lainnya, diantaranya adalah Ir. Soekarno Mereka sering berdiskusi tentang masa depan bangsa yang mereka cita-citakan.
Drs Sosrokartono kemudian menjadi Kepala Nationale Middelbare School yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara yang pernah dikenalnya saat dibuang ke Belanda bersama dokter Cipto Mangunkusomo dan Douwes Dekker.
Drs. Sosrokartono, R.A. Kartini, Dokter Cipto Mangunkusumo dan dokter Gunawan Mangunkusumo memang tidak memegang senjata atau bambu runcing. Tidak juga turun dalam medan peperangan. Namun mereka tercatat sebagai putra-putri bangsa yang berjuang dengan gagasan untuk melepaskan bangsanya dari penjajah yang telah berabad-abad.
Bukan hanya dalam ruang-ruang diskusi, tetapi mereka juga menuliskan perlawanannya terhadap kolonialisme di surat kabar dan majalah. Juga ajakan kepada bangsanya untuk bangun dari tidurnya yang panjang dan melakukan perlawanan.
Tentu tidak banyak kota seperti Jepara yang memiliki tokoh yang hidup se zaman dan berjuang di panggung pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kini menjadi kewajiban kita, untuk terus menghidupkan gagasan dan semangatnya dan bukan hanya mengenang sosoknya.