Oleh: Amir Machmud NS
// tanah air, cinta, dan kebanggaan/ ketika totalitas tak menjadi jiwa/ pengorbanan tak menjadi nyawa/ seringan itukah mengabaikan/ dan tegakah kita meluruhkannya?//
(Sajak “Cinta Tanah Air”, 2023)
KATAKAN dengan cinta, gelegakkan spirit “hubbul wathon minal-iman”, dan mewujudlah rasa itu ke formulasi loyalitas kepada negara.
Katakan cinta kepada sepak bola, untuk Tanah Air. Bukan kepada klub, kepada pengurus PSSI, atau simbol apa pun yang tak setara dengan “rasa bangsa” dan “rasa negara”.
Tak semuanyakah bisa menangkap spirit cinta yang ditiupkan oleh Shin Tae-yong, arsitek tim nasional Indonesia ke Piala Asia U20 dan Piala Dunia U20?
STY berhadapan dengan realitas ego klub-klub Liga 1. Persija Jakarta, yang ditukangi Thomas Doll, bertarik ulur melepas sembilan pemain yang diminati STY. Begitu pula Persib Bandung yang dipoles Luis Milla, sempat enggan mengizinkan pemain mengikuti pemusatan latihan timnas.
Polemik, sampai pada segi-segi personal mewarnai relasi komunikasi STY dengan Doll. Pelatih asal Jerman itu mengkritik pelatnas dalam tempo lama sudah tidak lagi efektif. Perbedaan tentang model pemusatan latihan itu menjadi polemik, padahal coach Shin sudah harus intensif meracik tim, dan dalam bilangan mundur, Piala Dunia — yang digelar di Indonesia — sudah kurang dari 100 hari lagi. Piala Asia di Uzbeskistan, bahkan tinggal menghitung hari.
Tentu sulit berharap mengoptimalisasi persiapan ketika terkendala pemanggilan pemain. Dua bintang yang sangat diandalkan, misalnya, Marcelino Ferdinand dan Roberto Kwateh sedang dalam proses bergabung dengan klub Eropa. Marcel ke klub Liga 2 Belgia, KMSK Deinze, dan Kwateh ke Bodrumspor AS, Turki.
STY sampai menyampaikan keluhan, “Akankah persiapan ke Piala Dunia dilakukan dengan asal-asalan?”
Faktanya, keberangkatan ke Uzbeskistan pun dalam kondisi yang terasa “seadanya”, hanya menjalani tiga uji coba internasional dalam sebuah turnamen mini. Menang 4-0 atas Fiji, kalah 1-2 dari Selandia Baru, dan takluk 0-1 dari Guatemala.
Patutkah persiapan ringkas itu sebagai modal ke turnamen sepenting Piala Asia?
Polemik Klasik
Ketua Umum PSSI Erick Thohir menyinggung soal kepentingan Merah-Putih, sebagai prioritas yang tak bisa ditawar dengan alasan apa pun.
Tarik menarik kepentingan antara timnas dengan klub bukan baru sekali ini terjadi. Jauh sebelum kompetisi kita mewujud ke liga yang profesional, silang komunikasi klub dengan PSSI sering terjadi. PSSI punya aturan tentang “tugas nasional” pemain apabila sewaktu-waktu dibutuhkan untuk kepentingan bangsa dan negara. Apalagi, muara impian sejarah pemain adalah membela timnas. Akan rugi apabila dia melewatkan kesempatan berlaga di panggung internasional.
Dalam perkembangan sistem kompetisi, idealnya pemain sudah dimatangkan oleh klub melalui kompetisi liga yang representatif. Pelatih nasional tinggal meracik taktik, tidak diribetkan oleh realitas lain seperti kondisi fisik buruk dan bentuk-bentuk ketidaksiapan psikologis. Jadi teorinya, tidak dibutuhkan Pelatnas jangka panjang. Dari sisi ini beralasan pula keengganan Thomas Doll melepas pemain untuk persiapan berjangka panjang.
Bahwa kompetisi kita belum berjalan sesuai kebutuhan profesional pembajaan mutu pemain, menuntut “realitas lain” pula. Ketika dikaitkan dengan “tugas negara” untuk Piala Dunia, dan posisi Indonesia sebagai tuan rumah, yang terbayangkan adalah tuntutan totalitas dari semua unsur yang merupakan indikator-indikator pendukung, dalam hal ini termasuk peran klub-klub sebagai pemilik pemain.
Kenangan 1979
Kita bisa berkaca dengan mengkilas balik persiapan tim Indonesia untuk Piala Dunia Yunior 1979 di Tokyo. Ketika itu, Imam Murtanto dkk yang diarsiteki pelatih Sutjipto Soentoro lolos ke putaran final, karena negara Asia yang seharusnya mendapat tiket memilih tidak hadir.
Diawali dari Piala Asia U19 di Bangladesh, Indonesia yang tergabung di Grup A kalah 0-4 dari Irak, menang 2-0 atas Malaysia, dan unggul 4-0 atas Yordania. Hasil itu membawa lolos ke perempatfinal. Di babak gugur ini, Indonesia kalah 0-2 dari Korea Utara.
Di partai puncak, Irak-Korea Selatan berbagi skor 1-1 dan juara bersama. Dalam perebutan tempat ketiga, Kuwait dan Korea Utara bermain imbang. Indonesia mendapat durian runtuh, karena Irak dan Korea Utara enggan datang ke Jepang. Kuwait, Iran, Arab Saudi, dan Bahrain juga menolak. Indonesia menyatakan siap.
Hadir hanya sebagai tim pengganti di putaran final, Garuda Muda disiapkan secara serius. Sutjipto Soentoro membawa timnya beruji coba intensif melawan tim-tim lokal ke berbagai daerah. Saat tampil di Tokyo, meskipun tak mampu membendung kedahsyatan Argentina, Polandia, dan Yugoslavia, daya juang para pemain seperti Bambang Nurdiansyah, Arief Hidayat, Imam Murtanto, Mundari Karya, Didik Darmadi, Pepen Rubiyanto, atau Endang Tirtana, patut diacungi jempol.
Kini, ketika konstelasi kekuatan dunia sudah bergerak dalam dinamika kompetisi liga-liga, Piala Dunia U20 di Indonesia diperkirakan bakal berjalan ketat. Sebagai tuan rumah, Indonesia bukan hanya mempertaruhkan prestise penyelenggaraan. Dan, tentu juga menginginkan penampilan yang tidak memalukan. Kita belum tahu akan bersaing dengan tim mana saja dari pembagian grup, Maret mendatang. Siapa pun calon lawan nanti, yang akan menopang performa adalah intensitas penyiapan tim.
Pernyataan — atau curhat — Shin Tae-yong ini seharusnya menggugah, “Saya hanya minta ketegasan dan pengorbanan dari diri masing-masing. Kapan lagi bisa lolos ke Piala Dunia? Apakah kita mau jauh lebih baik, atau cukup bertahan di situ-situ saja?”.
Di luar kesadaran tentang peta kekuatan dunia, faktor yang mesti melecut Garuda Muda adalah posisi sebagai tuan rumah. Lolos dari babak grup boleh jadi dipandang sebagai mimpi, maka performa impresiflah yang kita harapkan bisa tersaji. Kesempatan bermain dengan tim-tim dunia, dan saatnya unjuk patriotisme seperti Korea Selatan asuhan STY yang mengalahkan Jerman 2-0 di Piala Dunia 2018, atau Kesatria Taeguk arahan Guus Hiddink yang menggulingkan Portugal, Italia, dan Spanyol di Piala Dunia 2002. Juga patriotisme tim-tim Asia di Piala Dunia Qatar, tahun lalu.
Kerja total, support total, dan rasa nasionalisme melecut tim-tim Asia itu memperjuangkan kehormatannya. Kita butuh totalitas fokus serupa. Tak ada alasan membiarkan timnas U20 digerogoti oleh kepentingan apa pun, atas nama kendala apa pun, yang membuat tim ini dibentuk seadanya.
Dan, sebelum berpikir tentang Piala Dunia, pertarungan level Asia di Uzbekistan mulai 1 Maret nanti akan menguji spirit cinta Tanah Air Muhammad Ferrari dkk.
Saya, dan Anda, sama-sama punya mimpi menyaksikan penampilan timnas yang “Berbeda”, bukan?
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —