Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Rasanya aneh jika tidak bicara tentang piala dunia sepak bola, meski sebenarnya saya tidak tekun melihatnya. Dalam ketidaktekunan itu, saya lalu tidak fanatik dan menjagokan kesebelasan negara tertentu.
Itu juga berarti tidak ada rasa kecewa atau sebaliknya bungah-bungah karena juaranya adalah tim yang saya jagokan, dan sebaliknya nangis sesenggukan karena kalah.
Di luar dari yang biasanya dibicarakan khalayak, saya justru tertarik untuk membedah aspek ngabang bironi dalam gawe besar piala dunia ini; dan negara mana terpilih sebagai tuan rumah penyelenggara piala dunia ini, prestise negara itu melonjak naik dan naik. Itulah mengapa sanagt diperebutkan oleh sangat banyak negara, kamangka rekasa, padahal berat, mahal dan rumit.
Pihak yang rekasa, yang mengalami kesulitan bukan saja negara penyelenggara, melainkan juga sebagian besar negara yang kepingin masuk bilangan 32 negara sebagai peserta piala dunia. Seleksi untuk masuk ke bilangan 32 juga susah payah dilakukan; dan ketika masuk ke dalam bilangan 32, pertandingan- pertandingan di babak penyisihan dan selanjutnya, juga semakin berat, rekasa, dan menguras energi siapa pun. Lagi dan lagi, meski berat, rekasa, mahal, kuras energi, tetap saja antusiasme siapa pun sangatah tinggi.
Baca Juga: (Dinggo) Abang-abang Lambe
Ngabang bironi adalah suatu ungkapan untuk menggambarkan betapa sulitnya para pihak untuk menemukan penghidupan. Dalam konteks individual, ngabang bironi berarti bingung enggone golek butuh utawa panguripan.
Di saat-saat pandemi Covid 19 yang masih juga mengancam ini, sangatlah dapat dipahami manakala banyak individu yang berada dalam kondisi bingung seperti itu. Belum lagi, di sana sini ada fakta ada saja orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaan pun juga lagi ngabang bironi.
Dalam konteks piala dunia sepak bola, gejala ngabang bironi menjadi semakin kompleks, karena negara-nagara juga bingung: Di satu sisi ingin sekali ikut berkiprah dalam pesta besar persepakbolaan ini, namun di sisi yang lain, duh…. betapa besar tantangannya.
Negara yang super maju persepakbolaannya pun juga tidak kalah bingung karena pendukungnya maunya tim negaranya harus menang dan selalu menang. Kalah di babak penyisihan bagi mereka yang terbilang 32 itu, oooo…malapetaka luar dalam.
Pocapan
Ngabang bironi adalah sebuah pocapan, bahasa percakapan dan bukan paribasan (peribahasa), bukan pula parikan. Sebagai sebuah pocapan, sangatlah mungkin ngabang bironi sangat dikenal di suatu wilayah, namun bisa jadi tidak sangat akrab di wilayah lainnya.
Baca Juga: Abang-Abang Ora Legi
Bahasa percakapan tentu saja menunjuk pada kebiasaan bercakap-cakap santai, malahan bercengkerama. Begitu pun Bahasa percakapan terkait piala dunia ini, pastilah ada saja orang yang menjadi bingung dalam saling menebak siapa menang dan siapa kalah.
Dan perlu selalu diingat, bahasa percakapan justru semakin gayeng dan panas ketika diwarnai dengan taruhan. Tidak menutup mata, pasti saja ada di mana-mana orang bertaruh selama gawe besar piala dunia ini.
Dua minggu berturut-turt dibahas tentang abang-abang ora legi dan dinggo abang-abang lambe, berikutnya saat ini ngabang bironi; hal ini menunjukkan betapa selalu ada keterkaitan antara paribasan, parikan, lan pocapan padinan itu.
Maksudnya, kehidupan dan realitas sosial ini memang sangat-sangat kompleks; bahkan dalam berkomunikasi pun kompleksitas itu ditunjukkan lewat ungkapan-ungkapan yang bercorak peribahasa, parikan, pantun, atau pun pocapan biasa saja.
Gawe besar piala dunia sudah menghasilkan sang juara di tahun 2022 ini; ada yang pesta pora bergembira, ada yang sedih beerkepanjangan. Dan jangan lupa, rasa bingung terus saja menyelimuti banyak negara dengan pertanyaan dan pertanyaan: Apakah di pesta piala dunia empat tahun lagi, negaraku bisa lolos? Atau, kapan negaraku akan menjadi tuan rumah penyelenggaranya? Ngabang bironi terus berlanjut dan lanjut…. Selamat kepada sang juara piala dunia sepak bola, 2022.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang