blank
Foto: ilustrasi/pixabay

Oleh: Catur Pramudito Damarjati

DI tengah hamparan orang yang duduk saling berhimpit di sebuah halaman pendopo, suryati termenung di antaranya. Ia mengenakan jaket hodie merah jambu, kedua tanganya melingkar ke lutut yang saling menyilang di depan dada. Sementara dari arah panggung, semua mata tertuju pada sosok lelaki paruh baya dengan pakaian serba putih, ia mengiringi kidung cinta ke seluruh jamaah. Mega kuning lampu pendopo, menyelimuti sepanjang mata yang turut hanyut dalam alunan, juga pada selaput mata Yati yang memendar. Perlahan lumer dan kian tak terbendung membasahi kedua pipinya.

Suryati sungguh tak menangis, apalagi terisak. Bagi pelacur sepertinya, tangis tak pantas. Sebab ia sudah kenyang dengan segala macam kesedihan. Telah bertahun-tahun lamanya, ia bernaung pada malam yang angkuh dan bisu. Maka duka tak lagi berarti. Tapi pada malam itu, ia tetap menjatuhkan air mata meski tak memahami betul isi hatinya, ia eja lagi apakah itu kesedihan. Ataukah sesuatu yang lain. Ketika suara gamelan melingsir memadu kasih dengan jagat malam, ia masih tak terisak, namun air matanya kian menderas.

Memandang lelaki paruh baya dengan rambut bergelombang itu, seperti menyentuh dengan lembut segala tabir jiwanya. Siapa dia? Mengapa ia begitu jauh sekaligus teramat dekat? Jauh menggema ke relung kalbu sekaligus dekat dan begitu akrab. Lantas ingatanya melesat ketika Yati kecil bermain ayunan di taman seorang diri, kakinya tergontai di udara sambil sesekali lirih bersenandung lir-ilir. Tembang yang dinyanyikan untuknya setiap malam sebelum tidur.

Di pangkuan sang ibu, Yati kecil kadang terlelap sambil meneteskan air mata ke sela-sela pipi mungilnya. Dan entah bagaimana, lelaki paruh baya tepat di pusat panggung itu memanggil kembali ingatan yang telah begitu lama disembunyikanya. Bukan karena ia tak mau mengingat kembali, sebagai seorang pelacur, ia hanya ingin kenangan itu tetap suci dan berharga, sebab hanya tempat itulah jalan untuk kembali. Walau hanya dalam angan yang menyedihkan. Atau kenyataan yang ringkih dan terhimpit.

Yati duduk berhimpitan dibarisan paling belakang, dekat penjual es teh yang sibuk hilir mudik mengantar pesanan, di samping kirinya, seorang lelaki bertubuh kekar dengan tato di lengan kiri bersandar ke pagar besi, cincin dan tindik serta beraneka aksesoris yang menempel di tubuh membuat orang mudah mengenalinya sebagai preman.

Tanganya terpaut di salah satu kaki yang menyilang ke depan dada, sedang satunya lagi di jatuhkan ke tanah. Tubuhnya bersandar sedikit di belakang Yati, sementara kepalanya sengaja dijatuhkan dalam bayang-bayang, barangkali agar orang tak melihat dirinya. Karena pada beberapa kesempatan tatkala ia menghadiri suatu majelis, orang memandangnya dengan tatapan yang lain. Ah memang ia lain, batinnya.

Sesekali dirinya melirik Yati, untuk pertama kali wanita itu bersentuhan dengan majelis. Dan agaknya ia dapat menangkap Yati yang meneteskan air mata, sama seperti dirinya ketika pertama kali bersinggungan dengan sekumpulan orang yang menyebut diri mereka sebagai maiyah.

Telaga manusia bercampur baur dalam arus kesunyian, mereka semua seperti membersamai satu sama lain. Sementara Yati tampak lain, ia tak terpaut dengan siapa pun, tak membersamai sekumpulan orang-orang itu. Ia hanya sedang memandang dirinya sendiri pada bercak ingatan yang paling sunyi. Di sudut tersepi yang tak pernah tersinggahi, ia terpaut dengan dirinya sendiri.

* * * * *

Yati yang saban hari hidup di metropolitan, telah mencicipi segala macam kehidupan masyarakat kota. Meski begitu entah mengapa, ia selalu asing berada di pusaran jaman, jaman yang berpusar jauh dari mata air kehidupan. Baru setelah lama termenung di antara keriuhan itu, ia sepenuhnya memahami mengapa kawannya yang preman itu mengajaknya ke tempat seperti ini. Sebab disinilah naungan bagi orang-orang kalah mendapat penerimaan sepenuhnya sebagai manusia, bukan anjing atau bajingan.

Setelah majelis itu usai, orang-orang membubarkan diri, berjalan beriringan menuju lorong kecil kemudian keluar berhamburan ke jalan raya. Yati dengan preman itu duduk menepi di sebuah warung remang, menyeruput kopi dengan sebatang rokok di tangan kiri. Yati teringat ia punya janji dengan pelanggan malam ini. Seorang mahasiswa anak pengusaha kaya. Ah.

“Gimana, Yat?” Si preman menepis lamunan perempuan itu,
“Gimana apanya?” Timpal Yati,
“Ada pelanggan?”
“Iyaa”
“Kemana? Aku antar.”
“Tak usah, aku bisa minta dia jemput.”

Sesaat dalam kotak pesan, ia membatalkan janji. Ia rasa malam ini ia hanya ingin bersama kawannya. Seorang berpenampilan preman yang Yati tahu betul tak ada darah preman dalam dirinya. Memang ia suka mencari masalah dan keluar masuk penjara karena perebutan wilayah, perempuan atau narkoba. Walau pun ia banyak dijuluki orang sebagai gembong terminal atau jawara terminal. Tapi dalam hati kecil yati, ia cukup mengenal dengan baik siapa orang yang berada di balik topeng preman itu.

Sementara si preman diam-diam menangkap isi pesan di handphone Yati. Ia tersenyum kecil. Dalam hatinya ada kelegaan yang amat sangat ketika pelacur itu membatalkan janjinya. Bukan apa-apa. Ia merasa majelis tadi telah memengaruhi keputusannya. Yati sendiri tak memungkiri kenyataan tersebut, hanya saja bukan karena lelaki paruh baya dengan rambut bergelombang itu atau bahkan Tuhan. Dalam benaknya, ia sekadar ingin menyempatkan kenangan bersama sang ibu larut bersama malam.

Ketika alunan lir-ilir menyertai lelap dalam pangkuan sang ibu. Setelah sekian lama perasaan itu tersembunyi di balik beribu wajah, pada akhirnya ia tak mampu membohongi dirinya sendiri. Dan kebenaran itu membuatnya bersedih, sebuah perasaan yang telah lama hilang dari kamus seorang pelacur. Atau sesungguhnya perasaan itu terlipat dan luput terbaca. Atau pula kesedihan itu tak lagi termakna, ia sebatas kata, tak lebih. Entah.

Suryati seorang pelacur, ia tetaplah pelacur. Dalam beberapa kesempatan, si preman mengajaknya untuk menghadiri kembali majelis itu. Ia menolak. Di sepanjang rentetan malam, ia tetaplah Yati yang pandai bergoyang di atas ranjang. Yati yang memakai beribu wajah untuk menyenangkan pelanggan.

Perempuan itu tak ingin mengubah apa pun dari dirinya, selain menyimpan segala kenangan baik tentang lelaki paruh baya dengan rambut yang bergelombang, yang mengenakan pakaian serba putih itu, ke dalam persembunyianya bersama sang ibu. Menjaganya tetap suci dan berharga, meski pun tidak bagi dirinya sendiri.

—–