Jepara – Pelestarian seni ukir Jepara tengah terancam. Berbagai upaya telah dilakukan mulai lomba mengukir sampai dibukanya kembali jurusan seni ukir pada SMK 2 Jepara. Namun usaha itu belum bisa mrmbuahkan hasil maksimal.
Berangkat dari rasa keprihatinan itu, Universitas Diponegoro bekerjasama dengan Indonesia Eximbank serta Pemerintah Kabupaten Jepara menggelar Forum Group Discussion (FGD), dengan harapan, dapat mengembangkan Sumber Daya Manusia Tenaga Ahli Ukir di Kabupaten Jepara. Kegiatan yang bertempat di Palm Beach Resort, Bandengan, Jum’at (26/7) itu di ikuti oleh sejumlah pemangku kepebtingan.
Rini Satriani dari indonesia Eximbank Institut, menilai kegiatan ini sangat penting. Sebab melihat seni ukir di Jepara semakin menurun, khususnya dalam menghadapi persaingan industri global seperti sekarang.
“Indonesia Exim Bank telah melakukan study di Politeknik Kendal, terkait dalam pengembangan seni ukir,. Hasilnya ternyata bagus, maka dari itu mudah-mudahan di Jepara bisa berjalan” ujar Rini Satriani.
Dijelaskan pula, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Exim Bank telah melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan 11 perguruan tinggi. Undip adalah salah satunya. Undip mendapat mandat dari Eximbank untuk mencari tahu letak permasalahan ukir di Jepara,”ujarnya.
Asisten Bidang Pemerintahan Setda Jepara, Abdul Syukur dalam sambutannya mengatakan, saat ini, industri pengolahan yang dimotori furniture dan mebel ukir telah menyumbang 34,56 persen dalam struktur PDRB di Kabupaten Jepara.”Berdasarkan data dari Disperindag Kabupaten Jepara, pada tahun 2018 industri furniture dan kerajinan kayu baik berskala besar atau kecil di Jepara berjumlah lebih dari 7.460 unit usaha, dengan nilai produksi mencapai lebih dari Rp 3,8 triliun dan mampu menyerap lebih dari 86 ribu tenaga kerja” ujar Syukur.
Furniture kayu termasuk ukir Jepara juga telah mampu menembus 114 negara tujuan ekspor dengan nilai ekspor lebih dari Rp 2,6 triliun.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Dekan Vokasi Undip, Budiyono, melalui pendidikan vokasi atau sekolah kejuruan maka pemberdayaan dalam mengembangkan seni ukir akan dapat dilestarikan, ungkapnya.
“Melalui SMK kejuruan kemudian dilanjutkan pada jurusan vokasi pada perguruan tinggi, dengan pendampingan oleh pemerintah daerah maka pendidikan vokasi akan berjaya, sebab bisa mengisi kebutuhan dunia kerja”ujar Budiyono
Menurut Budiyono, setidaknya Indonesia butuh 113 juta tenaga terampil. Pendidikan vokasi sendiri dianggap masih rendah. Dari total sistem pendidikan di Indonesia, baru 5,6 persen yang berbasis vokasi. Sementara di negara maju, presentase dibidang keilmuan dan akademik berimbang, yakni 50:50.
Dijelaskan juga, tenaga ukir saat ini semakin sedikit sehingga perlu diperthankan. Dalam FGD tersebut diharapkan dapat menghasilkan jalan keluar untuk mempertahankan keahlian mengukir, jangan sampai dikemudian hari keahlian serta kekayaan tersebut diakui oleh ngara lain. (SuaraBaru. Id/Hadi Priyanto)