TEGAL (SUARABARU.ID) – Pemerintah wajib pastikan nelayan tetap bisa mendapatkan perlindungan dan akses BBM bersubsidi untuk keberlangsungan usaha sektor kelautan dan perikanan. Nelayan sangat keberatan dengan rencana pemerintah akan menaikan harga BBM bersubsidi karena 70 persen kebutuhan operasional melautnya menggunakan BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar untuk kapal dengan ukuran dibawah 30 GT.
Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah, H Riswanto Sabtu (27/08/2022).
Untuk kebutuhan BBM kata Riswanto bersubsidi di sektor kelautan dan perikanan sangat dinamis, tergantung lama melaut, kapasitas PK mesin yang digunakan dan jumlah mesin yang ada diatas kapal serta ukuran GT kapalnya. “Nelayan resah dengan rencana pemerintah yang akan menaikan harga BBM bersubsidi yang otomatis akan diikuti inflasi kenaikan harga bahan pokok perbekalan yang menjadi kebutuhan selama melaut selain BBM bersubsidi, tentu biaya operasional melaut akan ikut naik,” ujar Riswanto.
Disebutkan, terkait regulasi dan dasar hukum BBM bersubsidi untuk nelayan saat ini sebenarnya sudah diatur Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak beserta aturan turunanya Permen KP Nomor 71/Kepmen-KP/2016, Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 1/Per-DJPT/2018, Peraturan Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Nomor 17 Tahun 2019 dan Permen KP Nomor 29/Permen-KP/2020.
“Nelayan yang mendapatkan BBM bersubsidi dari Pemerintah diatur untuk skala kecil kapal ukuran 0-7 GT, 8-30 GT,” ungkapnya.
Untuk saat ini saja ketika nelayan skala kecil yang mendapatkan BBM bersubsidi pendapatannya tidak menentu, terkadang untuk melaut saat kondisi lancar tanpa ada kerusakan saja hasilnya tidak dapat hasil, karena harga ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dari nelayan tidak ada kenaikan dan cenderung menurun. Yang selama ini tidak ada keseimbangan harga ikan dengan biaya kenaikan kebutuhan pokok untuk perbekalan, dengan BBM bersubsidi nelayan skala kecil dengan ukuran dibawah 30 GT sangat terbantu dan masih bisa bertahan dengan keberlangsungan usaha sektor kelautan dan perikanan di tengah kondisi yang saat ini tidak ada kepastian usaha.
Di beberapa daerah saat ini saja untuk kapal ukuran 28 GT melaut satu minggu dengan kebutuhan BBM solar subsidi 1.500 liter harga 5.150 ditambah harga ongkos angkut 50 sehingga pemilik kapal membeli dengan harga 5.200 pembelian BBM solar subsidi 7.800.000, kebutuhan es untuk pendingin ikan 70 balok dengan harga perbalok 33.000 (2.310.000), dan kebutuhan perbekalan kebutuhan pokok makanan 6.890.000, untuk kapal dengan ukuran 28 GT dengan alat tangkap pursin mini biaya perbekalannya Rp 17 juta.
Sedangkan hasil tangkapannya saat ini melaut satu minggu dapat kurang lebih 50 basket dengan estimasi untuk satu basketnya 40 Kg, dengan harga kurang lebih Rp 400 ribu per basket kalau kualitasnya ikanya bagus dengan jumlah atau hasil lelang Rp 20 juta.
Kalau dilihat antara biaya perbekalan dan hasil lelang ikannya masih ada sisa Rp 3 juta, untuk bagi hasilnya dengan jumlah ABK kurang lebih 22 orang, maka setiap ABK nya medapat bagi hasil kurang lebih Rp 136 ribu.
“Lalu pemilik dapat apa? Padahal sebagai pemodal dan pemilik kapal mustinya dapat hasil. Itu kita bicara saat ini BBM subsidi di harga 5.150 perliter, bagaimana kalau harga solar subsidi nanti oleh Pemerintah akan dinaikan diatas harga subsidi,” tutup Riswanto.
Sutrisno