blank
Ilustrasi/Pikiran Rakyat

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Hanya seorang Dewi Nugraheni, S.Pd, 33 tahun, guru sekolah luar biasa negeri (SLBN) Banjarnegara, Jawa Tengah berani “sombong dan melawan pandangan umum”  berkaitan dengan dua hal ini; problematika guru membumikan kurikulum merdeka belajar dan ketergantungan guru terhadap penggunaan teknologi digital untuk pembelajarannya.

“Sejak saya mengawali karir sebagai guru SLB,  sejak itu pula pembelajaran saya telah menerapkan apa yang sekarang disebut merdeka belajar. Bapak Menteri Nadiem terinspirasi kami, rupanya,” papar Dewi lantang pernuh percaya diri. “Memang saat itu kami guru-guru SLB tidak tahu kalau pembelajaran kami seperti itu disebut merdeka belajar, ternyata sekarang ditiru di mana-mana,” lanjutnya.  Ia menegaskan bahwa “bagi kami, tidak ada kesulitan apapun menerapkan proses-proses merdeka belajar.”

Percaya dirinya seolah semakin tersulut ketika ada pertanyaan publik “Guru-guru sekarang ini agaknya semakin tergantung kepada penggunaan teknologi digital untuk pembelajarannya; bagaimana pendapat Anda?”

Baca Juga: Sekolah Futuristik ala Jawa Tengah

Segera dia menjawab seolah pongah: “Ini jelas bukan pertanyaan untuk saya; pertanyaan salah ini. Di SLB itu, jangankan menggunakan alat-alat canggih; bertatap muka dan mengajarkan siswa mengucapkan “Ibu…..” saja mungkin butuh waktu tiga bulan untuk siswa tuna wicara. Di SLB semua siswa memiliki kebutuhan khusus berbeda yang harus dibimbing personal secara berbeda-beda, padahal mereka berada di dalam kelas yang sama .”

Proses Kreatif

Dewi memeroleh nilai tertinggi di antara 12 finalis festival guru transformatif (FGT) yang diselenggarakan kampus kami pada agenda final lewat uji publik, 20 Mei 2022 lalu. Kedua belas finalis terdiri atas guru-guru jenjang SD, SMP, SMA/K, serta SLB,  dan soal-soal uji publik dikumpulkan/ dirumuskan tanpa memertimbangkan jenjang sekolah.

Mengapa? Substansi soal uji publik berkisar pada pemahaman tentang konsep dan kebijakan-kebijakan pendidikan, dan dalam uji publik itu soal dipilih secara acak untuk dijawab finalis sesuai gilirannya.

Sebagaimana telah dirancang, sebelum uji publik, ada tiga tahap seleksi  bagi peserta FGT,  yakni (a) pertengahan November 2021, dilaksanakan seleksi pendaftar merujuk/sesuai ketentuan panitia, diteruskan (b) seleksi naskah dengan fokus utama pada kelengkapan dan akurasi rencana/skenario pembelajaran, dan berikutnya, (c) dilaksanakan pengamatan langsung  atas praktek pembelajaran guru terseleksi.

Baca Juga: Gagal atau Berhasil: Antara Mie Instan dan “Ora Jaman, Ora Makam”

Sejumlah tim juri datang dan merekam seluruh proses pembelajaran guru di  kelas/sekolah masing-masing. Seluruh tahapan seleksi ini menggunakan tim juri yang berbeda-beda, termasuk  juri uji publiknya, dengan tujuan utama terbangunnya proses kreatif baik pada diri penyelenggara FGT maupun para guru peserta.

Proses kreatif adalah kunci utama membumikan kurikulum merdeka belajar, dan semua pihak bermimpi ujung akhir proses itu ialah akan muncul semakin banyak  guru berdaya ubah, guru transformatif.

Ternyata, dalam konteks FGT, proses kreatif semacam itu harus “dibayar” mahal, karena  awalnya penyelenggara yakin  betapa akan berhasil menggaet peserta tidak kurang dari  500 orang guru (dari wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY saja). Fakta lapang membuktikan, jumlah peserta kurang dari lima puluh persen dari target, padahal sudah ada upaya ekstra untuk mengajak.

Mengapa demikian? Ada tiga alasan mendasar, pertama, tema “Menjadi Guru Transformatif” dirasakan sangat sulit, terutama bagi guru-guru yang selama ini masih saja suka berfungsi sebagai guru yang tugas utamanya ialah mentransfer ilmu pengetahuan kepada para siswa, kendati sebetulnya  sudah harus menerapkan kurikulum merdeka belajar. Dengan kata lain, proses kreatif guru dari kebiasaan transfer ilmu pengetahuan ke/menjadi guru berdaya ubah masih menghadapi berbagai hambatan.

Kedua, penerapan kurikulum merdeka belajar di tengah-tengah pandemi covid 19 telah memaksa semua guru, entah siap atau belum siap,  untuk  “naik roller coaster”  dengan segala dinamika  pembelajaran on line beberapa lama, lalu boleh off line, namun tidak berapa lama harus on line lagi atau pun hybrid.

Tegasnya, dinamika naik roller coaster seperti inilah menjadikan sejumlah (besar?) guru terengah-engah, lelah, dan terkuras hampir semua energinya, sehingga tawaran FGT tidak menarik lagi karena akan masuk ke dalam proses kreatif yang menyulitkan.

Alasan ketiga, semua pihak mengalami betapa selama pandemi covid 19, mobilitas orang menjadi semakin terbatas dan tidak leluasa, termasuk menimbulkan keengganan untuk bepergian. Ketika membaca tawaran ada FGT di Kota Semarang, nyali untuk bepergian ke sana belum pulih seperti sebelum ada covid 19.

Akibatnya, Semarang dipandang terasa sangat jauh oleh peserta dari berbagai wilayah di Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Lengkaplah, energi terkuras dalam roller coaster berdinamika dengan berbagai tuntutan kurikulum merdeka belajar, dan kondisi pandemi seolah mengikis berbagai nyali untuk berkompetisi maupun bepergian.

Berdaya Ubah

Sekitar dua bulan lalu, seorang anggota DPR-RI menyampaikan catatannya betapa selama ini  Kemendkbudristek (baca Menteri Nadiem) telah membuat tidak kurang dari 36 kebijakan strategis perihal pendidikan.

Menggunakan contoh analogi yang telah disebutkan di atas, berbagai kebijakan itu “memaksa” banyak pihak harus berdinamika seraya naik roller coaster perubahan. Semua pihak diajak untuk mampu dan berani berubah menjadi pribadi yang berdaya ubah, dan dalam konteks guru, kunci utamanya ialah beri peluang sebanyak mungkin agar mereka tetap berenergi dan bernyali menempuh proses kreatifnya.

Menurut Sabelli dan Dede (2016) supaya dapat menempuh proses kreatif sehingga berpuncak menjadi pribadi yang berdaya ubah, guru-guru hendaknya diberi peluang dan keleluasaan untuk menapaki peta jalan kreativitas dari  (i) transfer; (ii) translation, into (iii) transform.

Tidak mungkin, seseorang kendati sangat pintar sekali pun, tiba-tiba menjadi pribadi berdaya ubah tanpa melewati meniru ataupun menirukan, itulah transfer; lalu konten atau substansi yang ditirukan itu diterjemahkan secara kontektual sedapat mungkin, itulah translate/translation; dan barulah orang berangsur-angsur belajar menjadi transformatif,  perlahan memiliki semangat untuk berdaya ubah bagi diri sendiri, bagi lingkungan terbatasnya, dan kelak bagi lingkungan lebih luas lagi.

Apabila jalan-jalan proses kreatif dari meniru, menerjemahkan, dan membawa daya ubah itu berlangsung dalam putaran roller coaster; terjadilah  yang serba “ngeri-ngeri berteriak,” selantang teriaknya Bu guru Dewi ketika mengatakan “Ini pertanyaan salah!”

Selamat datang guru-guru transformatif demi peserta didik yang harus terus-menerus didorong mampu beradaptasi ke dalam segala perubahan.

(JC Tukiman Taruna, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)