Oleh: Muh. Khamdan
JEPARA (SUARABARU.ID)- Dalam beberapa minggu ini, kekerasan dan fenomena kesadisan remaja kampung menjadi tontonan masyarakat Jepara. Mulai dari aksi pengeroyokan remaja yang berujung kematian di Nalumsari pasca-lebaran, kemudian berulang di wilayah lain. Sadisme remaja kampung di Nalumsari misalnya, diiringi beredarnya video dan gambar leher tergorok sehingga menimbulkan rasa menakutkan di sejumlah kalangan. Setidaknya muncul pertanyaan, apa yang terjadi dengan sadisme remaja di sejumlah kampung di Jepara?
Sadisme kaum muda sebagai representasi generasi produktif di negeri ini seolah telah menjadi bahaya laten di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Sadisme dan kebrutalan yang terjadi di Jepara, setidaknya mengingatkan adanya fenomena remaja anggota geng motor yang tega menghilangkan nyawa orang lain. Spirit brutal juga menjangkiti kalangan pelajar di tanah air dengan adegan bullying di sejumlah sekolah.
Kekerasan atas dasar apapun dan oleh siapapun di luar kewenangan hukum, tentu harus ditolak dan dilawan. Fakta pengeroyokan berdarah atau perang senjata tajam antar kampung merupakan bahaya laten dalam kehidupan bermasyarakat. Dendam budaya seolah menjadi langkah pembenaran bahwa nyawa harus dibalas nyawa, sehingga terjadi permusuhan lintas generasi yang tiada berujung. Tidak ada pemicu tunggal yang memengaruhi munculnya bentrok berdarah di tengah masyarakat. Hal yang dapat dilakukan adalah mengurangi dan menghambat keberanian untuk melakukan aksi kekerasan itu sendiri.
Pada dasarnya, kekerasan atau agresi merupakan perilaku sosial yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup. Hal ini sebagaimana budaya yang terbangun dalam masyarakat primitif yang bertahan hidup dengan melakukan perburuan binatang. Dalam budaya ini, bagian psikologi manusia bukan hanya pada aspek pembunuhannya, tetapi juga aspek kekejamannya. Pernyataan itu sesuai dengan teori libido Freud bahwa jiwa manusia dipengaruhi kekuatan seksual yang mendorongnya untuk agresif dan ingin berkuasa.
Gerakan membangun pendidikan karakter melalui peningkatan pemahaman tentang moral keagamaan serta proses-proses kebangsaan ternyata belum efektif mengendalikan akumulasi kefrustasian atas jiwa “kebinatangan” yang kejam. Pendidikan karakter sebagai model pengembalian atas posisi pendidikan akhlak dan budi pekerti mendesak untuk diperkuat. Pendidikan akhlak dan budi pekerti sangat berperan dalam membentuk karakter atau kepribadian seseorang, yang pada gilirannya akan mampu mendukung karakter demokrasi maupun penyelenggaraan sistem kenegaraan.
Program civic education dan bela negara sebagai bagian dari pendidikan karakter harus diperkuat dan diperluas. Pemahaman proses hukum dan dampak yang akan ditanggung jika melakukan pelanggaran dan kejahatan mesti diinternalisasikan pada kaum muda. Pemahaman tentang keterampilan partisipasi menyelesaikan konflik tentu menjadi penting agar banyak muncul mediator-mediator dari kalangan anak muda sendiri.
Ketika rata-rata tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat belum mendukung perjalanan hukum dan demokrasi yang modern, pemaksaan kebenaran secara sepihak akan menjadi tontonan harian masyarakat. Dalam posisi demikian, hukum yang berlaku harus tetap ditegakkan. Remaja kampung dan para pelajar yang melakukan aksi tawuran atau ikut geng motor brutal, pada dasarnya merupakan kelompok produktif dan terdidik di masyarakat. Kaum muda yang terlibat aksi brutal dan sadisme tentu menyadari bahwa aksi kekerasan yang dilakukannya berpotensi mengganggu ketertiban umum sekaligus kejahatan dan bentuk pelanggaran hukum.
Munculnya aksi brutal jalanan merupakan salah satu gejala bahwa aparat kepolisian belum optimal dalam membangun sistem perlindungan dan keselamatan masyarakat. Reformasi hukum dan reformasi di tubuh kepolisian setidaknya pernah ditandai dengan upaya mengembangkan pemolisian masyarakat (Polmas). Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Kepolisian Nomor 1 tahun 2021 tentang Pemolisian Masyarakat, sebagai pengembangan dari aturan terkait sebelumnya.
Pemolisian masyarakat (community policing) merupakan kegiatan mengajak masyarakat melalui kemitraan anggota Polri dan masyarakat. Sistem kemitraan dimaksudkan agar lebih cepat dan mudah mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat di setiap wilayah. Aksi “perang kampung” termasuk aksi begal yang masih marak terjadi di sejumlah wilayah, tentu membutuhkan sejumlah upaya penangkalan, pencegahan, dan penanggulangan bersama.
Dari satu daerah ke daerah yang lain, aksi brutal dan sadisme seolah tiada habis latar belakang masalahnya. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan cepatnya laju sharing informasi tanpa proses penyaringan kebenaran. Pada posisi inilah masyarakat membangun imunitas sendiri dengan melakukan segala upaya upaya perlawanan dan pembelaan diri. Pola kemitraan TNI-Polri bersama masyarakat harus menjadi program berkelanjutan dan berkesinambungan. Kemitraan harus lebih intensif menyasar ke komunitas yang rentan gesekan konflik dan aksi brutal.
Orkes dangdut Pantura yang dianggap sebagai pemicu konflik, dapat dilakukan deteksi dini dengan membangun kemitraan bersama komunitas pecinta Orkes. Penguatan bela negara dengan nilai-nilai cinta tanah air dan sadar berbangsa bernegara perlu dikampanyekan. Komunitas kepemudaan berbasis keagamaan semacam GP Ansor dapat menjadi pilot project membangun kemitraan sekaligus pembudayaan bela negara sampai ke pelosok kampung. Kemitraan TNI-Polri dengan sejumlah komunitas di tengah masyarakat, tentu dapat mengurangi dan mengakhiri orkestra kekerasan di tengah masyarakat sebagai langkah deteksi dini pencegahan dan penanggulangan.
(Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Widyaiswara Kemenkumham, dan Kader Muda NU Nalumsari)