blank

Oleh : Ahmad Saefudin,

Hingar-bingar Konferensi Cabang XIII Pengurus Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Jepara (22/09/2021), yang selanjutnya saya sebut Konfercab, menyisakan residu rivalitas antar kandidat setelah mengalami jalan buntu. Bak bola panas yang terlanjur menggelinding, isu Konfercab kian liar. Linimasa media sosial riuh oleh ragam opini publik.

Dimulai dari tulisan M. Abdullah Badri yang berjudul “Deadlock Adab” dalam Konfercab Ansor Jepara, lantas mendapat tangkisan dari akun Facebook Muhammad Kholiqul Amri dengan tajuk Tafsir Sesat “Deadlock Adab dalam Konfercab Ansor Jepara”. Jika Badri fokus mengulas kronologi perjalanan Konfercab yang dianggap mencederai etika berdemokrasi, Amri justru menuding balik. Kapasitas Badri selaku “romli” (rombongan liar) yang berada di luar arena, terkesan sedang berupaya memaksakan penggiringan pandangan yang memihak kepada calon tertentu.

Tapi komentar Amri, menurut saya, juga bukan tanpa kepentingan. Buktinya ia sangat yakin bahwa aklamasi jelas belum tercapai. Semestinya Amri alpa memberikan konteks spesifik, aklamasi macam apa yang dimaksud? Dalam hal ini, konteks “aklamasi” yang seharusnya dikaitkan dengan forum lobi tertutup antar kandidat, olehnya malah dikaitkan dengan dinamika forum sidang pleno terbuka sehingga menambah bias tafsir pembaca. Khususnya pembaca awam yang tidak mengikuti secara langsung persidangan.

Awalnya saya enggan berkomentar terlalu jauh mengenai kontestasi Konfercab. Meski berkali-kali dibujuk, saya berusaha menahan diri. Sampai akhirnya Zakariya Anshori melalui laman Suarabaru.id menurunkan tulisan agitatif berjudul Ilusi Adab vis-a-vis Syariah Organisasi (bagian pertama dari 2 tulisan). Senada dengan Amri, walaupun menggunakan argumentasi yang berbeda, Anshori mendakwa cara berpikir Badri yang ilusionis, halusinatif dan imaginatif. Ia memilih sudut pandang yuridis untuk menumbangkan wacana etis yang digaungkan Badri.

Membaca pelbagai opini liar di media yang tak kunjung usai, saya berubah pikiran. Opini harus dibalas dengan opini, tulisan mesti dilawan dengan tulisan. Tradisi literasi yang sehat semacam ini perlu dikembangkan agar rasa Konfercab tak hanya didominasi oleh nuansa politik elektoral.

Supaya menghindari salah paham, terlebih dahulu saya perlu menegaskan posisi. Secara personal, saya berkawan baik dengan tiga kandidat; Sahabat Ainul Mahfudz, Sahabat Sabiq Wafiyuddin, dan Sahabat Syaiful Kalim. Tapi selaku peserta aktif Konfercab yang memiliki hak suara, tentu absah jika saya memiliki preferensi politik kepada salah satu kandidat sebagai bentuk dukungan. Penegasan garis batas semacam ini penting agar tali persaudaraan organisatoris (ukhuwwah jam’iyyah) tidak putus oleh riak kepentingan pragmatis.

Apalagi jika kita menyimak sambutan dari KH. Muhammad Amir Wildan yang saat itu mewakili Ketua Tanfidziyah PCNU Jepara. Ia menaruh harapan besar terhadap peserta Konfercab. Menurutnya, Konfercab harus bisa melahirkan pemimpin yang amanah dan kuat (qawi). Pemuda Ansor diharapkan terus mengabdi kepada NU demi kejayaan Islam dan kaum muslim (li izzil Islam wal muslimin). Jabatan hanya perantara (wasilah) untuk mewujudkan kemaslahatan warga Jepara.

Dari lima tahapan sidang pleno yang berlangsung dalam Konfercab, tak ada satupun yang saya lewatkan. Detail demi detail saya ikuti, bahkan sejak upacara pembukaan. Dalam sambutannya, Sahabat Syamsul Anwar selaku Ketua PC GP. Ansor Jepara periode 2017-2021 titip pesan kepada kandidat yang akan uji tanding agar mengindahkan arahan dari Pimpinan Wilayah tentang mekanisme suksesi kepemimpinan. Dorongan penyelesaian secara aklamasi sejak awal telah diwacanakan, baik oleh Pengurus Pusat, Wilayah, maupun Kabupaten. Tujuannya tidak lain ialah meredam friksi antar kandidat.

Tradisi aklamasi sejatinya bukan barang baru di lingkungan Ansor, khususnya, maupun NU Jepara pada umumnya. Sahabat Syamsul Anwar didapuk menahkodai Ansor Jepara melalui jalur aklamasi. Hj. Noor Ainy Hadi ketika terpilih kedua kalinya sebagai Ketua Pengurus Cabang Muslimat NU Kabupaten Jepara periode 2021 – 2026 juga dengan jalan aklamasi. Begitu pula dengan KH. Hayatun Nufus Abdullah Hadziq (Gus Yatun), memimpin NU setelah proses musyawarah mufakat yang diakhiri aklamasi.

Bahkan dalam konteks Konfercab, tata tertib secara jelas menyatakan bahwa pemilihan dan penetapan Ketua PC GP Ansor masa khidmat 2021-2025 dilaksanakan secara musyawarah mufakat (lihat klausul ini pada item 2, 7d, 7e). Opsi voting (pemungutan suara) menjadi alternatif terakhir jika mufakat tidak bisa dicapai (7f).

Mengacu kepada tata tertib persidangan, Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Pusat diberi mandat oleh Konfercab untuk memfasilitasi ketiga calon ketua yang sah (7c) berdasarkan surat rekomendasi minimal 3 Pimpinan Anak Cabang (PAC) dan 20 Pimpinan Ranting (PR) GP. Ansor (6d).

Jika Anshori tidak mengutip diktum regulasi berupa pasal-pasal tertentu, saya juga enggan mengelaborasi bagian ini secara rigid. Di sini jadi clear, kesan intervensi dari Pimpinan Pusat dan Pimpinan Wilayah selaku pimpinan sidang terhadap Konfercab menjadi gugur. Pimpinan sidang pada fase ini sudah memenuhi kaidah-kaidah konstitusional.[] Bersambung

Penulis adalah Peserta Aktif Konfercab XIII;  Wakil Ketua Pengurus Ranting GP. Ansor Tanjung II Pakis Aji

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini