DI JAWA ada tradisi orang tua melakukan laku prihatin untuk anak-anaknya. Di antaranya, ada yang dengan puasa Senin-Kamis, terutama ketika anak-anak masih dalam proses pendidikan.
Biasanya, anak yang ditirakati orang tuanya itu otaknya encer (cerdas), kuat menyerap segala ilmu, memiliki skill atau keahlian tertentu, dan kehidupannya pun tidak “aneh-aneh” bahkan masa depannya pun cerah.
Bagaimana proses itu bisa terjadi? Saya pernah membaca hadis tentang tiga doa yang lebih diprioritaskan Tuhan, di antaranya doa para musafir, doa orangtua kepada anaknya, terlebih doa orang tua yang rajin menjalankan laku prihatin (ritual), baik versi tradisi maupun religi.
Di antara laku prihatin versi tradisi, seperti puasa Senin-Kamis, puasa weton (berdasarkan hari dan pasaran kalender Jawa) yang dikhususkan bagi anak. Ini termasuk cara efektif untuk mendorong proses pertumbuhan sel otak baru dengan membatasi kalori dengan cara berpuasa.
Sisi lain dari olah batin seperti puasa sunnah atau tradisi itu, diantaranya mutih dan jenis laku batin lain yang efektif untuk melatih kepekaan, sehingga anak menjadi lebih mudah “nyambung” secara batin dengan orangtuanya, bahkan kemampuan fokusnya pun lebih kuat.
Fenomena ini identik dengan komunikasi bawah sadar yang konsepnya seperti telepati. Yaitu, orangtua mengirimkan gelombang ke anak melalui doa, apalagi jika “pesan batin” itu ditambah dengan kondisi puasa sehingga orangtuanya meningkatkan kesadarannya yang membuat pesan telepati itu dapat terkirim lebih baik.
Ada juga konsep Law of Attraction. Orang tua mengirim sinyal ke alam semesta disertai spirit “emosi” dan rasa khusyuk, maka alam semesta pun mengembalikan sinyal itu kepada anak. Dari sudut pandang lain, puasa adalah cara mendekatkan diri kepada Tuhan.
Pada saat puasa, kita mau apa pun insya Allah dikabulkan, karena hijab atau pembatas dengan Tuhan menjadi lebih dekat. Jika puasa untuk kesaktian saja dikabulkan, apalagi puasa untuk kebaikan anak. Karena itu, banyak orangtua yang tirakat untuk anaknya agar mereka kelak tidak menjadi korban “keganasan zaman”.
Tradisi Jawa
Sahabat saya mengisahkan, dia punya tetangga yang memiliki kecerdasan luar biasa dan keduanya bergelar Profesor Doktor. Karena ingin punya anak yang “linuwih” seperti Profesor itu, dia sowan dengan harapan dapat wejangan (ijazah) agar bisa memiliki anak yang selain cerdas juga berbudi luhur.
Oleh sesepuh yang didatangi itu dijelaskan. Mereka itu memiliki tradisi ikhtiar yang dilakukan, suami istri sebelum berhubungan badan, berpuasa dulu. Saat kumpul dilakukan lepas tengah malam dan disertai laku sesirik (berpantang) yang berkaitan dengan hari yang diyakini kurang baik.
Setelah itu, ketika anak sudah lahir, Sang Bapak terutamanya, tidurnya di lantai, sedangkan anak dan istri di atas ranjang. Ini bertujuan untuk menjunjung derajat anak. Dan salah satu dari anak petani itu di hari kemudian menjadi rektor di sebuah kota di Jawa Timur.
Puasa ibarat doa tanpa kata. Saya kenal ibu–ibu yang selalu puasa Senin-Kamis yang dilakukan bukan hanya saat anak-anaknya ujian sekolah. Karena laku itu sebaiknya dilakukan rutin, karena setiap aktivitas rohani itu bertujuan untuk “menabung energi” supranatural.
Proses metafisis itu bisa terjadi di saat orang tua benar-benar khusyuk dan fokus berdoa untuk keberhasilan anak adalah bentuk “afirmasi” dan itu tidak lepas bagaimana kedua orangtua mendidik anak-anaknya dengan baik. Laku prihatin itu menunjukkan keseriusan yang tentu berdampak pada pribadi yang dimaksud.
Saya percaya dengan konsep ini karena kawan-kawan yang aktif menjalani laku batin juga selalu beruntung, baik saat ujian atau saat menyelesaikan tugas yang berkaitan dengan karir dan atau masa depannya.
Saya juga percaya doa ibu itu manjur, apalagi disertai puasa yang berarti menunjukkan kesungguhan saat memohon kepada-Nya. Karena selain nilai spiritualnya, puasa juga membuat orang lebih tenang sehingga energi yang dipancarkan pun lebih positif.
Karena pikiran dan perasaan itu layaknya magnet dan di alam semesta juga berlaku hukum tarik menarik. Maka, jika yang kita pancarkan itu yang serba positif, maka yang kemudian kita tarik pun tentu yang positif.
Pikiran dan perasaan kita adalah energi dasar dari sebuah doa. Maka, dalam kondisi sabar dan ikhlas, pintu koneksi menuju Tuhan Yang Mahaesa pun lebih terbuka lebar, sehingga semua keinginan berpeluang terkabul.
Apa pun doa atau amalannya, asal bacaannya baik dan dilakukan secara istikamah (rutin), insya Allah mengundang keberkahan. Dhawuh para sesepuh, memperbaiki anak hanya dengan mengandalkan lisan dan main tunjuk-tunjuk itu sudah tidak musimnya.
Ubahlah dengan cara lain yang membuat getaran bathin anak-anak itu tersentuh. Caranya? Setiap anak dalam keadaan tidur, bacakan Surat Alfatihah, Surat Alqadar, atau surat-surat lain dengan harapan agar anak tersebut itu nantinya terkena pancaran Ayat-Ayat Suci, sehingga mereka diharapkan menjadi anak yang saleh atau salehah.
Membenahi keluarga, anak, istri, dengan “mengandalkan” mulut justru berujung debat yang tidak berkesudahan, dan apa yang akan disampaikan pun justru sia-sia.
Masruri, praktisi dan konsultan spiritual tingga di Sirahan Cluwak Pati