Oleh : Sarwijiyanti,M.Pd
Hari lahir Kartini 21 April 1879 selalu diperingati setiap tahun. Sebab beliau adalah pahlawan nasional bangsa Indonesia. Walapun dalam Keputusan Presiden No. 108 tahun 1964 menganggat beliau sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Namun kita menganggap beliau adalah pahlawan emansipasi wanita Indonesia, sebab peran besarnya dalam memutus mata rantai diskriminasi laki-laki dan perempuan.
Namun banyak yang tidak mengetahui seperti apakah masa kecil pahlawan emansipasi ini. Dari berbagai sumber, termasuk dari tulisan Ade Irwansyah terungkap, beliau adalah seorang anak yang memiliki sifat periang, ingin tahu, gesit, nakal, bahkan usil. Kadang karena keisengannya sering mendapat amarah dari Ayah dan Ibunya.
Si Jaran Kore
Karena kegesitan Kartini, sering ia mendapat sebutan Jaran Kore dari saudara-saudaranya. Sifatnya tak seperti putri bangsawan, polahe kaya jaran kore. Karena Kartini tak pernah bisa jalan pelan, tetapi berlari, melompat, dan meloncat sesuka hatinya.
Gesit dan lincah, suka sekali bermain di kebun susah diatur dalam setiap tindakannya tetapi sangat mudah bergaul dengan siapa saja.Bahkan Kartini suka sekali tertawa terbahak-bahak sampai kelihatan giginya. Hal inilah yang sering membuat marah Ayah dan Ibunya. Sebab itu bukan sikap bangsawan yang halus, lembut dan penuh tata krama.
Dipanggil Trinil
Karena itu Kartini juga mendapatkan panggilan Trinil dari Ayahnya. Sebab ia tidak bisa diam, lincah dan cerewet seperti burung trinil. Tetapi ibunya, MA Ngasirah tidak suka jika Kartini dipanggil Trinil oleh saudara-saidaranya.
Keisengan Kartini dan adiknya
Perilaku iseng atau bisa disebut jahil, pernah dilakukan kepada pengasuhnya yaitu Mbok Sosro. Ketika Mbok Sosro mengantuk maka dikuncinya Kartini dan adiknya di kamar. Namun apa yang terjadi ?. Kartini dan adiknya menyelinap keluar kamar secara diam-diam. Akibatnya Mbok Sosro marah dan mengadukan kepada Ayahnya hingga Kartini dan adiknya mendapatkan marah.
Namjun Kartini kecil tidak jera. Ia malah membalas dengan menaruh lada pada dhuplak (tempat menumbuk sirih) hingga Mbok Sosro kepedasan saat menginang.
Putus sekolah
Pada usia 12 tahun 6 bulan Kartini menjadi sosok remaja putri yang mulai dipingit karena adat Jawa saat itu. Sehingga Kartini tidak bisa melanjutkan sekolah sebab Ayandanya tidak kuasa melepaskan adat yang berlaku saat itu.
Ia sampai bersujud kepada ayahnya memohon untuk tetap melanjutkan sekolah ke HBS di Semarang. Namun sang Ayah tetap bersiteguh menolaknya meskipun dengan rasa sedih. Karena beliau tahu Kartini anak yang cerdas dan memiliki cita-cita tinggi.
Karena itu saat dipingit diberikannya buku, majalah dan surat kabar agar Kartini dapat belajar mandiri. Dengan bimbingan Sosrokartono, Kartini dapat tumbuh menjadi remaja yang ceras dan memiliki wawasan luas. Ia kemudian merumuskan gagasan, pemikiran dan cita-citanya dalam surat-suratnya yang sangat panjang.
Surat itulah yang kemudian diterbitkan oleh JH Abendanon dalam buku berjudul Door Duisternis tot Licht atau Dari Kegelapan Menuju Cahaya yang lebih kita kenal sebagai buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dari buku itu kita dapat belajar gagasan, cita-cita dan kisah-kisah inspiratif RA Kartini.
Penulis adalah Kepala SDN 2 Kunir, Keling