SEMARANG – Ustad Yasin Asy’ari telah berpulang pada Rabu (17/3) namun banyak orang yang masih membicarakan kebaikannya. Salah satunya yaitu Muhammad Nawa Syarif dari Pekalongan. Ia bertutur “Begitu banyak saya menemukan orang yang terus menerus mencari dunia hingga nyawa terpisahkan dari raga, tapi saya menemukan segelintir orang yang begitu haus akan ilmu hingga akhir hayatnya. maka Ustadz Yasin Asy’ari Semarang adalah salah satu di antaranya.
Sering saya menjumpainya berangkat ke kampus dengan menaiki angkutan serta membawa beberapa kitab yang didekapkan di dada. Ustad Yasin selalu mengajarkan kepada saya untuk selalu mencintai dan menghormati ulama’ beserta karya-karyanya.
Pernah suatu ketika tatkala Ustadz Yasin melihat saya membawa kitab Ri’ayatal Himmah karya KH Ahmad Rifa’i, Beliau menyuruh saya untuk mengahadap guna melihat kitab yang saya bawa. “Syekh kitab apa ini?” Ya, kadang-kadang cara memanggil beliau kepada saya membuat hati penuh dengan kewirangan. “Ngapunten, kitab Ri’ayatal Himmah Ustadz” jawab saya sambil menyodorkan kepada Beliau.
“MasyaAllah semuanya berbentuk nadzam. Pantas bahwa Syekh Ahmad Rifa’i adalah ulama’ yang sangat alim allamah dan bukan sembarang orang. Kitab ini saya beli kalau boleh, berapa harganya?” Begitulah bentuk kekagumannya terhadap ilmu.
“Ngapunten Ustadz, kagem njengan mawon, kulo gadah katah, mangke kulo betoaken maleh judul lintu.” Lalu tampak beliau mendoakan dengan menengadah kedua tangan serta saya mengamini.
Selain terkenal dengan sosok yang sangat menggandrungi ilmu, Ustadz Yasin juga terkenal sosok yang murah hati, murah senyum juga sikap tawadhu’nya terhadap mahasiswa dan dosen. Hal demikian yang menjadikan semua mahasiswa menggandrungi beliau, tak sedikit pula yang mengatakan bahwa beliaulah guru sejati bahkan para dosenpun mengakuinya.
Pernah suatu ketika, tatkala saya sedang melakukan bimbingan skripsi di ruang dosen, ada momen yang jarang saya temukan di kampus.
“Assalamualaikum” ucapan salam Ustadz Yasin memasuki ruang dosen. Sontak para dosen lainnya menjawab salam dan bergegas untuk menghampiri sambil sungkem dan menundukkan kepala bak santri yang tabarrukan dengan kyainya, ya moment itu jarang sekali saya dapatkan kecuali di pesantren.
Setelah para dosen bersalaman, saya juga ikut salaman dengan beliau, seperti biasa tangan beliau tak mau saya cium, bahkan berebutan satu sama lain untuk menciumnya (bahkan pernah kepala saya dan beliau berbenturan satu sama lain). Ya kejadian seperti ini lagi lagi menjadi sangat kewirangan dalam hati.
“Sedang apa Gus, pagi-pagi kok sudah di ruangan dosen?” “Niki Ajeng bimbingan skripsi ustadz”. “Oh ya semoga cepat selesai.”Kini beliau secara dhohir meninggalkan kita semua, semoga secara batiniah tetap senantiasa memiliki kesinambungan ila yaumil qiyamah.
Cerita lain datang dari A Zaeni Bisri. Ia menyatakan. Keluarga Besar Unissula, khususnya Fakultas Agama Islam (FAI), termasuk juga Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung (YBWSA), layak merasa kehilangan almarhum karena Ustad Yasin lama mengabdi sebagai dosen. Beliau figur dosen yang betul-betul sederhana, kalem, dan halus tutur katanya.
Seorang ibu tetangga yang saya tanya, naik apa Ustad Yasin kalau ke kampus, dia menjawab: “Naik becak.” Katanya, itu becak anaknya yang menjadi langganan almarhum.
ecak itu mungkin mengantarkannya keluar kampung, kemudian dilanjut naik kendaraan umum ke kampus Unissula di Jalan Raya Kaligawe.
Sejak lama mengenal almarhum, kesan yang terus melekat di benak saya adalah beliau murah senyum, jarang sekali marah, sedikit bicara, dan tidak berusaha menonjolkan diri.
Beliau biasa dipanggil ustad karena sering diminta memberikan tausiah atau doa dalam berbagai acara.