Oleh Idham Cholid
Beberapa hari lalu saya sowan KH Achmad Chaedar Idris, Imam Besar Masjid –juga pengasuh pesantren– Al-Manshur, Kauman, Wonosobo. Sowan kiai, tentu bukan tanpa “kepentingan.”
Setelah sekian lama tak sowan, terus terang saya sangat berkepentingan. Selain ingin mendapatkan buku karyanya, saya juga akan menanyakan kembali “amalan” yang dulu pernah diijazahkan. Saya pernah setahun “nyantri” di Al-Manshur semasa sekolah di MAN.
Soal ijazah, itu “hajat” pribadi. Tak mungkin saya ceritakan disini. Tapi buku karyanya, bagi saya menarik untuk dikaji.
Masjid Tertua
Kiai Chaedar, demikian Mustasyar PCNU Wonosobo itu biasa disapa, saya menyebutnya Kiai husnudz-dzon. Bersamanya tak ada waktu untuk “ngrasani” siapapun. Selalu berbaik sangka kepada siapa saja.
Apalagi kalau ngaji, sudah pasti berisi. Kalau ceramah, dalam arti orasi yang berapi-api, beliau memang tak ahli. Tapi kelebihannya, menulis sangat tertata rapi.
Putra al-maghfurlah simbah Kiai Idris itu sejak umur tiga tahun sudah menetap di Kauman, tentu mengikuti abahnya, Kiai Idris, yang mulai 1960 menjadi Imam Masjid Al-Mansur. Sebelumnya, Kiai Adzkiya’ yang berasal dari Banyumas.
Sepeninggal (wafatnya) Kiai Idris pada 1 November 1986, Kiai Chaedar disepakati sebagai pengganti. Santri kinasih simbah KH Ali Ma’shum Krapyak itulah yang sampai saat ini juga mengasuh Pesantren Al-Manshur.
Pesantren di bawah Yayasan Masjid Al-Manshur itu kini telah berkembang pesat. Memiliki sekolah formal SMP dan SMA Islam, juga SMK. Dulu, dirintis sejak 1962, hanya berupa asrama, tempat tidur santri yang khusus mengaji.
Ada tradisi unik di masjid Al-Manshur yang sampai hari ini masih terjaga dengan baik, yaitu “setonan.” Tak lain, pengajian massal yang diselenggarakan setiap hari Sabtu siang, ba’da dzuhur sampai ashar. Sudah berjalan puluhan tahun.
Saat sebelum pandemi, pengajian seton –demikian masyarakat Wonosobo menyebutnya– selalu ramai pengunjung. Ribuan warga masyarakat dari seluruh penjuru Wonosobo memadati serambi dan halaman masjid Al-Manshur.
Masjid yang letaknya di tengah kota –300-an meter dari Pendopo Kabupaten dan Alun-alun Wonosobo, arah ke Dieng– itu terbilang masjid tertua di Kabupaten Wonosobo. Dirintis awal pada 1825 oleh KH Raden Manshur. Kiai saudagar inilah yang mewaqafkan 7.000 meter lebih tanahnya yang sekarang menjadi bagian penting dari kampung Kauman itu sendiri.
Masjid Al-Manshur berdiri kokoh di lahan itu, juga berbagai sarana pendidikan dan pusat perbelanjaan. Kauman atau Pakauman, dalam sejarahnya, selalu merujuk kepada pemukiman di sekitar masjid. Boleh dibilang, kampung “santri.”
Di Yogyakarta misalnya, kita mengenal Kauman sebagai kampung dimana Muhammadiyah didirikan. Dimanapun, Kauman dapat dipastikan berada di sekitar masjid yang memiliki kesejarahan.
Nama masjid Al-Manshur kemudian dinisbahkan kepada waqif, KH Raden Manshur. Tak lain, adalah putra Kiai Raden Marhamah. Ada tiga putranya, selain KH Raden Manshur sendiri, juga KH Raden Abdul Fatah dan KH Raden Syukur Sholih.
Siapa Kiai Marhamah? Dia adalah putra Kiai Asmorosufi, seorang santri dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, nama aslinya Sutomarto II. Secara genealogis, silsilahnya enam tingkat sampai kepada Brawijaya V.
Sejarahnya, tak lepas dari Perang Diponegoro. Bahwa Sutomarto II, putra dan ketiga cucunya itu, rela meninggalkan Keraton untuk membersamai rakyat, turut memimpin perlawanan melawan kolonialisme, di daerah Magelang dan kemudian ke Wonosobo.
Konon, ada pembagian tugas saat itu. Kiai Manshur ditugaskan ke pusat (yang saat ini menjadi Ibu Kota Wonosobo), Kiai Abdul Fatah di Sigedong (sekarang masuk Desa Tegalgot, Kecamatan Kepil, perbatasan dengan Kabupaten Magelang); sedang Kiai Syukur Sholih di Bendosari, Kecamatan Sapuran. Disinilah, Kiai Asmorosufi dan Kiai Marhamah juga dimakamkan.
Kiai Abdul Fatah tercatat sebagai perintis awal keberadaan pondok pesantren di Wonosobo, tepatnya di Sigedong. Disini pula Kiai Abdul Fatah dimakamkan. Hampir seluruh kiai di Wonosobo adalah dari jalur Sigedong ini. Sebut saja, antara lain, al-maghfurlah simbah KH Muntaha al-Hafidz (pendiri Unsiq, Kalibeber), alm. KH Moh. Afif, Kiai Nashir Dalhar, juga KH Subromalisi.
Sedang dari Kiai Manshur menurunkan, antara lain, mantan Kakankemenag Wonosobo Drs. Syarif Hidayat, yang sekarang menjadi Ketua Yayasan Masjid Al-Manshur. Adapun Kiai Chaedar sendiri adalah keturunan dari Kiai Syukur Sholih.
Kiai Usil
KH Achmad Chaedar Idris, saya menyebutnya juga Kiai Kauman. Mungkin juga, karena tinggalnya di pusat kota, pemikiran-pemikirannya demikian inklusif, terbuka. Yang jelas “gaul” juga. Ini bisa kita lihat dari karyanya.
Terbilang, kiai Kauman itu sangat produktif. Tulisan-tulisannya telah diterbitkan. Ada dua buku, buah karyanya, yaitu “Keris Kang Trontong” (2019), dan “Kang Trontong & Odah” (2020). Semua itu berasal dari status face book-nya. Yang pertama, tulisan sepanjang 2014-2015. Yang kedua, selama Januari-Desember 2019. Katanya, sedang disiapkan lagi buku yang ketiga.
Membaca karyanya, kita akan mudah simpulkan, kreativitasnya luar biasa. Memang hanya catatan harian. Tapi yang jelas beda dengan catatan hariannya Ahmad Wahib (w.1973) yang terlalu “serius” mempertanyakan berbagai hal itu.
Dari sisi “imajinasi” ketokohan, mungkin bisa disamakan dengan “Sudrun dan Markesot”-nya Cak Nun yang viral pada awal 1990-an itu. Bedanya, jika Cak Nun menuangkan karyanya di media mainstream, Kiai Chaedar (konon) hanya “iseng” saja di media sosial.
Tapi begitulah, keisengan kiai tetaplah beda dengan kita pada umumnya. Kita ber-medsos mungkin hanya iseng belaka, sekadar usil, untuk pelampiasan. Sedang usilnya Kiai Chaedar –sebagaimana Ahmad Tohari tegaskan dalam Kata Pengantar Keris Kang Trontong– menjadi “Kebajikan dalam Keusilan.”
Dengan tokoh utama Kang Trontong dan Odah, buku tersebut dengan tepat memotret realitas kehidupan sehari-hari, bagaimana merespons berbagai fenomena dan persoalan yang ada. Sama sekali tak serius, tapi santai dan jenaka.
Keusilannya sangat mengesankan, membawa pesan “kearifan” untuk menggugah kesadaran terdalam kita. Dengan keusilannya itu, Kiai Chaedar tampak konsisten selalu berikhtiar menggali hikmah keseharian yang selama ini acapkali kita lupakan.
Maka, untuk kita semua, yang jauh lebih muda, sangat jelas pesannya: gunakan android –yang ada aplikasi fb, WA, twitter atau IG– seoptimal mungkin sebagai media menyampaikan pesan kemashlahatan, untuk “usil” menggali hikmah keseharian.
Idham Cholid,
Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (Jayanusa); Ketua Pembina Gerakan Towel Indonesia