JAKARTA (SUARABARU.ID) – Lektor Kepala STEI Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Ridwan Effendi, menilai bahwa teknologi jaringan generasi kelima (5G) perlu segera diterapkan di Indonesia karena memiliki banyak manfaat serta berhubungan langsung dengan kegiatan masyarakat, mulai dari perekonomian, pendidikan, hingga haya hidup sehari-hari.
“Ternyata gaya hidup manusia itu semakin lama semakin meningkat dari biasanya,” ujar Ridwan dalam diskusi Kominfo “Kebijakan Frekuensi Sambut Era 5G”, dikutip Minggu.
Kebiasaan menonton TV analog, bertelepon, bertukar SMS, kini digantikan dengan kebiasaan mengirim pesan chat, menonton video streaming on demand, yang tidak mungkin dilakukan dengan generasi-generasi teknologi seluler sebelumnya.
“Sehingga dibutuhkan generasi-generasi berikutnya, karena kebutuhan data semakin lama semakin meningkat. Oleh karena itu generasi kelima ini menjadi suatu keharusan,” Ridwan melanjutkan.
Adopsi teknologi baru dibutuhkan karena terkait erat dengan peningkatan kapasitas. Upaya meningkatkan kapasitas dapat dilakukan dalam sejumlah cara, salah satunya meningkatkan jumlah Base Transceiver Station (BTS).
Makin banyak BTS, maka kapasitas akan semakin banyak. Namun, pembangunan BTS juga terbatas pada persoalan sinyal atau carrier interference, sehingga dibutuhkan cara lain untuk menambah kapasitas, yaitu menambah alokasi frekuensi.
“Kalau tidak bisa dilakukan maka kita harus pindah ke teknologi baru yang mempunyai efisiensi bit yang besar, jadi untuk suatu lebar pita yang sama bisa dihasilkan bit rate atau throughput yang lebih besar,” kata Ridwan.
Secara garis besar, Ridwan menjelaskan 5G membawa low latency yang bermanfaat untuk kegiatan telemedicine, juga menumbuhkan konektivitas antar-perangkat atau Internet of Things.
Terlebih, pandemi mendorong penggunaan kapasitas internet yang besar untuk kegiatan bekerja dari rumah dan pembelajaran jarak jauh.
“Tentunya ini membutuhkan suatu lebar pita yang besar dan tidak semua bisa terkoneksi dengan jaringan fixed, oleh karena itu maka teknologi 5G ini menjadi alternatif, bagaimana kita bisa terkoneksi dengan dunia sekeliling kita, bisa bekerja dengan kecepatan yang cukup, sehingga tidak mengalami hambatan bekerja,” Ridwan menambahkan.
Kesiapan implementasi
Subkoordinator Penataan Alokasi Dinas Bergerak Darat Ditjen SDPPI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Wijanarko Joko Hastyo, mengatakan kesiapan dapat dilihat dari supply and demand. Supply jaringan dapat terlihat dari backbone, backhaul dan akses.
Dari sisi backbone, Indonesia telah memiliki Palapa Ring yang menghubungkan 514 kabupaten kota. Selanjutnya, untuk backhaul, idealnya menggunakan kapasitas yang besar, salah satunya fiber optic.
Operator seluler saat ini telah gencar menggelar fiber optic. Selain operator seluler, perusahaan penyedia infrastruktur, Alita, juga telah bekerjasama dengan Facebook, yang saat ini sudah membangun sepanjang 3.002 meter, dan ditargetkan sampai 2021 akan menggelar sampai 20.002 meter fiber optic.
Untuk daerah pedesaan yang tidak terjangkau fiber optic maupun microwave link, akan menggunakan High Throughput Satellite (HTS).
Pada September 2020, PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) bersama perusahaan industri kendaraan antariksa asal Prancis, Thales Alenia Space, telah memulai konstruksi proyek Satelit Multifungsi Republik Indonesia (Satria), yang memiliki spesifikasi HTS.
Kementerian Kominfo, menurut Wijarnako, saat ini sedang mengupayakan rasionalisasi harga biaya hak penggunaan frekuensi (BHP) untuk penggunaan microwave e-band, yang menurut kajian asosiasi operator telekomunikasi global, GSMA, diperkirakan akan meningkat penggunaannya di masa mendatang.
“Mengupayakan BHP lebih murah namun dengan harapan penggelarannya juga lebih banyak untuk mendukung penggelaran 5G,” ujar Wijanarko.
Selanjutnya, dari sisi akses, 4G erat kaitannya dengan 5G. Penggelaran 5G di awal diperkirakan menggunakan teknologi 4G, atau yang disebut 5G nonstandalone.
Dengan teknologi Dynamic Spectrum Sharing (DSS), 5G dapat digunakan pada pita frekuensi yang telah ada, sehingga 4G dan 5G dapat memancar di kanal secara bersamaan.
“Jadi 5G itu bukan sebagai pengganti 4G, tapi saling melengkapi,” Wijanarko menegaskan.
Kemudian, dari sisi demand, kegiatan bekerja dari rumah dan pembelajaran jarak jauh juga membuktikan bahwa kebutuhan bandwidth semakin tinggi.
Selain itu, program satu data m juga membutuhkan koneksi untuk mengirim data dari level desa ke pusat, sehingga 5G juga bisa menjadi solusi.
Proyek nasional industri 4.0, juga ibu kota baru yang rencananya mengusung penggunaan transportasi berbasis kendaraan autonomous, mau tidak mau hanya 5G yang dapat menyelesaikan layanan tersebut.
Ditambah, Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada 2022, yang juga mengharapkan kehadiran 5G di dalamnya.
“Jadi, kalau dari segi demand sudah jelas, dari supply demand sudah jelas, bisa dibilang Indonesia sudah siap untuk menuju era 5G,” ujar Wijanarko.
Ant-wied