blank
Perpaduan eksotik antara menara Masjid Raya Singkawang, lampion-lampion, dan Kelenteng Tri Dharma Budi Utama. Foto: Amir Machmud

Oleh: Amir Machmud NS

LANSKAP pemandangan pada malam 19 Februari 2019 itu sungguh eksotik. Dua menara masjid menjulang bagai menggapai langit, lampion-lampion bergantung bersilangan merentang jalan. Lalu berimpit dengan itu, kelenteng yang menyemburatkan warna-warni khas Tiongkok. Terasa indah dan syahdu…

Bukan hanya pada saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh pemandangan indah dengan latar Masjid Raya Singkawang dan Kelenteng Tri Dharma Budi Utama itu tersaji. Ya, dalam keseharian, dua tempat ibadah itu menjadi salah satu simbol ikonik toleransi kehidupan di kota terbesar nomor dua di Kalimantan Barat itu. Keberagaman adalah darah yang mengalir dalam nadi masyarakatnya. Toleransinya pun tanpa basa-basi, tanpa dikte dan indoktrinasi.

Masyarakat Singkawang yang beragam dari 17 etnis, disatukan oleh semangat kebhinekatunggalikaan lewat sepotong akronim “Tidayu” atau Tionghoa, Dayak, dan Melayu”. Aneka festival — termasuk yang menginternasional, Parade Cap Go Meh — di Kota Seribu Kelenteng itu menjadi bagian dari pengayaan khazanah kebudayaan untuk bersama-sama menunjukkan kekuatan toleransi “inilah kami”. Kami menyatu, tidak ada “kami” dan “mereka”.

Pawai Ingar Bingar

Tiap 15 hari setelah merayakan Imlek, Singkawang menggelar pawai besar yang menjadi fokus “mudik” para Tionghoa dari luar negeri. Bahkan para wisatawan mancanegara, banyak yang berkunjung untuk menikmati parade langka ini. Apalagi pawai yang ingar-bingar ini juga dirangkai dengan Festival Lampion dan aksi kesenian-kesenian etnis dari 17 komunitas yang ada di sana.

Puncaknya memang parade Cap Go Meh di Jalan Diponegoro. Ekspresi toleransi multikultur tertuang di event ini. Keterlibatan aneka etnis menjadi hal yang biasa.

Parade diawali dengan barisan bendera Merah-Putih, diikuti anak-anak yang berbaris dengan kostum etnika. Kemudian disusul dua belas naga dahsyat dengan aneka warna yang saling berkejaran, menjadi pembuka jalan. Para naga itu meliuk-liuk, menerjang, menyibak jalan, membersihkannya dari semua hambatan untuk rombongan pawai berikut yang akan lewat. Di antara 12 naga, terdapat dua naga yang dimainkan oleh para perempuan muda, satunya lagi dikendalikan oleh barisan “emak-emak”.

Barisan diiringi bunyi tetabuhan gong dan beduk ala Tiongkok yang menggaung bertalu-talu. Iramanya mistis mengiris hati, berdengung-dengung menggetarkan dada siapa pun yang mendengar. Ada nuansa magis di tengah pawai panjang itu. Masyarakat menyambut tiap barisan dengan sorak-sorai.

Para pemain pengendali naga bersemangat tanpa kenal lelah. Naga dibuat meliuk-liuk terbang memamerkan kekuatan berada di kelompok awal pawai Cap Go Meh di sepanjang Jalan Diponegoro. Setelah barisan instansi, komunitas, dan kelompok-kelompok kesenian dari sejumlah etnis lewat, sampailah pawai yang ditunggu-tunggu: iring-iringan para tatung (loya, orang sakti yang “membawa” arwah) dalam pengawalan pasukan pengusung tandu.

Aroma magis pun terasa menebar. Tatung-tatung itu unjuk kekuatan magis kekebalan tubuh dengan berbagai model. Misalnya duduk dan berdiri di atas pedang, dan menusuk atau menggores bagian tubuh tanpa terluka. Dinas Pariwisata Olahraga Pemkot Singkawang mencatat, dalam parade Cap Go Meh tahun ini, lebih dari 1.000 tatung ambil bagian.

Pawai Cap Go Meh dalam balutan multikulturalitas Singkawang, memang kental dengan aksen-aksen Tionghoa, namun tetap mengetengahkan atmosfer toleransi yang menjadi kekuatan keberagaman. Inilah hakikat.ekspresi akulturasi yang menyatukan unsur-unsur etnis dalam sebuah adonan budaya dan kehidupan yang homogen secara alamiah, mengalir begitu saja.

blank
Naga dalam Pawai Cap Go Meh, 19 Februari 2019 di Jalan Diponegoro.
(Foto: Amir Machmud NS)

Mengalir Alamiah

Itulah Singkawang. Toleransi yang berlangsung tanpa dibalut basa-basi. Hubungan antaretnis mengalir secara alamiah tanpa harus dikondisikan atau didiktekan sebagai doktrin, karena “dari sononya” karakter relasinya memang sudah seperti itu.

Pokok-pokok pikiran itulah yang kami simpulkan dalam penelitian tentang Wisata Toleransi. Pada 2018 kami juga meneliti kehidupan multikultur di Lasem, Rembang. Para peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yakni Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti, Prof Dr Dewi Liesnoor Setyawati, Edi Kurniawan, dan saya sebagai mitra, secara kualitatif mewawancarai sejumlah informan di Singkawang, baik setelah maupun sesudah pawai Festival Cap Go Meh.

Mereka adalah Andi Marsudi (Ketua STKIP Singkawang), Fajaratullah (Sekretaris Forum Komunikasi Guru IPS), Supardiyana, Rizki, Norman (Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga), serta Iwal seorang pekerja swasta. Para narasumber itu memberikan simpulan yang senada. Praktik toleransi di Singkawang, menurut mereka, tidak lahir dari bentukan, arahan, atau indoktrinasi, melainkan telah menjadi semacam darah dalam nadi kehidupan masyarakat yang multietnis.

Festival Cap Go Meh sebagai even internasional merupakan satu di antara elemen ekspresi multikulturalitas di sana. Penyelenggarannya, menurut Norman dan Supardiyana menjadi produk kerja bersama antaretnis di Singkawang. Bukan hanya etnis Tionghoa, karena etnis Dayak dan Melayu dengan latar agama yang berbeda-beda juga ikut terlibat dan berperan.

Supardiyana dan Rizki sepakat apabila atmofsfer dunia pariwisata di Singkawang diberi label wisata toleransi, karena realitas penghayatan keberagaman yang tidak ada duanya dibandingkan dengan di daerah mana pun di Indonesia. Kekuatan relasi toleransi di sini pantas dijadikan role model pendidikan karakter keberagaman untuk daerah-daerah lain yang kaya etnis.

Puluhan tahun mengamati relasi sosial yang berlangsung antaretnis dan agama di Singkawang, Andi Mursidi juga mencatat tidak pernah melihat terjadi friksi sensitif yang menciptakan insiden berbau SARA. Hubungan saling mendukung antaretnis dan agama, menurut intelektual asal Pontianak ini, seolah-olah mengalir begitu saja dan sudah menjadi kebutuhan.

Dalam pandangan Fajaratullah, karakter toleran dalam relasi keseharian masyarakat Singkawang sebagai model ekspresi keberagaman, tidak harus dirawat melalui formalisasi kurikulum di sekolah-sekolah. “Secara alamiah sikap toleran itu sudah kuat dan mengalir, antargenerasi sudah terbentuk penghayatan sikap seperti itu. Jadi menurut saya tidak harus diformalisasikan sebagai pelajaran, yang kalau itu dilakukan malah bisa menjadi tidak natural lagi,” ungkap Fajar.

blank
Salah satu barisan tatung dalam parade Cap Go Meh. Foto: amir Machmud NS

Ikon-Ikon Toleransi

Menurut Supardiyana, mulai tahun ini akan digelar Ramadan Fair dengan rangkaian kegiatan mengisi Bulan Suci, yang diyakini juga bakal di-support oleh berbagai etnis dan warga  nonmuslim. Kemeriahan Ramadan Fair diperkirakan bakal makin mengukuhkan Singkawang sebagai kota yang diakui paling toleran di Tanah Air.

Singkawang menjadi noktah terpenting untuk “menerjemahkan” Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan jiwa kehidupan bangsa. Iwal, seorang pekerja swasta di sektor transportasi menuturkan, kondisi itu membuat kehidupan sehari-hari di sana terasa nyaman dan aman. “Tanpa harus diarah-arahkan, masyarakat di sini sudah dengan sendirinya hidup rukun,” kata pria asal Sambas itu.

Bagaimana pula dengan eksistensi tatung-tatung dalam kehidupan spiritual dan budaya masyarakat Singkawang? Ini juga menjadi bagian dari pernik multikulturalitas yang terbukti tidak menciptakan sorotan sensitif dari umat beragama lain. Tatung, dengan ekspresi memanggil roh leluhur, merupakan realitas kultural yang menyatu, dan pada beberapa segi, memperindah eksotika keberagaman di sana.

Pola kealamiahan merawat toleransi itu, dalam perkembangannya, agaknya juga makin didorong oleh kesadaran bersama antaretnis dan agama, betapa event seperti Festival Cap Go Meh telah memberi dampak ekonomi yang secara simultan menjanjikan untuk seluruh unsur masyarakat Singkawang. Dan, menurut Norman yang membidangi ekonomi kreatif si Dinparpora, potensi ekonomis itu tentu harus mereka jaga bersama.

Hal yang sama juga diaampaikan oleh Supardiyana. “Peredaran uang dan geliat perekonomian yang mudah terlihat itu mencakup pendapatan hotel, transportasi, kuliner, hingga pernak-pernik suvenir. Bayangkan, untuk mendapatkan hotel yang representatif, para wisatawan harus reservasi selama setahun sebelum Festival Cap Go Meh,” tutur pria keturunan Yogyakarta – Papua ini.

suarabaru.id/AM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini