JAKARTA, (SUARABARU.ID) – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Siti Alifah Dina menyatakan perlunya ada kejelasan definisi usaha mikro dan ultramikro yang disebut mendapat berbagai kemudahan dan insentif dalam UU Cipta Kerja.
“Ada beberapa ketentuan yang harus diperjelas kembali, misalnya tentang redefinisi UMKM. Definisi usaha ultramikro juga perlu diperjelas karena sebelumnya tidak ada di UU No 20/2008,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Menurut Dina, dengan adanya redefinisi tentang usaha ultramikro dan mikro, diharapkan pemerintah dapat menyusun program spesifik untuk pemberdayaan usaha ultramikro.
Apalagi, lanjutnya, istilah ultramikro sudah banyak digunakan tanpa ada definisi yang jelas, misalnya Kementerian Keuangan melalui bantuan sosial produktif yang menjadikan pengusaha ultramikro sebagai sasaran utama bantuan tersebut.
Ia menjelaskan umumnya pelaku usaha ultramikro menjalankan usaha untuk bertahan hidup, bukan untuk mengakumulasi kapital, berdasarkan sejumlah studi yang dilakukan terhadap negara berkembang di Asia, salah satunya Indonesia.
“Jika dicontohkan, tentunya secara umum, penjual bakso keliling memiliki tingkat kesejahteraan dan pendekatan terhadap bisnis yang berbeda dengan penjual batik online atau daring yang memiliki dua orang karyawan,” ucapnya.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan mengungkapkan UU Cipta Kerja memberikan kemudahan berusaha bagus bagi para pelaku UMKM dan perusahaan rintisan (startup).
“Dalam konteks Omnibus Law UU Cipta Kerja, menurut hemat kami klaster kemudahan berusaha untuk UMKM cukup bagus,” ujar Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo.
Menurut Yustinus, kriteria UMKM lebih jelas dalam UU Cipta Kerja ini dengan dibuat tunggal sehingga tidak berserakan seperti sekarang ini, di mana Kementerian Keuangan terkait pajak memiliki definisi UMKM tersendiri, Bank Indonesia juga punya definisi UMKM tersendiri, Kementerian Koperasi dan UMKM memiliki definisinya sendiri, dan lain-lain.
Akibatnya, ujar dia, sulit suatu kebijakan yang efektif karena klastering dan definisi UMKM yang kurang jelas.
“Kemudian terkait basis data tunggal ini juga dinilai penting guna memastikan layanan lebih mudah diberikan, termasuk bagaimana peningkatan dan pengembangan UMKM lebih mudah dilakukan,” katanya.
Sedangkan pengelolaan terpadu UMKM dilakukan secara tersentralisasi, kemudian kemitraan UMKM dijamin dengan penanaman modal asing dan perusahaan lebih besar agar UMKM lebih menyentuh bisnis inti dan tidak hanya menjadi pemain pinggiran.
Ant-Wahyu