blank
Ratu Rachmatuzakiyah (kanan), Bupati Serang yang gagal dilantik setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil Pilkada 2024 (Foto: Graha Nusantara).

Oleh: Dr. Muh Khamdan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam Pilkada Kabupaten Serang dan 23 daerah lain, menjadi titik balik penting dalam diskursus demokrasi lokal di Indonesia. Keputusan ini diambil setelah terbukti adanya keterlibatan aparat desa, termasuk kepala desa dan perangkat desa, dalam memenangkan salah satu pasangan calon secara sistematis dan terstruktur.

Fakta bahwa sejumlah praktik kecurangan dilakukan melalui wadah Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) sekaligus pelibatan Menteri Desa, menandakan adanya penggunaan institusi negara untuk kepentingan politik elektoral. Kasus ini memberikan pelajaran berharga bahwa netralitas aparatur desa dalam penyelenggaraan pemilu adalah aspek fundamental bagi demokrasi yang sehat.

Desa sebagai unit pemerintahan terkecil, memiliki peran strategis dalam menentukan preferensi politik warganya. Ketika kepala desa dan perangkat desa secara massif terlibat dalam politik praktis, independensi pemilih terancam, dan proses demokrasi dapat dimanipulasi demi kepentingan segelintir elite.

Netralitas aparatur negara termasuk di tingkat desa, adalah prinsip yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai regulasi pemilu. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara eksplisit melarang kepala desa dan perangkat desa untuk berpihak dalam kontestasi politik. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa batasan normatif ini sering kali dilanggar, terutama ketika ada tekanan politik dari elite pusat maupun daerah.

Keterlibatan aparat desa dalam Pilkada Serang 2024 misalnya, menunjukkan betapa besarnya pengaruh politik terhadap pemerintahan desa. Para kepala desa, yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat, justru dimobilisasi untuk memenangkan calon tertentu dengan memanfaatkan program-program desa sebagai alat kampanye terselubung. Hal ini menimbulkan ketimpangan dalam kontestasi politik dan mencederai asas keadilan pemilu.

Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, intervensi aparat desa dalam pemilu berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi. Jika masyarakat melihat bahwa pemimpin desa mereka berpihak dan menggunakan kewenangannya untuk kepentingan politik tertentu, maka kepercayaan terhadap netralitas pemerintah secara keseluruhan dapat luntur. Dalam jangka panjang, hal ini berisiko menurunkan partisipasi politik masyarakat serta memicu apatisme terhadap proses demokrasi.

Keputusan MK dalam kasus ini harus menjadi momentum untuk memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap aparatur desa. Perlu ada mekanisme yang lebih ketat dalam memastikan netralitas kepala desa dan perangkat desa, termasuk sanksi yang lebih berat bagi mereka yang terbukti melakukan mobilisasi politik. Tanpa penegakan hukum yang tegas, kasus serupa dapat terus berulang dalam setiap ajang pemilihan kepala daerah maupun pemilu nasional.

Selain itu, penting untuk mengkaji ulang peran APDESI dalam politik elektoral. Meskipun organisasi ini bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan desa, keterlibatannya dalam politik praktis dapat mengaburkan batas antara advokasi kepentingan desa dan mobilisasi politik. Regulasi yang lebih ketat terhadap organisasi yang menaungi aparatur desa diperlukan agar tidak menjadi alat bagi elite politik untuk mengamankan kepentingan elektoral mereka.

Keterlibatan Menteri Desa dalam kasus ini juga harus menjadi perhatian serius. Sebagai pejabat negara, seharusnya ia bersikap netral dan menjaga profesionalisme dalam mengelola kebijakan desa. Keterlibatan seorang menteri dalam politik elektoral, terutama jika berkaitan dengan penggunaan sumber daya negara, adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang tidak boleh dibiarkan.

Lebih jauh, kasus ini juga menunjukkan bahwa penguatan kesadaran politik masyarakat desa sangat penting. Jika warga desa memiliki pemahaman yang lebih baik tentang hak politik mereka dan pentingnya pemilu yang bebas dan adil, maka mereka tidak mudah dipengaruhi oleh aparat desa yang berpihak. Pendidikan politik yang inklusif dan berkelanjutan harus menjadi agenda utama dalam memperkuat demokrasi di tingkat desa.

Putusan MK ini juga menjadi peringatan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk lebih serius dalam mengawal netralitas aparatur negara. Jika praktik intervensi politik oleh kepala desa dan perangkat desa dibiarkan, maka bukan tidak mungkin demokrasi lokal akan semakin terdistorsi dan kehilangan esensinya sebagai sarana kompetisi politik yang sehat.

Lebih dari itu, fenomena ini mencerminkan masalah struktural dalam sistem pemerintahan desa. Ketergantungan desa terhadap dana desa dan intervensi dari pemerintah pusat maupun daerah membuat aparatur desa rentan terhadap tekanan politik. Reformasi kebijakan desa harus diarahkan pada penguatan otonomi desa tanpa mengorbankan prinsip netralitas birokrasi.

Ke depan, perlu ada komitmen bersama dari berbagai elemen, termasuk pemerintah, lembaga penyelenggara pemilu, akademisi, dan masyarakat sipil, untuk memastikan bahwa pemilu di tingkat desa berlangsung jujur, adil, dan bebas dari intervensi politik yang merugikan demokrasi. Tanpa langkah konkret, kasus serupa akan terus berulang dan menggerogoti kualitas demokrasi di Indonesia.

Dengan adanya putusan MK ini, kita harus melihatnya sebagai peluang untuk melakukan pembenahan sistem pemilu, khususnya dalam mengawal netralitas aparatur desa. Jika tidak, demokrasi di tingkat lokal akan terus menjadi ajang permainan politik elite, sementara rakyat desa tetap menjadi objek yang dimanfaatkan demi kepentingan segelintir pihak.

Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta dan Widyaiswara Badiklat Hukum Jawa Tengah