blank
Ilustrasi Kholid (Foto: Istimewa)

Oleh: Dr. Muh Khamdan

Di tepian pesisir Banten, di tengah gempuran abrasi dan eksploitasi sumber daya laut dengan kasus pemagaran laut, seorang nelayan bernama Kholid menjadi simbol perjuangan. Dengan kecerdasan yang tak hanya teruji di lautan tetapi juga dalam memahami hak-hak lingkungan dan hukum, ia menjadi suara lantang bagi komunitas nelayan yang kehidupannya semakin terancam.

blank
Dr. Muh Khamdan

Kholid hadir di hadapan publik dengan keberanian dan argumentasi yang lugas untuk melawan kesewenang-wenangan. Tanpa suara gemetar, Kholid menyatakan bahwa jika negara tidak berani melawan oligarki maka perlawanan itu akan diorganisir oleh dirinya sendiri. Popularitas Kholid setidaknya menampar sikap kurang pedulinya para pejabat maupun kaum terdidik lain dalam melindungi nelayan. Kholid bahkan mengesankan sangat faham tentang UU Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

Krisis Pesisir Jepara

Pesisir Tangerang dan Bekasi yang telah mengusik kepedulian publik secara nasional, tentu menjadi momentum untuk kembali memperhatikan pesisir-pesisir lain di Indonesia. Jepara misalnya, bukan sekadar dikenal sebagai kota ukir tetapi juga menjadi bagian dari kota pesisir. Pesisir dengan panjang sekitar 72 kilometer, jelas miliki kandungan kekayaan yang teramat besar. Dulu, pesisir Jepara menjadi tumpuan ribuan nelayan tradisional, namun kini semakin terkikis oleh berbagai ancaman lingkungan.

Abrasi yang kian parah telah menghilangkan sekitar 82,5 kilometer daratan pada 2021. Pantai Teluk Awur Tahunan, Tanggul Tlare Kedung, Bandungharjo Donorojo, Pantai Bondo Mlonggo, dan Balong Kembang adalah sebagian kecil daerah yang dapat disebut kritis mengalami abrasi. Akibat berkurangnya hutan mangrove, potensi ceceran batubara dari aktivitas PLTU, serta limbah tambak udang setidaknya telah mengubah ekosistem laut secara drastis. Eksploitasi pasir laut untuk kepentingan industri turut mempercepat laju sedimentasi yang berdampak pada menurunnya hasil tangkapan ikan.

Namun, tak hanya lingkungan yang menjadi korban. Nelayan yang bersuara kritis terhadap praktik eksploitatif juga menghadapi kriminalisasi, sebagaimana yang terjadi pada 2013-2014 saat mereka menolak tambang pasir laut. Dampak jangka panjang dari perubahan ekosistem laut pada akhirnya dialami dengan penurunan hasil tangkapan laut. Rajungan sebagai primadona dan andalan nelayan Jepara, kini sudah semakin sedikit dan membutuhkan jarak berlayar lebih dari 10 mil dari yang sebelumnya cukup 3 mil. Artinya, nelayan membutuhkan modal tiga kali lebih banyak dari masa-masa sebelum terjadi kerusakan ekosistem pesisir Jepara.

Kholid Inspirasi Perlawanan Nelayan

Di tengah situasi ini, Kholid muncul sebagai sosok inspiratif. Ia bukan hanya nelayan biasa, tetapi seorang pemikir dan penggerak komunitas. Dengan pemahamannya tentang hukum lingkungan, ia membantu sesama nelayan memahami hak mereka atas laut dan pesisir yang lestari. Ketika pagar laut mengancam, Kholid menjadi salah satu yang berdiri di garis depan. Ia mengorganisir perlawanan, mengedukasi komunitas nelayan tentang dampak jangka panjang eksploitasi pesisir dan laut oleh pemodal. Kholid mampu berjejaring dengan organisasi pelindung lingkungan untuk memperkuat argumen ekologis.

Namun, perjuangannya tidak selalu mulus. Kholid dan beberapa nelayan lain pernah menghadapi intimidasi dan ancaman kriminalisasi akibat sikap kritis mereka. Meski demikian, ia tidak gentar. Baginya, mempertahankan pesisir adalah mempertahankan masa depan anak cucu nelayan. Salah satu pelajaran berharga dari perjuangan Kholid dan para nelayan adalah pentingnya penguatan kapasitas hukum di komunitas nelayan. Ke depan, strategi penguatan paralegal bagi nelayan menjadi kebutuhan mendesak.

Pelatihan hukum dasar tentang hak lingkungan, perizinan tambang, serta dampak hukum dari aktivitas industri pesisir perlu diberikan kepada nelayan. Dengan pemahaman ini, mereka dapat menavigasi perlawanan secara legal dan terorganisir. Kemampuan nelayan memahami masalah ancaman ekosistem mata pencahariannya, pada akhirnya dapat menghubungkan komunitas nelayan dengan organisasi hukum, akademisi. Kondisi demikian akan berdampak memperkuat posisi mereka dalam advokasi lingkungan.

Pelibatan ilmuwan dan aktivis lingkungan, nelayan dapat mendokumentasikan perubahan ekosistem pesisir, yang dapat digunakan dalam gugatan hukum atau advokasi kebijakan. Beruntung, di Jepara terdapat Kajian Kelautan Universitas Diponegoro (UNDIP) yang dilakukan oleh Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK).

Potensi tersebut harus dikembangkan melalui dukungan sinergitas pengabdian masyarakat melalui pemberdayaan nelayan. Untuk mengurangi ketergantungan pada praktik yang merusak lingkungan, nelayan perlu didorong untuk mengembangkan usaha berbasis ekowisata, perikanan berkelanjutan, atau produk turunan hasil laut. Dan inilah peran penting para akademisi untuk melakukan pendampingan secara berkelanjutan.

Di tengah hempasan ombak dan deru angin pesisir, Kholid bukan hanya sebagai inspirasi nelayan, tetapi sebagai penjaga harapan. Ia memahami bahwa laut bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi warisan yang harus dijaga untuk anak cucu. Dengan keberanian dan kecerdasannya, ia membuktikan bahwa nelayan bukanlah kaum yang lemah tetapi bisa bangkit, melawan ketidakadilan, dan mempertahankan hak mereka atas lingkungan yang lestari.

Di saat banyak yang menyerah pada tekanan, Kholid justru menyalakan nyala perlawanan, membuktikan bahwa satu suara kecil bisa menjadi gelombang besar perubahan. Perjuangannya mengajarkan kita bahwa menjaga alam adalah menjaga kehidupan, dan bahwa keberanian untuk bersuara adalah awal dari kemenangan.

Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta dan LTN NU MWCNU Nalumsari Jepara