SOLO (SUARABARU.ID) – Gempol Pleret, salah satu jenis minuman tradisional Jawa telah ada sejak Abad 18-19. Yakni sejak era Mataram Islam, yang keberadaannya tertulis dalam Serat (buku) Centhini, masuk dalam daftar dari 48 hidangan wajib dalam jamuan tradisional Jawa.
Serat Centhini adalah karya Raden Ngabehi (RNg) Soeradipoera yang ditulis pada Tahun 1814. Serat Centhini, merupakan salah satu jenis naskah kuno Jawa, yang mengulas beragam kuliner tradisional Jawa yang berkembang di masyarakat. Khususnya di masa peradaban Mataram Islam di Kartasura. Yang saat itu, Keraton Kartasura dipimpin oleh Raja Pakubuwono V.
Masyarakat Solo, menyebutkan, Gempol Pleret adalah minuman tradisional yang berasal dari Desa Karangwuni, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo. Sukoharjo, dulu masuk dalam wilayah Keraton Kasunanan Surakarta.
Kalau kemudian Gempol Pleret juga diklaim sebagai minuman tradisional khas Semarang dan Jepara, itu diperkirakan karena ada warga asal Karangwuni yang dulu boro (merantau) ke sana dan berjualan Gempol Pleret.
Terlepas dari klaim tersebut, Gempol Pleret menjadi salah satu jenis kuliner wisata khas Kota Bengawan (Solo). Rombongan pelancong dari Bandung, Jabar, begitu turun dari bus yang mengangkutnya, langsung berhamburan ke Pasar Gede Hardjonagoro Solo. Mereka langsung memesan minuman Es Gempol Pleret.
Ada yang memesan tanpa gula, dan ada pula yang menolak diberi es. Meskipun Gempol Pleret memakai es, terasa lebih menyegarkan. Tapi yang tanpa es, justru menampakkan Gempol Pleret orisinil. Tentang memakai gula atau tidak, itu tinggal selera masing-masing.
Raja Lele
Dalam semangkuk minuman tradisional ini, terdiri atas gumpalan Gempol warna putih dan Pleret (bentuknya semacam serpihan lempengan warna coklat muda), ditambah cairan air santan kepala, juruh (cairan pemanis dari gula Jawa) dan es. Gumpalan Gempol, dibuat dari bahan tepung beras. Memakai tepung beras pilihan, ada yang memakai beras kualitas super jenis Raja Lele.
Di Pasar Gede Solo, per mangkuk minuman tradisional Gempol Pleret, dijual Rp 8 ribu sampai Rp 10 ribu, tapi ada yang harganya Rp 12 ribu. Bisa langsung diminum di tempat, atau dibawa pulang dengan diwadah dalam kantung plastik transparan.
Pasar Gede Hardjonagoro atau yang lebih dikenal dengan Pasar Gede Solo merupakan pasar tradisional tertua dan terbesar di Kota Solo. Dibangun pada Tahun 1930 oleh arsitek Belanda, Thomas Karsten, pasar ini menjadi saksi bisu sejarah perkembangan Kota Solo.
Pasar ini, awalnya berfungsi sebagai pusat perdagangan hasil bumi dan kebutuhan sehari-hari. Seiring berjalannya waktu, Pasar Gede Solo berkembang menjadi pusat kuliner tradisional dan destinasi wisata. Pasar Gede Solo terletak di lokasi yang strategis di pusat kota, tepatnya di Jalan Urip Sumoharjo, Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Lokasinya yang berada di pusat kota membuatnya mudah diakses dengan berbagai moda transportasi, baik kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Pasar Gede Solo, berarsitek Jawa-Eropa, buka setiap hari mulai Pukul 08.00 hingga 17.00. Menjadi pusat kuliner wisata khas Solo yang legendaris.
Pada waktu-waktu tertentu, seperti penyambutan Hari Raya Imlek, Pasar Gede Solo semarak dengan hiasan ribuan lampion. Menjadi lokasi penyelenggaraan berbagai festival budaya Grebeg Sudiro. Yang dirayakan oleh etnis Tionghoa bersama masyarakat Solo.(Bambang Pur)