blank
Wayang kulit Lakon Murwakala di MWI, Wuryantoro, Wonogiri, dipentaskan oleh Empu Dalang Ki Suyati, untuk ritual ruwatan massal.(Dok.Ist)
WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Batara (Betara) Kala, gagal memangsa orang penyandang sukerta (dililit aura negatif). Karena, Dalang Kandha Buwana sebagai titisan Batara Wisnu, berhasil mematahkan keganasannya. Yakni dengan membaca beragam mantram (mantra) sakti penaklukan, diantaranya mantra Kalacakra, Caraka Balik, Santi Purwa, Sastra Telak, Sastra Pinadati (Bedati), Sastra Gigir dan Santi Kukus.

Pentas wayang kulit Lakon Murwakala untuk ritual ruwatan massal, Minggu (29/9/24), digelar di Museum Wayang Indonesia (MWI) di Rumah Joglo Padepokan Pak Bei Tani, Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri, Jateng. Diawali dengan alunan Gending Petalon (berasal dari kata talu yang berarti mulai) Ladrang Slamet atau Ladrang Wilujeng, Laras Slendro Pathet Manyura yang ditabuh rancak.

Ini untuk mengawali Dalang Kandha Buwana Ki Suyati, asal Eromoko, Kabupaten Wonogiri. memulai pementasan wayang ruwatan Lakon Murwakala. Dalam Lakon Murwakala, tokoh Dalang Kandha Buwana, berperan sebagai Batara Wisnu, yang berwenang ngruwat (membebaskan) segala malapetaka yang dilancarkan oleh Batara Kala.

Dalang Kandhabuwana menjadi pelindung dan penyelamat dunia yang bertindak dengan segala keunggulannya. Menjadi figur penutur tentang hakikat kehidupan, bersifat arif bijaksana, mampu membaca Rajah Kalacakra untuk menaklukkan Batara Kala. Juga membebaskan segala gangguan yang mengancam manusia, menyelamatkan orang penyandang sukerta.

”Ada 12 orang penyandnag sukerta yang mengikuti ruwatan,” jelas Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan (Dikbud) Kabupaten Wonogiri, Eko Sunarsono SSn. Pentas wayang ruwatan Lakon Murwakala, digelar dalam durasi 4 jam. Para penyandang sukerta, hadir dengan memakai selimut kain mori putih.

Sumur Drajat

Setelah mengikuti ruwatan Lakon Murwakala, mereka kemudian menjalani ritual tigas rikma (potong rambut) dan siram jamas (mandi sesuci) di Sumur Drajad. Yakni sumur gali yang dulu sehari-harinya digunakan oleh Presiden RI Ke-2, Soeharto. Masa remaja Suharto, ikut Pamannya Pak Bei Tani Prawirohardjo di Wuryantoro, Wonogiri.
blank
Para penyandang sukerta berselimut kain mori putih, mengikuti ritual ruwatan dengan duduk berjejer rapi di belakang kelir.(Dok.Ist) 

Tempat petilasan Pak Harto tersebut, di era Bupati Wonogiri Begug Poernomosidi (menjabat dua periode Tahun 2000-2010), dijadikan Museum Wayang Indonesia yang diresmikan Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Dengan beragam koleksi wayang, MWI menjadi salah satu destinasi wisata di Wonogiri.

Budayawan Jawa peraih anugerah Bintang Budaya Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat, menyatakan, ruwatan adalah salah satu ritual penyucian yang memiliki arti ‘dilepas’ atau dibebaskan. Pranoto yang Abdi Dalem Keraton Surakarta, mengatakan, ruwatan merupakan upacara yang bertujuan membebaskan orang yang dililit sebel sial (kesialan) oleh aura negatif yang disebut sebagai sukerta. Agar terhindarkan dari bencana, berkat anugerah pangayoman (perlindungan) keselamatan dari Gusti Kang Maha Kawasa.

Dalang senior Ki Suyati, mengawali pentas Lakon Murwakala dengan mengisahkan asal-usul Batara Kala. Yakni anak Batara Guru dengan Dewi Uma yang terlahir oleh perilaku pelanggaran norma. Yang lahir dari Kama Salah (mani) tercecer di lautan ketika Betara Guru berdua dengan Dewi Uma, melanglang angka naik Lembu Andini.

Kama Salah tersebut menjadi Kendhang Gumluntung. Yang ketika menjalani bertapa, tumbuh menjadi Rakasasa Besar yang sakti, yang tidak terkalahkan oleh semua Dewa. Dia mencari siapa orang tuanya, untuk meminta diberi nama, busana dan makanan.

Batara Kala meminta makanan berupa manusia, dan itu dikabulkan oleh Batara Guru, dengan syarat bahwa manusia yang dimakan haruslah Wong Sukerta, yaitu orang-orang yang dililit kesialan. Mereka yang jadi incaran Batara Kala, terselematkan setelah menjalani ritual ruwatan.

Ontang-anting

Dalam Serat Padhalangan Ringgit Purwa karangan KGPAA Mangkunagara VII, merinci ada sebanyak 14 jenis manusia sukerta, sedangkan Serat Pustakaraja Purwa karya Pujangga Agung RNg Ranggawarsito menyebutkan 26 jenis. Kitab Centini (1814) jilid 2, edisi Latin terbitan Yayasan Centini Yogyakarta, menyebutkan manusia sukerta ada 15 jenis.

blank
Usai mementaskan wayang Lakon Murwakala, Dalang Senior Ki Suyati (kiri) memimpin tigas rikma dan ritual siram jamas di Sumur Drajat peninggalan Presiden RI Ke-2 Suharto di MWI.(Dok.Ist)

Mereka diantaranya adalah Ontang-anting (anak tunggal laki-laki), Unting-unting (anak tunggal perempuan), Uger-uger lawang (dua orang anak laki-laki semua), Kembang sepasang (dua orang anak perempuan semua), Gedhana-gedhini (dua orang anak, laki-laki dan perempuan), Gedhini-gedhana (dua orang anak perempuan dan laki-laki, yang tua perempuan).

Berikut Pendawa (lima orang anak laki-laki semua), Pendawa ngayomi (lima orang anak perempuan semua), Pendawa madangake (lima orang anak, empat orang di antaranya laki-laki), Pendawa apit-apit (lima orang anak, empat di antaranya perempuan). Juga Ontang-anting lumunting tunggaking aren (anak tunggal yang di tengah kedua alisnya terdapat titik putih bermuka pucat).

Kecuali itu, Kitab Centini menyarankan pula ada empat jenis manusia sukerta yang perlu diruwat, karena kelalaian perilakunya. Yakni Batang angucap (seseorang berjalan di saat tepat tengah hari, tanpa bersumping di atas telinganya, tanpa berdendang, dan tidak mengunyah sirih), Jisim lumaku (jika dua orang berjalan di saat tepat tengah hari, tanpa bersumping di atas telinganya, tanpa berdendang, dan tidak mengunyah sirih).

Berikut yang dinamakan Mancah (orang yang sengaja mengalami Betara Kala mencari mangsa yang menjadi jatahnya), dan Tiba Sampir (bayi yang lahir bertepatan dengan terselenggaranya pagelaran wayang kulit di desanya).

Ritual ruwatan, merupakan ikhtiar (usaha) untuk membangun keselarasan dan komunikasi antarmanusia, manusia dengan Tuhan, serta manusia dengan alam. Yang itu dipertajam melalui upaya serta perbuatan yang lebih mengedepankan keutamaan budi.(Bambang Pur)