blank
Peserta IHT SMPN 6 Klaten bersama narasumber

KLATEN (SUARABARU.ID) –  Bertempat di aula sekolah, Kepala SMP Negeri 6 Klaten, Ismadi, S.Pd., MM atas saran salah satu rekan sejawatnya Gandhes Cukat Permaty mencoba mengundang leader (Gerakan Sekolah Menyenangkan) GSM Klaten sebagai nara sumber tunggal pada acara In House Training kali ini.

“Sesuai jadwal, acara nanti kita mulai jam sebelasan, dilanjut pembukaan, sambutan dari Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, dilanjut ishoma baru pengimbasan GSM, sesi tanya jawab, diakhiri penutup,” tutur Gandhes sapaan akrabnya.

“Saya sendiri meyakini bahwa GSM merupakan sebuah langkah yang nyata dirasakan oleh kita sebagai pendidik. Itu terlihat dan terasa ketika saya mengikuti GP Nduwe Gawe pada saat berlokasi di SMPN 2 Delanggu yang juga dihadiri lagsung oleh founder GSM Muhammad Nur Rizal, Ph.D.,” lanjutnya.

blank
Toha mencoba mengeksplorasi peserta IHT.

“IHT ini dinilai sangat penting sekali karena SMP Negeri 6 Klaten telah berpartisipasi dalam momen GTS di bulan Juli saat masa MPLS sehingga ini sangat penting sebagai pengenalan kepada seluruh guru kami tentang apa itu GSM dan segala hal yang berkorelasi dengannya.”pangkasnya.

“Ini adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi dengan gagah berani karena visi misi perubahan takkan dapat bergerak hanya dengan berdiam diri dan sejuta retorika belaka,” tutur Toha sapaan akrabnya.

”Saya kemas acara ini dengan santai namun berdampak bagi perubahan walau kecil dan sedikit akan lebih baik daripada sama sekali tidak.” Pada opening acara, peserta saya ajak rileks dengan mendengarkan lantunan instrument musik penyejuk jiwa sembari saya suguhkan narasi tentang rasa terima kasih kepada seluruh anggota tubuh yang setia menemani dan berkontribusi hingga saat kita berada di ruang ini.” imbuhnya.

Toha juga menarasikan latar belakang bagaimana Gerakan Sekolah Menyenangkan ini lahir dan berkembang hingga meluas ke penjuru nusantara, dan khususnya kelahirannya di Klaten. Di sela-sela paparannya, Toha mengaduk-aduk perasaan peserta dengan dua buah perbedaan video laksana minyak dan air atau juga laksana bumi dan langit yang jauh berbeda esensinya.

Lebih lanjut Toha mengajak peserta untuk mengulas kembali fakta-fakta sejarah bagaimana perjuangan Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa di tengah masifnya sekolah-sekolah bentukan Belanda yang hanya dapat dinikmati oleh elit negeri dan priyayi seperti anak-anak Bupati, anak-anak Wedono, dan anak-anak abdi dalem petinggi negeri dengan tujuan agar nantinya anak-anak elit pribumi menjadi kepanjangan tangan, menjadi sekutu, menjadi teman, menjadi sebuah kolaborasi, kerjasama yang sempurna dan mendukung posisi Belanda di negeri ini.

Lebih lanjut dalam video tersebut digambarkan bahwa tentu hal itu mengusik Ki Hajar Dewantara karena beliau meresa bahwa pendidikan seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat secara berkeadilan sosial, pendidikan yang juga harus dinikmati oleh anak penjual bakso, pendidikan yang harus juga dinikmati oleh anak buruh tani, pendidikan yang juga harus dinikmati oleh anak kuli pasar, anak kuli bangunan, dan anak-anak pribumi jelata secara merata dan berkeadilan.

Dengan terciumnya gerakan Taman Siswanya Ki Hajar Dewantara, Belanda mengeluarkan ordonansi sekolah liar agar mereka dapat mengawasi apa saja yang dilakukan Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara sadar bahwa perlawanan terhadap Belanda harus dimulai dari pendidikan. Sayangnya, esensi pendidikan kita saat ini justru serupa dengan pendidikan yang diagungkan pemerintah kolonial saat itu, di mana mengejar capaian akademik dan memenuhi kepentingan industrialisasi.

Ketika di depan terdapat banyak para guru, kepala sekolah, dan orang tua yang menyimpang ingin mengembalikan hakikat pendidikan yang memanusiakan dan menuntun kodrat alam dan anak-anak dicontohkan laksana ikan salmon saat berjuang melawan derasnya air sungai dan kawanan beruang yang siap menerkam kapan saja demi menetaskan telur-telur mereka di tempat yang nyaman, damai,dan tenang.

Jikalau ikan salmon saja bisa melakukannya, kita sebagai manusia harusnya lebih bisa memperjuangkan dan mengembalikan kiblat pendidikan Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia. Tetapi faktanya bahwa negara-negara maju menggunakan filosofi Ki Hajar Dewantara sebagai kiblat pendidikan mereka, namun Indonesia sebagai tempat kelahiran Ki hajar Dewantara justru menggunakan warisan, peninggalan pendidikan kolonialisme yang justru menjadikan rakyat Indonesia menjadi budak, menjadi buruh di negaranya sendiri, dan ini sungguh sangat disayangkan.

Refleksi menjadi penutup IHT SMP Negeri 6 Klaten yang diisi oleh beberapa peserta antara lain Aris Isdiyanto, Kamidi, Komarni, Riana Desi, dan masih banyak lagi yang juga aktif ketika leader memberikan pemantik di sela-sela paparan.

“Bahwa sudah saat guru harus dijaga marwahnya sebagai pendidik yang dijunjung tinggi pengabdiannya dan mengembalikan kembali kiblat pendidikan Ki Hajar Dewantara ke tempatnya, Indonesia.

Hadepe – Arsapa