Alumni Monash University Australia ini melihat beberapa faktor lain yang menjadi pendorong mengapa anak-anak di bawah umur bebas mengakses penggunaan sepeda motor.
“Yang pertama, kenyataan bahwa banyak diantara kita, orangtua dan orang dewasa diam-diam bangga kalau anak-anak belia kita juga mengendarai alat transportasi bermotor pada usia yang seharusnya belum. Ini menjadi semacam lingkaran setan, anak dan keluarga sama terprovokasi untuk mengendarai alat transportasi kendaraan bermotor,” terangnya.
Kedua, lanjutnya, sebagian sekolah tampak memandang normal situasi seperti ini. Sangat lazim, saat ini kita melihat anak-anak usia sekolah menengah pertama pergi ke sekolah dengan motor. Kita tahu, mereka belum memiliki SIM, dan saya kira sekolah pun tahu. Tetapi kenyataan ini telanjur menjadi normal,” imbuhnya.
Ali Formen melihat penuntasan masalah ini bukan melulu tanggung jawab keluarga, namun ada pihak lain yang perlu dilibatkan, yaitu komunitas. “Di sini kita butuh bukan saja keluarga sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, tetapi pelibatan komunitas. Antar keluarga bertemu, lalu saling menguatkan,” jelasnya.
Dikatakan, keresahan soal anak-anak bermotor ini adalah keresahan bersama dan bukan keluarga per keluarga. Untuk itu, solusinya pun semestinya solusi kolektif.
Menurutnya, para keluarga perlu bertemu, misalnya di tingkat RT/RW, duduk bersama, untuk membangun kesepahaman bahwa pengendara belia adalah masalah. “Kita tidak akan dapat memutus urusan pengendara belia ini jika kita, keluarga, dan orangtua tidak menganggapnya sebagai masalah,” tandasnya.
Ali mendorong penuntasan masalah pengendara di bawah umur ini melalui solusi yang komprehensif. Pemerintah diharap segera memberikan solusi transportasi untuk mengakomodir kepentingan anak-anak, berangkat dan pulang sekolah.
“Perlu disadari, fenomena pengendara belia adalah akibat dari tidak adanya opsi transportasi publik-komprehensif yang memadai. Oleh karena itu, ini juga bagian dari solusi jangka panjang,” pungkasnya.
Ning S