Ikrar menambahkan, aturan tentang hal itu sebenarnya sudah masuk ke Undang Undang Pemilihan Umum tahun 2017. Sayangnya, tambah Ikrar, pasal-pasal yang mengatur hal tersebut diletakkan pada bagian bawah.
“Pasal-pasal yang angkanya banyak banget, diatas 200-an. Rupanya disitu ada pasal yang menyatakan presiden, menteri bahkan sampai wakil bupati boleh melakukan kampanye,” tambahnya.
Namun hal itu bertentangan dengan azas umum yang menyatakan bahwa ASN, TNI, Polri kemudian kepala desa, Satpol PP, tidak boleh melakukan kampanye.
“Mengapa ada dualisme kebijakan pada level presiden, wakil presiden, menteri, dan juga sampai wakil bupati boleh kampanye, sedangkan ASN nya tidak boleh. Dan juga saya ingin menambahkan sedikit, mana yang kemudian bisa membedakan seorang presiden sedang melakukan kunjungan kerja dengan seorang presiden atau menteri sedang berkampanye,” jelasnya.
Ikrar juga menyoroti kebijakan Presiden Jokowi yang mencabut peraturan tentang menteri atau kepala daerah yang akan melakukan kampanye politik harus melakukan cuti.
“Ini yang menurut saya mengherankan. Sebab kalau dia tidak cuti, dia bisa menggunakan fasilitas negara. Baik itu untuk menteri, wakil presiden, maupun presiden,” tambahnya.
Ikrar mengingatkan bahwa sistem politik di Indonesia tidak menganut satu partai, kebijakan Presiden Jokowi tersebut bisa mengakibatkan permasalahan di kabinet.
“Kalau di Indonesia ini adalah koalisi dari macam-macam partai. Anda bisa bayangkan kalau para menteri ini berkampanye untuk partai masing-masing, atau calon presidennya masing-masing. Itu bagaimana riuh rendahnya di dalam kabinet? Bahkan belakangan ini kita melihat antara presiden dan wakil presiden memiliki pandangan yang berbeda mengenai debat calon presiden dan calon wakil presiden,” pungkasnya.
Ning S