SEMARANG (SUARABARU.ID) – Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH, M.Hum telah mengukuhkan tiga dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro sebagai Guru Besar bidang sejarah dan kebudayaan dalam Sidang Senat Akademik Universitas, yang berlangsung di Gedung Prof Sudarto SH Kampus Undip Semarang Kamis (14/12/2023). Guru Besar baru FIB itu adalah Prof. Dr. Alamsyah, S.S, M.Hum, Prof. Dr. Drs. Dhanang Respati Puguh, M.Hum, serta Prof. Dr. Dra. Endah Sri Hartatik, M.Hum.
Salah satu penerima pengukuhan gelar akademik adalah Prof. Dr. Alamsyah, S.S, M.Hum yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Sejarah Sosial Ekonomi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Pria kelahiran Desa Surodadi, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara , 19 Nopember 1972 ini dalam pidato pengukuhannya memberikan pemaparan ilmiah penelitian tentang “Tantangan dan Respons: Pasang Surut Industri Kerajinan Ukir Jepara 1980-2022”.
Pada pengukuhan ini disamping dihadiri rektor, senat akademis, wali amanat, dewan profesor, para dekan dan wakil dekan juga dihadiri Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, Pj Bupati Jepara Edy Supriyanta, Andang Wahyu Triyanto, Nur Hidayat , Choirul Anwar, Muslim Aisha dan Hadi Priyanto. Juga keluarga Prof Alamsyah
Dalam paparannya Prof. Dr. Alamsyah, S.S, M.Hum mengungkapkan Kerajinan ukir Jepara merupakan bagian dari industri kreatif yang eksistensinya mempunyai akar sejarah panjang sejak abad ke-16. Pada abad akhir abad ke-19, keberadaan kerajinan ini dipandang sebagai salah satu karya kerajinan yang berkualitas dibandingkan kerajinan sejenis produk Eropa.
“Pada awal abad ke-20, melalui peran Kartini, para pengrajin telah didorong, difasilitasi, dan dikenalkan di kancah internasional melalu kegiatan pameran. Pasca kemerdekaan, meskipun ukir belum menjadi mata pencaharian utama, sebagian masyarakat telah terbiasa melakukan kegiatan mengukir,”terangnya
Kemudian pada tahun 1960an, kerajinan ukir masih menjadi pekerjaan sampingan, namun perlahan-lahan pada tahun 1970an, seiring dengan perkembangan kerajinan ini, masyarakat mulai menjadikan pekerjaan mengukir sebagai mata pencaharian utama. “Hal ini membuat kerajinan ukir pernah menjadi primodana kehidupan ekonomi masyarakat, bahkan mengangkat Jepara, yang semula menjadi salah satu daerah miskin di Jawa Tengah, menjadi daerah yang cukup Makmur. Kerajinan ukir ini mencapai puncak ke jayaan pada tahun 1997 hingga tahun 2000,” terang Prof. Dr. Alamsyah, S.S, M.Hum.
Mulai Menurun
Booming terjadi karena adanya fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap USD yang ditandai tingginya total nilai ekspor, jumlah unit usaha, jumlah eksoprtir, dan jumlah pekerja. “Keuntungan para pengepul, pengusaha kecil, dan pengusaha besar naik pesat, sedangkan para pengukir tidak banyak mendapatkan keuntungan,” paparnya
Penurunan kerajinan ukir terjadi mulai tahun 2002 hingga 2010 karena berbagai faktor. Diantaranya kondisi ekonomi dunia mulai stabil, menurunnya permintaan pasar internasional, ketersediaan dan kenaikan harga bahan baku, perubahan sistem pembayaran (down payment), kualitas produk dan kualitas bahan baku kurang baik, rendahnya upah pekerja pengukir, pemasaran, dan ketersediaan tenaga kerja.
Terhadap berbagai tantangan tersebut, stakeholders yang terlibat merespon melalui berbagai cara baik teknis maupun substansi. Upaya ini membuat kerajinan ukir tetap eksis hingga saat ini.
Masa redup kembali berlangsung pada tahun 2011 dengan menurunnya permintaan ekspor, harga bahan baku yang semakin mahal, dan sumber daya pengukir yang semakin terbatas. Berbagai macam problem tersebut perlu penanganan secara integral agar kerajinan ukir yang merupakan identitas masyarakat Jepara masih tetap eksis dan Jepara tetap menyandang sebagai kota ukir.
Hingga saat ini, keberadaan kerajinan ukir masih harus dipertahankan karena masih banyak masyarakat Jepara yang menggantungkan hidupnya pada kerajinan ini. Di sisi yang lain keberadaan kerajinan ukir telah memberi kontribusi dengan ditandai total nilai penjualan baik di dalam negeri maupun nilai ekspor, penyediaan tenaga kerja, unit-unit usaha, dan yang lainnya.
Melalui kerajinan ukir, wajah Jepara yang sebelum tahun 1980-an menjadi salah satu daerah miskin di Jawa Tengah, berubah menjadi daerah dengan tingkat kesejahteraan cukup tinggi hingga saat ini.
Predikat Jepara sebagai kota ukir yang mulai melekat tahun 1970-an, kini mulai terancam karena kelangkaan pengukir. Tidak banyak anak muda yang tertarik untuk meneruskan tradisi leluhurnya. Salah satu penyebabnya adalah proses belajarnya terlalu lama dan upah pekerja rendah.
Padahal menurut Prof. Dr. Alamsyah, S.S, M.Hum permintaan terhadap kerajinan ukir di pasar dalam negeri dan luar negeri masih terbuka luas, sehingga perlu upaya kreativitas dan regenerasi, revitalisasi regulasi, dan campur tangan pemerintah. Kreativitas dapat dilakukan melalui pengayaan ragam hias kerajinan ukir dan inovasi yang lain.
Dalam pidato pengukuhannya , Andang Wahyu Triyanto, Muslim Aisha, Hadi Priyanto, Nur Hidayat dan Choirul Anwar juga mengungkapkan, regenerasi pengukir perlu dilakukan secara masif dan sistematis melalui upaya formal dan non formal, baik melalui penguatan implementasi kurikulum, kegiatan ekstra, maupun pemberian insentif bagi pengukir. Revitalisasi regulasi dilakukan melalui implementasi Peraturan Daerah dalam tataran teknis yang terkait dengan kerajinan ukir.
Disamping itu pemerintah perlu melakukan campur tangan terkait regulasi, harga, tata niaga kayu yang berpihak pada perajin kecil.
Saran
Prof. Dr. Alamsyah, S.S, M.Hum dalam pidato pengukuhannya juga memberikan sejumlah catatan dan saran terkait kerajinan ukir yang telah ada sekitar 444 tahun yang lalu dan semakin intensif perkembangannya sekitar 45 tahun ini, dan secara signofikan telah berkontribusi terhadap perekonomian masyarakat.
Pertama, perlunya blueprint pelestarian kerajinan ukir yang menjadi panduan stakeholders untuk bersama-sama bergerak secara sinergis dan kolaboratif.
Kedua, perlu pemberdayaan dan pelibatan pengukir dalam pengambilan kebijakan terkait penguatan ketrampilan, akreditasi, dan upah pengukir. Penyebab kelangkaan pengukir adalah rendahnya upah yang diterima jika dibandingkan dengan sektor lainnya.
Ketiga, perlunya Pemerintah Daerah mendirikan lembaga struktural setingkat OPD yang mengurusi penguatan pemasaran, inovasi, dan hak kekayaan intelektual produk serta motif kerajinan ukir untuk membantu pengembangan, pengrajin, dan pelestarian industri kreatif kerajinan ukir.
Biodata
Prof Dr Alamsyah adalah salah satu putra alm. H. Ahmad Tahrir Zen dan Almarhumah Hj. Zaenab. Ia menikah dengan Umrotun, S.Sos, MH seorang PNS dilingkungan Pemkab Jepara. Dari pernikahan ini dikarunia 2 orang anak, Almahir Cahya Wikramasyah, S.Ked, dan Al A‟raaf Nada Sofnidar
Ia mengampu sejumlah mata kuliah diantaranya Sejarah Indoesia Sampai Abad ke-15 (S1), Sejarah Indonesia Abad ke-16 sampai Abad ke-18 (S1), Pengantar Sejarah Indonesia (S1), Sejarah Islam (S1), Historiografi (S2) dan Teori dan Metodologi (S3)
Sedangkan pendidikan yang pernah dilalui , yaitu SDN 1 Surodadi, Kedung Jepara, SMPN 1 Kedung,SMAN 1 Jepara, S1 di Undip lulus 1996, S2 di UGM lulus tahun 2004 dan S3 di Universitas Pajajaran lulus 2012. Ia juga mengikuti Sanwich Program di Vrije Universiteit Amsterdam Belanda tahun 2010.
Hadepe