blank
Kabid Kebudayaan Dikbud Wonogiri Eko Sunarsono (kiri), menyerahkan tokoh wayang Betara Kala kepada Empu Dalang Ki Suyati, untuk memulai ruwatan massal mementaskan Lakon Murwakala.(Dok.Ist)

WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Ruwatan massal, Selasa (5/12), digelar di Museum Wayang Indonesia (MWI) yang berlokasi di Pendapa Padepokan Pak Bei Tani, Kecamatan Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri.

”Dilaksanakan oleh Empu Dalang Ki Suyati dari Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri. Diikuti oleh 11 anak penyandang sukerta,” jelas Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan (Dikbud) Kabupaten Wonogiri, Eko Sunarsono.

Di akhir pagelaran wayang lakon Murwakala, para penyandang sukerta yang mengikuti ruwatan, menjalani ritual tigas rikma (potong rambut) dan siram jamas (mandi sesuci) di Sumur Drajad. Yakni sumur gali yang dulu sehari-harinya digunakan oleh Presiden RI Ke-2, Soeharto.

Yang semasa kecilnya, Soeharto, dulu pernah ikut Pamannya, yakni Mantri Tani Prawirohardjo atau dikenal sebagai Pak Bei Tani di Wuryantoro, Wonogiri. Tempat petilasan Pak Harto tersebut, di era Bupati Wonogiri Begug Poernomosidi (menjabat dua periode Tahun 2000-2010) dijadikan Museum Wayang Indonesia yang diresmikan Presiden RI Megawati Soekarnoputri.

Ruwatan adalah salah satu ritual penyucian yang memiliki arti “dilepas” atau “dibebaskan”. Oleh karena itu, Ruwatan merupakan upacara yang bertujuan membebaskan seseorang yang diruwat, lilitan sebel sial (kesialan) oleh aura negatif yang disebut sebagai Sukerta.

Kama Salah

Dalang senior Ki Suyati, mengawali pentas Lakon Murwakala dengan mengisahkan asal-usul Betara Kala. Yakni anak Betara Guru dengan Dewi Uma yang terlahir oleh perilaku pelanggaran norma. Yang lahir dari Kama Salah (mani) tercecer di lautan ketika Batara Guru berdua dengan Dewi Uma, melanglang angka naik Lembu Andini.

Kama Salah tersebut menjadi Kendhang Gumluntung. Yang ketika menjalani bertapa, tumbuh menjadi Rakasasa Besar yang sakti, yang tidak terkalahkan oleh semua Dewa. Dia mencari siapa orang tuanya, untuk meminta diberi nama, busana dan makanan.

Batara Kala meminta makanan berupa manusia, dan itu dikabulkan oleh Batara Guru, dengan syarat bahwa manusia yang dimakan haruslah Wong Sukerta, yaitu orang-orang yang dililit kesialan. Mereka yang jadi incaran Betara Kala, terselematkan setelah menjadi ritual ruwatan.

Dalam Serat Padhalangan Ringgit Purwa karangan KGPAA Mangkunagara VII, merinci ada 14 jenis manusia sukerta, sedangkan Serat Pustakaraja Purwa karya Pujangga Agung RNg Ranggawarsito menyebutkan 26 jenis. Kitab Centini (1814), jilid 2, edisi Latin terbitan Yayasan Centini Yogyakarta, menyebutkan manusia sukerto ada 15 jenis.

Mereka diantaranya adalah Ontang-anting (anak tunggal laki-laki), Unting-unting (anak tunggal perempuan), Uger-uger lawang (dua orang anak laki-laki semua), Kembang sepasang (dua orang anak perempuan semua), Gedhana-gedhini (dua orang anak, laki-laki dan perempuan), Gedhini-gedhana (dua orang anak perempuan dan laki-laki, yang tua perempuan).

Memohon

Berikut Pendawa (lima orang anak laki-laki semua), Pendawa ngayomi (lima orang anak perempuan semua), Pendawa madangake (lima orang anak, empat orang di antaranya laki-laki), Pendawa apit-apit (lima orang anak, empat di antaranya perempuan). Juga Ontang-anting lumunting tunggaking aren (anak tunggal yang di tengah kedua alisnya terdapat titik putih bermuka pucat).

Kecuali itu, Kitab Centini menyarankan pula ada empat jenis manusia sukerta yang perlu diruwat, karena kelalaian perilakunya. Yakni Batang angucap (seseorang berjalan di saat tepat tengah hari, tanpa bersumping di atas telinganya, tanpa berdendang, dan tidak mengunyah sirih), Jisim lumaku (jika dua orang berjalan di saat tepat tengah hari, tanpa bersumping di atas telinganya, tanpa berdendang, dan tidak mengunyah sirih).

Berikut yang dinamakan Mancah (orang yang sengaja mengalami Betara Kala mencari mangsa yang menjadi jatahnya), dan Tiba Sampir (bayi yang lahir bertepatan dengan terselenggaranya pagelaran wayang kulit di desanya).

Budayawan Jawa peraih anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Pranoto Adiningrat yang Abdi Dalem Keraton Surakarta, menyatakan, makna dari Ruwatan adalah sarana memohon kepada Tuhan, agar orang yang diruwat dapat terbebas dari lilitan aura negatif Sukerta atau kesialan dan terhindarkan dari bencana, berkat anugerah pangayoman (perlindungan) keselamatan dari Gusti Kang Maha Kawasa.

Ritual ruwatan, merupakan suatu usaha untuk membangun keselarasan dan komunikasi antarmanusia, manusia dengan Tuhan, serta manusia dengan alam. Yang itu dipertajam melalui upaya serta perbuatan yang lebih mengedepankan keutamaan budi.
Bambang Pur