blank
Timnas U17 Indonesia. Foto: pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// janganlah salah menafsir kekuatan/ kalian lihatkah energi yang mencurah?/ di balik aksi bocah-bocah kecil itu/ di dadanya menyemayam garuda/ di tekadnya mengeram cita-cita/ siapa kita/ : Indonesia!//
(Sajak “Bocah-bocah Garuda”, 2023)

PANGGUNG dunia sepak bola para bocah (U17), sejak kemarin mencahayai Kota Surabaya, Jakarta, Solo, dan Kabupaten Bandung. Anak-anak Indonesia mulai mencicipi atmosfer laga tingkat dunia jutru di kandangnya sendiri, di Gelora Bung Tomo, Surabaya.

Skor 1-1 melawan Ekuador Jumat malam (10 November) tentu bukan hasil yang mengecewakan, walaupun secara performa banyak “pekerjaan rumah” yang harus ditangani oleh pelatih Bima Sakti. Setidak-tidaknya, yang membanggakan dari M Iqbal Gwijangge dkk adalah patriotisme yang mereka perlihatkan di sepanjang laga. Bukan tidak mungkin, spirit skor 1-1 melawan Ekuador bakal menjadi modal ketika menghadapi Panama dan Maroko nanti.

Ekuador adalah salah satu kekuatan Amerika Latin yang merupakan langganan putaran final Piala Dunia U17. Mereka hadir untuk kali keenam dalam turnamen ini, dengan catatan terbaik lolos ke perempat final pada 1995 dan 2015. “La Tricolor” meraih tiket putaran final pada 1987, 1995, 2011, 2015, dan 2019.

Catatan lolos ke Indonesia pun cukup kinclong: setelah menjadi runner-up Copa America U17 2023, dengan dua kali sukses menahan imbang Brazil yang akhirnya menjadi juara. Juga menundukkan tim-tim besar Amerika Selatan, termasuk Argentina.

Dalam skuad timnas Ekuador U17 yang berlaga di Copa America U17 2023, ada nama Kendry Paez, wonderkid 16 tahun yang pada 2025 nanti dipastikan bakal bergabung dengan klub raksasa Liga Primer, Chelsea.

Laga semalam juga mengetengahkan striker dan kapten tim Michael Bermudez. Bintang U17 Ekuador ini telah mengoleksi 4 gol pada South American Championship U17 2023. Bermudez dirumorkan menarik atensi dari beberapa klub Eropa, salah satunya Borussia Dortmund.

Tak Perlu Inferior
Dalam percaturan sepak bola para bocah, Indonesia tak seharusnya berkecil hati. Kita cukup punya potensi talenta untuk bersaing di level regional Asia Tenggara, Asia, bahkan dunia. Maka, walaupun Malaysia dan Vietnam mencibir Indonesia mendapat hak berkontestasi di putaran final Piala Dunia U17 tanpa harus terlebih dahulu bersaing dalam kualifikasi, kita tidak harus merasa diinferioritaskan.

Pertama, tuan rumah di mana pun mendapat hak untuk menjadi salah satu peserta putaran final. Kedua, tingkat kelayakan Anak-anak Garuda untuk berlaga juga akan dilihat pada sejauh mana kemampuan bersaing di Grup A melawan Ekuador, Maroko, dan Panama.

Dibandingkan dengan tiga negara lainnya di Grup A, Indonesia merupakan satu-satunya tim yang menjalani debut. Ekuador, Panama, dan Maroko telah memiliki pengalaman hingga fase penyisihan pada edisi Piala Dunia U17 sebelumnya.

Panama hadir untuk kali ketiga. Negara dari Amerika Tengah itu memastikan tiket setelah mencapai babak semifinal di Turnamen U17 Concacaf, Februari lalu. Mereka mencapai 16 besar dalam penampilan debut pada tahun 2011, disingkirkan oleh tuan rumah Meksiko.

Mereka kembali lolos ke putaran final dua tahun kemudian, tetapi tersingkir di babak penyisihan grup. Pemain sayap Ismael Diaz tercatat sebagai satu-satunya pemain Panama yang pernah tampil di Piala Dunia U17 dan Piala Dunia senior.

Panama tidak memiliki catatan penampilan impresif di level internasional. Hanya, di Piala Concacaf U17 2023 mampu menundukkan Guatemala, Curacao, Kuba, dan Honduras.

Sedangkan Maroko tampil untuk kali kedua setelah 2013. Ketika itu mereka memuncaki grup yang terdiri dari Uzbekistan, Kroasia, dan Panama. Mereka tersingkir di babak 16 besar setelah kalah dari Pantai Gading.

Maroko diperkuat pemain akademi Juventus, Adam Boufandar. Juga membawa Othmane Elidrissi Erahhali, Zakaria Ouazane, dan Mohamed Zine El Abidine Hamony yang bermain di Eropa.

Melihat penampilan di laga pembuka melawan Ekuador, di atas kertas Indonesia seharusnya bisa mengimbangi Maroko dan Panama. Peluang untuk menang juga cukup bagus.

Masalah Serius: Transisi
Sebagai evaluasi, laga melawan Ekuador memperlihatkan titik kekurangan Iqbal Gwijangge cs, terutama dalam akurasi umpan yang terbukti mempengaruhi transisi dari bertahan ke menyerang, dan dari menyerang ke situasi bertahan.

Ekuador tampak lebih mengendalikan irama permainan karena kematangan dalam aliran transisi bola. Sedangkan lini tengah Indonesia terlihat rentan ketika melepas umpan-umpan untuk membuka variasi serangan. Bola banyak diantisipasi lawan dengan intersepsional dan arah yang mudah terbaca. Demikian juga, aliran bola dalam posisi bertahan ketika lawan mulai menyerang banyak mengundang risiko lawan lebih mudah masuk ke area pertahanan Welber Jardim dkk karena banyaknya ketidakakuratan umpan.

Masalah kelemahan transisi ini, untungnya, banyak tertolong oleh konsistensi determinasi. Daya juang pemain terlihat kuat, dan inilah titik yang seharusnya bisa dijadikan modal untuk melawan Panama dan Maroko.

Daya tempur dalam menghadapi Ekuador bisa saya bandingkan dengan “pertunjukan” Didik Darmadi dkk di Piala Dunia U19 di Tokyo ketika menghadapi Argentina yang diperkuat Diego Maradona dan Ramon Diaz muda. Indonesia kalah 0-5, namun daya juang tim asuhan Sutjipto Soentoro itu patut dipuji. Dan, kini Arkhan Kaka cs bukan hanya bertarung gigih, namun juga memberikan hasil tidak mengecewakan.

Energi para bocil kita di panggung dunia U17 ini, tampaknya bakal ditentukan oleh kemampuan unjuk determinasi. Kalau “sikap tanding” ini bisa dipertahankan dan membawa lolos ke babak gugur, sejarah besar menanti anak-anak Indonesia untuk dikenang dunia.

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah