JAKARTA (SUARABARU.ID) – Pemerintah meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata yang berlokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat berkapasitas 145 MW(ac) atau 192 MW(p).
Dengan peresmian PLTS terapung di Cirata ini, kini Indonesia menjadi lokasi PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara, yang sebelumnya dipegang oleh PLTS terapung Tengeh di Singapura.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, pengoperasian PLTS terapung Cirata menjadi tonggak akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya berskala besar di Indonesia yang praktis mati suri sejak 2020. Seiring dengan semakin menurunnya biaya investasi PLTS, maka menjadikannya sebagai pembangkit energi terbarukan termurah saat ini. Indonesia harus mengoptimalkan potensi teknis PLTS yang mencapai 3,7 TWp sampai dengan 20 TWp untuk mendukung tercapainya target puncak emisi sektor kelistrikan di 2030, dengan biaya termurah.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyampaikan, IESR mendorong pemerintah dan PLN untuk memanfaatkan potensi teknis PLTS terapung yang mencapai 28,4 GW dari 783 lokasi badan air di Indonesia untuk akselerasi pemanfaatan PLTS.
Data Kementerian ESDM menunjukkan adanya potensi PLTS terapung skala besar yang dapat dikembangkan setidaknya di 27 lokasi badan air yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dengan total potensi mencapai 4,8 GW dan setara dengan investasi sebesar USD 3,84 miliar (Rp55,15 triliun). Pemanfaatan potensi PLTS terapung ini akan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dan meraih target net zero emission (NZE) lebih cepat dari tahun 2060.
“Pemerintah dan PLN harus mengoptimalkan potensi PLTS terapung dengan menciptakan kerangka regulasi yang menarik minat pelaku usaha untuk berinvestasi di pembangkit ini. Salah satunya, dengan memberikan tingkat pengembalian investasi sesuai profil risiko tetapi menarik dan mengurangi beban tambahan dalam mengelola investasi,” ujar Fabby dalam rilisnya, Kamis (9/11/2023).
Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan skema penugasan PLN kepada anak perusahaannya, yang selama ini menjadi opsi prioritas pengembangan PLTS terapung. Melalui skema ini, anak perusahaan mencari pihak yang bersedia untuk berinvestasi atau equity investor untuk kepemilikan minoritas tetapi harus mau menanggung porsi equity yang lebih besar melalui pinjaman pemegang saham (shareholder loan).