Masjid Mantingan. Foto: Gontor News

JEPARA (SUARABARU.ID) – Jepara dikenal dengan banyaknya wisata alam berupa pantai, gunung, dan sebagainya. Tetapi jangan keliru, Jepara juga punya wisata religi yang banyak dikunjungi oleh wisatawan khususnya umat muslim.

Destinasi wisata religi tersebut adalah Masjid Mantingan. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Jawa setelah Masjid Agung Demak.

Masjid Mantingan ini juga dikenal dengan nama Masjid Astana Sultan Hadlirin. Masjid ini adalah salah satu masjid kuno di Indonesia yang terletak di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Jaraknya sekitar 5 km arah selatan dari Kecamatan Jepara. Secara keseluruhan, Masjid Mantingan merupakan sebuah kompleks yang terdiri dari masjid itu sendiri, permakaman, dan sebuah museum sederhana.

Bangunan masjid kuno tersebut berbentuk limasan. Tiang masjid terbuat dari kayu-kayu lawas. Dari depan masjid terdapat ukiran-ukiran keramik yang menempel didinding yang menurut kisahnya, didatangkan langsung dari Cina. Sedangkan atapnya terbuat dari sirap kayu. Demikian pula mimbar khotbah terbuat dari kayu masih asli.

Makam di kompleks Masjid Mantingan, di sini pula dimakamkan Sultan Hadlirin, suami Ratu Kalinyamat. Foto: kebudayaan.kemdikbu.go.id

Sultan Hadlirin

Saat Ramadan, pengunjung yang datang tak hanya untuk beribadah. Mereka juga menyempatkan untuk ziarah ke makam Sultan Hadlirin. Bahkan, banyak musafir yang bermalam untuk memperdalam keimanan dengan menginap di sekitar makam atau di masjid Mantingan.

Di dalam komplek masjid terdapat makam Sultan Hadlirin, suami dari Kanjeng Ratu Kalinyamat dan menantu Sultan Trenggono, penguasa Demak yang terakhir.

Ratu Kalinyamat adalah tokoh fenomenal Jepara, yang terus diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional karena kegigihannya melawan penjajah Portugis.

Selain itu terdapat pula makam waliullah Mbah Abdul Jalil, yang disebut-sebut sebagai nama lain Syekh Siti Jenar.

Masjid Mantingan dibangun pada 1481 Saka, atau 1559 Masehi oleh Ratu Kalinyamat. Tahun pembangunan masjid itu diketahui berdasarkan candra sengkala yang terukir di mihrab, yang berbunyi “Rupa Brahmana Wana Sari”.

Dikisahkan satu peristiwa pembunuhan Sultan Hadiri yang dilakukan oleh Arya Penangsang. Peristiwa tragis ini dipicu oleh perselisihan yang terjadi selepas meninggalnya Raja Demak, Raden Trenggono. Istri Sultan Hadiri yang bernama Ratu Kalinyamat sangat bersedih dan terpukul. Untuk mengatasi kesedihannya itu, Ratu Kalinyamat membuat makam beserta masjid di daerah Mantingan, Jepara, yang sekarang kita kenal dengan Masjid Mantingan.

Dalam mempersembahkan bangunan untuk mendiang Sultan Hadiri, Sang ratu meminta bantuan guru spiritual sekaligus ayah angkat Sultan Hadiri ketika menimba ilmu di Cina. Ia adalah Chi Hui Gwan, yang lebih dikenal dengan Patih Sungging Badarduwung.

Patih inilah yang menjadi arsitek Masjid Mantingan. Dalam mendirikan masjid ini Patih dibantu oleh masyarakat setempat.

Masjid ini memiliki gaya arsitektur campuran dari kebudayaan Hindu-Buddha, Jawa, dan Tionghoa. Contohnya adalah bentuk atap tumpang dan mustaka yang merupakan akulturasi dari arsitektur masa Majapahit dan Tionghoa. Kebudayaan Jawa dapat terlihat dari gapura masuk masjid dan sebuah petilasan candi di dekat masjid, meskipun sudah tidak utuh lagi.

Akulturasi budaya Hindu dan Cina juga tampak dari bentuk mustaka dan atap tumpang. Corak tersebut berasal dari kebudayaan Hindu Majapahit. Begitu juga dengan relief yang terpampang pada dinding masjid ini. Sementara itu, pengaruh kebudayaan China terlihat dari adanya ornamen barongsai pada relief yang digayakan (stilisasi).

Bangunan utama Masjid Mantingan menampilkan relief-relief yang menempel pada dinding. Saat ini, terdapat 114 relief yang dipajang di sana.

Adapun sisanya sudah tersimpan di galeri sederhana pada samping masjid ini. Adanya relief tersebut menunjukkan keunikan Masjid Mantingan bila dibandingkan dengan masjid-masjid kuno lainnya di Nusantara.

Ornamen-ornamen yang tertempel di dinding serambi masjid masih bisa dilihat dengan jelas. Hiasan ukir batu yang tertempel di dinding merupakan tiruan bentuk bunga teratai, burung, dan pohon kelapa. Motif flora dan fauna yang terdapat pada ornamen dinding Masjid Mantingan, kemudian menginspirasi warga Kabupaten Jepara dalam membuat ukiran kayu.

Ornamen masjid berupa hiasan bermotif flora di dinding masjid. Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Di halaman belakang masjid, terdapat kompleks makam yang terdiri dari tiga halaman. Seperti dengan makam-makam kuno, halaman ini memiliki tingkatan yang menunjukkan kedudukan sosial yang dimakamkan.

Halaman pertama merupakan makam-makam umum. Halaman kedua merupakan makam-makam orang yang statusnya menengah. Sedangkan halaman ketiga adalah makam orang-orang yang statusnya tinggi, terutama yang di dalam cangkup.

Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin dimakamkan di sini beserta kerabatnya. Halaman dua dan halaman tiga dibatasi oleh candi paduraksa, sementara halaman pertama dibatasi oleh candi bentar.

Makam Mantingan selalu ramai dikunjungi saat acara khol untuk mengenang wafatnya Sunan Mantingan dengan upacara ganti luwur (penggantian kelambu).

Acara ini diadakan setiap tahun sekali pada tanggal 17 Rabiulawal, sehari sebelum peringatan Hari Jadi Jepara. Hingga saat ini, Makam Mantingan masih dianggap sebagai tempat yang sakral dan memiliki nilai kebudayaan bagi masyarakat Jepara dan daerah sekitarnya.

Kholifatun Maulintia Fajriati-mg