Oleh : M. Dalhar

Hari ini, sebagian masyarakat di Jepara merayakan Bada Apem. Sebuah acara doa bersama dengan makanan apem sebagai menu utamanya. Tampak adanya perpaduan antara nilai-nilai religi dan budaya. Inilah salah satu ekspresi dari ketuhanan yang berkebudayaan.

Cukup banyak nilai-nilai dalam Pancasila yang dapat kita jumpai di masyarakat. Cara beragama, bermusyawarah, gotong royong, saling menghormati, dan lain sebagainya. Hal ini menandakan, benar bahwa Pancasila digali dari kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila tidak diimpor dari tempat lain. Oleh sebab itulah secara alamiah dengan mudah kita temukan di tengah masyarakat kita. Misalnya adalah dalam pelaksanaan Bada Apem.

Bada Apem menjadi salah satu kekayaan budaya masyarakat Jepara. Setiap daerah yang merayakan memiliki jadwal yang berbeda-beda. Kondisi ini tidak lepas dari sejarah awal dilaksanakannya tradisi ini. Bada Apem rata-rata dilaksanakan pada Jum’at Wage pada bulan Dulqo’dah atau sasi Apit. Jika pada bulan tersebut tidak ada Jumat Wage, maka dapat dilaksanakan pada bulan Syawal atau Dzulhijjah.

Tradisi ini berisi doa bersama, bukan hanya untuk yang hadir, tetapi juga para ahli kubur yang telah mendahului melalui bacaan tahlil. Selain doa bersama, tampak nilai-nilai agama yang lainnya seperti sedekah, dan silaturahim yang dikombinasikan dengan budaya Jawa, yaitu Jumat Wage sasi Apit. Belum diketahui secara persis sejak kapan tradisi ini mulai ada dan berkembang di Jepara. Butuh penelitian lebih lanjut.

Dilihat dari pola tradisi ini, tidak jauh beda dengan yang lain. Semisal adalah manakib, tahlil, kupatan, atau acara selematan yang lain. Yang menjadi pembeda adalah menu utama yang disajikan, yaitu apem. Selain itu adalah waktu pelaksanaannya. Apem di Jepara tidak dibuat gunungan dan diperebutkan sebagaimana yang terjadi di Surakarta (Solo) dan Yogyakarta, atau di tempat yang lain.

Sore hari sebelum pelaksanaan, sebagian masyarakat saling mengirim apem kepada para tetangga. Bagi masyarakat yang hetrogen, semisal di Desa Bondo yang juga terdapat komunitas Kristen, apem juga dibagikan kepada non-muslim. Semangat untuk berbagi (kebahagiaan) ini menjadi nilai yang perlu dikembangkan.

Dalam fenomena Bada Apem tampak sebuah contoh menjalankan ajaran agama yang dikemas dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan. Jika nilai-nilai semacam ini dirawat dan dikembangkan dalam budaya yang lain, tentu dapat menjadikan masyarakat saling mengenal dan rukun. Rukun inilah menjadi salah satu modal persatuan dan kuatnya sebuah bangsa.

Sila Ketuhanan yang Maha Esa dalam usulan Soekarno pada 1 Juni 1945 awalnya adalah Ketuhanan yang Berkebudayaan. Ini tidak bertentangan. Soekarno hanya ingin menekankan bahwa masyarakat Indonesia yang hetrogen dapat saling menghormati atau tepa selira utamanya dalam hal beragama.

Nilai-nilai kerukunan dalam bentuk saling menghormati atau saling berbagi dapat menjadi pondasi kukuh dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sekaligus. Tanpa harus beretorika muluk-muluk, masyarakat yang seperti ini sudah mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Di tengah arus globalisasi yang tak terbendung seperti dewasa ini, mari senantiasa berupaya menjaga nilai-nilai luhur Pancasila. Tujuannya agar pondasi bangsa ini yang menjadi jati diri khas tidak larut atau bahkan hilang. Salam Pancasila….

Penulis adalah Ketua Forum Pemuda Pelestari Budaya dan Sejarah (FPPBS) Jepara