blank
Adat tradisi kenduri selamatan, telah ada sebelum agama masuk ke Nusantara. Kenduri selamatan dijadikan sarana berdoa bersama memohon anugerah Tuhan.(SB/Bambang Pur)

SELIKURAN merupakan tradisi kenduri yang digelar masyarakat Jawa, untuk menyambut malam Tanggal 21 Bulan Ramadan. Yang itu, kemudian dirangkai dengan kenduri menyambut tanggal-tanggal ganjil di akhir Bulan Puasa. Yakni telulikuran (23), selawe (25), pitulikur (27) dan sangalikur (29).

Kenduri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, sarana berdoa, meminta berkah. Kenduri yang lebih dikenal dengan sebutan selamatan atau kenduren, telah ada sejak sebelum agama masuk ke Nusantara.

Dalam Buku Bauwarna Tata Adat Jawa, karya Drs R Harmanto Bratasiswara (Yayasan Suryasumirat, Jakarta 2000), selikuran merupakan upacara adat Tanggal 21 Bulan Ramadan sebagai peringatan Nuzulul Quran pada Maleman (pasar malam) Sriwedari, Surakarta.

Oleh Serat Ambiya, disebutkan, tiap tanggal gasal (ganjil) sejak Tanggal 21 Ramadan, Nabi Muhammad SAW turun dari Gunung Nur setelah menerima ayat-ayat suci Al Quran.

Terkait itu, Keraton Surakarta sebagai Kerajaan Mataram Islam di Tanah Jawa, memperingati peristiwa tersebut dengan mengadakan upacara yang disebut Malem Selikuran. Yakni melakukan arak-arakan (kirab) dari Keraton ke Sriwedari (Kebon Raja atau Mbon Raja). Prosesi kirab diawali oleh Kiai Siswanda, yakni kereta harian Sri Sunan Paku Buwana (PB) Ke-X.

Yang diikuti oleh barisan pembawa pusaka keraton oleh kawula (warga) Pakasa (Paguyuban Keraton Surakarta), dirangkai dengan barisan pemikul jodhang (usungan berisi nasi dan jajan pasar) yang disertai para pembawa obor, ting (lampu minyak).

Setibanya di Sriwedari, dipanjatkan doa memohon keselamatan bagi negara dan bangsa. Seusai pembacaan doa, nasi tumpeng dan jajan pasar dibagi-bagikan kepada masyarakat.

Sangkalan

Arak-arakan Malem Selikuran, mempunyai makna memperingati Nuzulul Quran, juga untuk memperingati Kebon Raja Taman Sriwedari beserta pendirinya. Yakni Sri Sunan PB X. Kebon Raja dibuat mirip gambaran Taman Sriwedari milik Prabu Arjunasasrabau di Mespati.

blank
Prosesi kirab Malem Selikuran Keraton Surakarta Hadiningrat. Menyertakan barisan pembawa pusaka, usungan jodhang, obor dan ting lentera.(Dok.Abdi Dalem Keraton Surakarta)

Taman Sriwedari dibangun oleh Arsitek Keraton Surakarta Kanjeng Adipati Sosrodiningrat, ditandai dengan Sangkalan atau Surya Sengkala (penunjuk angka tahun) Janma Guna Ngesthi Gusti.

Acara Maleman Sriwedari pertama kali diselenggarakan pada Hari Rabu Wage Tanggal 28 Mulud Tahun Dal 1831 atau Tanggal 17 Juli 1901 dan diresmikan oleh PB-X bertepatan dengan tingalan dalem (ulang tahunnya). Malem Selikuran di Taman Sriwedari dimulai 1982, diprakarsai Panitia dari Keraton Surakarta.

Mengacu pada Malem Selikuran yang diadakan di Keraton Surakarta, masyarakat Jawa ikut mengadakan kenduri selamatan. Ada yang dilakukan di rumahnya masing-masing, atau di rumah tokoh warga seperti di rumah Kepala Dusun (Kadus) atau Lurah.

Budayawan Jawa peraih Anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM, menyatakan, tradisi menggelar kenduri selamatan pada setiap malem tanggal ganjil di sepuluh hari terkahir Bulan Puasa, dimaknai sebagai cara spiritual dalam menyambut Lalilatul Qadar.

Dalam menggelar Selikuran, disertakan tumpeng sewu (seribu), sebagai lambang anugerah lailatur qadar, malam kemuliaan setara seribu bulan (83 tahun) yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW beserta umatnya.

Bambang Pur