Oleh Komper Wardopo

blank
Komper Wardopo.(Foto:SB/Dok Disarpus Kebumen)

APA relasi kandasnya mimpi Hokky Caraka dkk tampil di Piala Dunia U20 dengan bonus demografi kita? Secara langsung tentu tidak ada.

Namun bila kita telaah, mempertimbangkan secara jernih berbagai faktor pendukung, sangatlah disesalkan kegagalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 2023, yang hanya tinggal dua bulan.

Apalagi sejak Juni 2023 nanti Indonesia sejatinya telah memasuki bonus demografi. Penduduk usia produktif (16-65 tahun) pada Juni tahun ini menurut BPS sekitar 69 persen dari 270 juta jiwa penghuni negeri ini. Artinya mayoritas penduduk Indonesia kini adalah usia produktif. Puncak bonus demografi itu akan datang sekitar 10-15 tahun mendatang.

Bonus demografi akan menjadi peluang dan harapan. Manakala anak muda siap dengan skil dan prestasi di berbagai bidang. Termasuk prestasi olah raga. Sebaliknya jika kreativitas dan SDM kaum muda kita tak mumpuni, tidak siap berkompetisi, ancaman seperti pengangguran tinggi dan kemiskinan tak terhindarkan.

Ungkapan Hokky Caraka, punggawa Timans U20, di media sosial paytut kita simak. Hokky secara berani menyindir berbagai pihak hingga elite politik negeri ini yang bersemangat memperjuangkan kemerdekan bangsa lain (Palestina). Bersamaan itu, menolak Timnas Israel, yang berarti rela mengubur mimpi anak muda bangsanya untuk tampil di Piala Dunia U20 yang sudah di depan mata.

Prokontra netizen media sosial menanggapi ungkapan hati Hokky, si anak Gunung Kidul DIY itu. Benar juga saran kepada Hokky Cs, masih bisa berlatih keras dan berprestasi dengan berusaha lolos pada Piala Dunia secara nomal, melalui babak Kualifikasi.

Namun tentu hal itu jauh lebih sulit, butuh proses dan waktu lama. Tuduhan netizen Hokky hanya mengutamakan mencari uang dari bermain bola sangatlah keliru. Pasalnya, Piala Dunia 2023 bisa menjadi pintu masuk dan berkelindan dengan upaya menggairahkan potensi persepakbolaan Tanah Air supaya makin berkembang dan maju.

Negeri dengan Pecinta Bola Terbesar

Ingat, kita ini negeri dengan jumlah pecinta bola terbesar di dunia . China dan India memang negeri yang memiliki populasi penduduk terbesar sejagat. Namun dua negara Asia itu pecinta sepak bola tidak sebanyak kita. Amerika Serikat, negeri nomor 3 jumlah penduduknya. Namun olah raga terpopuler di negeri Paman Sam itu bukan sepak bola.

Manakala bisa tampil di Piala Dunia U20, meski lolos otomatis sebagai tuan rumah, tetaplah menjadi kebanggaan seluruh anak bangsa. Pun asa anak muda Indonesia akan semakin membuncah, andai di ajang Piala Dunia Yunior Mohammad Ferarri dkk bisa tampil bagus dan maksimal. Syukur dengan dukungan suporter fanatik yang hadir di stadion, mampu membakar motivasi anak-anak muda itu tampil menggila agar lolos ke babak berikutnya.

Namun apalah daya, mimpi generasi era Marselino Ferdinan dkk itu telah kandas di Piala Dunia 20 tahun ini. Penolakan terhadap Timnas Israel oleh berbagai kelompok, kemudian dipertegas oleh sikap Gubernur Bali Wayan Koster dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, telah mengubur mimpi tersebut.

Organisasi sepak bola dunia, FIFA, tak bisa didikte. Secara tegas mereka telah mencabut status tuan rumah Indonesia. Timnas U20 pun gagal tampil di negeri sendiri. Persiapan empat tahun Timnas U20, ambyar dalam dua pekan gara-gara penolakan di tahun-tahun politik ini.

Padahal sepak bola bukan hanya olah raga. Sepak bola juga bukan politik. Namun kini telah menjadi media hiburan. Sepak bola juga bisa mendamaikan dan menyatukan. Sepak bola pun telah menjelma menjadi gaya hidup semua umur dan golongan, serta menjadi industri. Bahkan sepak bola terbukti menginspirasi jutaan anak bangsa di mana pun untuk bermimpi menjadi pemain profesional.

Sepak bola juga mampu menumbuhkan sikap nasionalisme sekaligus menyatukan warga bangsa. Kharisma dan bayaran jumbo sang mega bintang Lionel Messi Argentina dan Cristiano Ronaldo Portugal tentu menjadi bukti, sekaligus idola banyak orang dan kaum muda di mana pun.
Kisah sukses pemain bola dari Afrika pun bisa menjadi inspirasi. Benua hitam itu kini mampu melahirkan prestasi dan inspirasi melalui sejumlah pemain bola yang merumput di liga-liga terkemuka Eropa.

Sadio Mane, contohnya. Kita tahu, anak muda dari Senegal ini sering disebut melawan kemustahilan atas suksesnya bermain bola. Dia yang semula anak miskin, tekun berlatih di klub ternama, dan mampu menjadi pemain nasional, kini sukses tampil di Liga Eropa.

Hebatnya, sukses bermain bola dan meraih pundi materi, membuat Sadio Mane tetap rendah hati, rajin salat, dan berempati pada nasib bangsanya. Mau membantu untuk kesehatan, pendidikan dan mengatasi kemiskinan di negaranya dengan uang pribadinya.

Sebelumnya, kisah sukses Didier Drogba dari Pantai Gading tak kalah heroik. Melalui kancah sepak bola dia mampu menjadi juru damai bagi negerinya yang masih dilanda perang saudara pada. Di sela sukses bersama Chelsea, ia juga memimpin Timnas Pantai Gading lolos Piala Dunia 2006. Drogba, kapten Timnas kala itu didaulat berpidato dan meminta warganya berhenti berperang.

Multiplier Effect Industri Sepak Bola

Tentu masih banyak dampak positif dari kemajuan sepak bola, Andai Piala Dunia U20 jadi digelar di negeri ini, semakin banyak gairah anak muda berlatih bola untuk meraih harapan. Apalagi dikaitkan bonus demografi kita.

Harapan dari industri sepak bola Tanah Air semakin menggeliat. Menghidupkan sektor usaha lain, seperti pariwisata dan ekonomi kreatif (ekraf) di berbagai daerah. Manakala semua jenjang Liga Indonesia bisa diputar normal. Pembinaan usia dini bergairah.

Apalagi jika sepak bola masuk Kurikulum Pendidikan, maka pembinaan usia dini dari bangku sekolah dan madrasah semakin terlembaga. Sebab Kurikulum Merdeka saat ini mendorong bakat dan minat serta potensi anak didik sejak dini. Menyalurkan bakat dan hobi menjadi prestasi.

Bahkan multiplier effect dari setiap pertandingan sepak bola Liga I, II dan III maupun turnamen dan pertandingan persahabatan, akan meningkatkan industri olah raga. Bisnis penjualan tiket penonton, penjualan jersey dan atribut tim, bisnis alat olah raga seperti sepatu, bola kaki dan seragam tim hingga iklan dan hak siar televisi, tentu akan makin menggerakkan ekonomi.

Para elite politik dan berbagai kelompok yang menolak Timnas U20 Israel barang kali lupa. Potensi sekaligus ancaman bonus demografi itu akan datang. Namun, kita harus tetap optimistis. Sejarah mengajarkan, sejak era Pergerakan Nasional, Sumpah Pemuda hingga Proklamasi 1945, era Orde Baru dan Reformnasi, kaum muda selalu tampil sebagai pelopor.

Pada 1928, berbagai elemen pemuda di Nusantara, melupakan sikap etnisitas dan kedaerahan. Mereka meneriakkan Sumpah Pemuda sebagai semboyan untuk bersatu dan cinta Tanah Air. Pun demikian pada 1945. Meski Soekarno-Harta memproklamasikan Indonesia Merdeka, kaum mudalah dengan jiwa nasionalisme mendesak dwi tunggal itu segera membacakan Proklamasi.

Demikian pula kelahiran Ode Baru 1966. Mahasiswa dan kaum muda di garis depan. Pun pada awal Reformasi 1998. Anak muda, mahasiswa dan aktivis yang menginisiasi, bersatu padu menumbangkan Orde Baru. Kita tak boleh mengabaikan fakta sejarah dan bonus demografi. Mayoritas kaum muda penduduk negerii ini 10-20 tahun mendatang bakal mengambil alih peran.

Regenerasi itu Sunatullah. Bagi Hokky Caraka, Mohammad Ferarri, Marselino Ferdinan hingga Elkan Baggot dkk, meski nanti mungkin sudah tidak lagi bermain bola. Namun bersama kaum muda negeri ini, siap atau tidak, akan mengisi kepemimpinan di berbagai bidang.

Sebagai agen perubahan, kaum muda Indonesia tidak boleh patah arang. Hugo Samir dkk, tetaplah berlatih dan bermain bola. Majulah bersama kaum muda lainnya. Tengok sejarah, tatap masa depan. Yakinlah, posisi strategis kaum muda ada di setiap zaman. Semoga.

Penulis Ketua Pusat Kajian Sejarah dan Budaya IAINU Kebumen, wartawan Suarabaru.id