blank

SUARABARU.ID (Khutbah Jum’at di Masjid Abu Bakar Assegaf) Oleh : Moh Farhan SPdI SHum  MPdI, Dosen Fakultas Agama Islam Unissula 24 Maret 2023

Tidak terasa kita sudah bersua kembali dengan Ramadan bulan suci 1444 H, itu pertanda bahwa Alloh telah memberikan anugerah besar luar biasa bagi kita, untuk menyambut menyapa, dan bercinta dengan Ramadan-Nya.

رَمَضَانُ شَهْرُ اللهِ وَفَضْلُهُ عَلَى سَائِرِ الشُهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى خَلْقِهِ

Artinya: Ramadhan adalah bulan Allah. Keutamaannya dibanding bulan-bulan lain adalah bagaikan keutamaan Allah dibanding dengan makhluk-Nya. (Syekh Nashr ibn Muhammad as-Samarqandi, Tanbihu-l Ghafilin fi Ahaditsi Sayyidi-l Anbiyai wal Mursalin, Daru-l Kutubi-l Ilmiyyah, halaman: 186)

Dalam satu kesempatan ketika ketika Ramadhan tiba, Rasulullah menyampaikan kepada para sahabat pesan berikut ini:

وَقَدْ دَنَا شَهْرُ رَمَضَانَ لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِيْ رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ اُمَّتِي اَنْ يَكُوْنَ سَنَةً

Artinya: Ramadhan telah tiba. Seandainya para hamba Allah mengetahui terhadap apa-apa yang ada dalam Ramadhan, maka umatku pasti berharap agar bulan ini tetap ada selama setahun penuh. (Syekh Nashr ibn Muhammad as-Samarqandi, Tanbihu-l Ghafilin fi Ahaditsi Sayyidi-l Anbiyai wal Mursalin, halaman: 186

Ahlan wa sahlan bi hudzuri Ramadan, Marhaban Sahru Syiham.Marhaban Ya Syahru Qur’an

Berkait dengan ini, Prof Dr Qurais Syihab menyatakan bahwa, menjelaskan kata marhaban terambil dari akar kata rahb (رَحْبٌyang bermakna (وَاسِعٌ, رَحِيْبٌ), yaitu luas dan lapang. Sehingga apabila kita kaitan dengan konteks marhaban Ya Ramadan Ya Syahra Syiyam, berari kita menyapa tamu agung yang dating dan disambut, dan diterima dengan penuh lapang dada, penuh keceriaan, serta dipersiapkan bagi Ramadan tempat yang luas untuk melakukan aktifitas apa saja yang disenangi oleh bulan tersebut.

Awalnya dari kara rahbab ini lah terbentuk antara lain kata, ruangan yang luas. Maka untuk menyambut Marhanan Ya Syahra Ramadan, bermakna kami menyambutmu Ramadan, dengan penuh suka cita dan kegembiraan dan memepersiapkan diri untuk berupaya mengasah jiwa demi membahagiakan Ramadan dengan amalaiyah positif didalamnya.

Terkait dengan kenapa disebut Ramadan, tentu terbersit dalam benak fikiran kita. Ternyata kalai kita telusuri, bahwa dalam Bahasa Arab bulan identic dengan kata syahr yang berarti terkenal atau popular. Orang-orang Arab juga biasanya menyebut suatu hal nama, disesuaikan dengan keadaan yang terjadi pada saat itu, dimana nama kata Ramadan terambil dari akar kata Ramidha )     رَمِضَ ) yang bermakna “Sangat panas, dan membakar”. Kenapa disebut demikian ? sebab panas matahari yang sangat terik panas luar biasa menyinari padang pasir guru Arab saat itu. Dan bahkan ada juga yang menyebut tentang “batu karang yang membakar”.

Secara filosofis, makna Ramadan berarti membakar dosa-dosa yang pernah dilaksanakan dengan konsep menahan diri dari makan dan minum serta apa saja yang membatalkan sahnya puasa. Maka Rosululloh bersabda, “dinamakan dengan bulan Ramadan sebab ia cenderung akan membakar dosa-dosa yang telah dilakukan”.

Oleh sebab itu, pertemuan kita dengan Ramadan merupakan anugerah yang harus disyukuri dengan melakukan optimalisasi ibadah diniyyah didalamnya, bahkan lebih dari itu, bisa dimungkinkan melaksanakan kegiatan positif berupa ibadah ilmiyah sehingga datangnya Ramadan bagi kita akan membawa secercah berkah barokah dan kerahmatan didalamnya.

Maka pantas saja, jauh-jauh hari Rosul senantiasa berdoa :

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبَ وَ شَعْبَانَ وَ بَلِغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan (usia) kami berjumpa Ramadhan.” Seolah mereka juga memohon, “Ya Allah sampaikanlah aku dengan selamat ke Ramadhan, selamatkan Ramadhan untukku dan selamatkan aku hingga selesai Ramadhan

Kita mencoba mengisi malam siang dan malam Ramadan dengan kegiatan positif seperti berdzikir, tadarus alquran ataupun salaat tarawih berjamaah. Tentu saja yang perlu kita garis bawahi bahwa mengisi Ramadan tidak hanya dimakanai dalam dimensi ibadah Diniyyah saja namun bisa bernuasa ibadah ilmiyah, misalnya dalam hal tarawih dan tadarrus al-qur’an.

Terkait dengan salat tarawih misalnya, ada suatu keistimewaan yang amat besar, diantaranya, anjuran Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah RA, dan merupakan hadis sohih riwayat Bukhori dan Muslim, Nabi Muhammad bersabda :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ وَصَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya, “Barangsiapa beribadah (pada malam hari) bulan Ramadhan dan berpuasa karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), maka diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (Muttafaq Alaih).   Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam kitab Syarhun Nawawi ‘ala Muslim, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan beribadah pada malam hari bulan Ramadhan adalah dengan mengerjakan shalat sunnah Tarawih. Karena itu, mari kita jaga ibadah puasa kita di bulan ini, dan juga kita maksimalkan ibadah shalat Tarawih, agar bisa mendapatkan ampunan dari Allah swt sebagaimana hadits tersebut.​​​​​​​ Sebab apabila direnungkan, bahwa salat tawarih bermakfaat paling tida dua dimensi, pertama, dimensi ruhaniyah (manfaat ruhani), dan yang kedua dimensi jasmaniyah (manfaat jasmani). Manfaat ruhaniyah berupa diampuni dosa-dosa kita yang pernah dilakukan kepada Alloh SWT., tentu doa yang kecil kepada –Nya, walaupun juga berpotensi terserah Alloh, bahwa akan juga diampuni dosa besar kita kepada Aloh SWt. Seperti penjelasan Imam Abu Thayyib dalam Kitab ‘Aunul Ma’bud Syarhu Sunan Abi Dawuh:

أَيْ مِنَ الصَّغَائِرِ وَيُرْجَى غُفْرَانُ الْكَبَائِرِ

Artinya, “Yaitu, mulai dari dosa-dosa kecil, dan diharapkan ampunan dosa-dosa besar.”
Sedangkan dalam konteks manfaat jasmaniyah, paling tidak salat Tarawih akan mampu membentuk kesehatan tubuh. Tubuh menjadi terhindar dari berbagai penyakit yang berasal dari makanan yang telah dikonsumsi pada saat kita melaksanakan buka puasa. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhyiddin Mistu dalam Kitabnya yang terkenal yaitu Kitab As-Shaumu Fiqhuhu wa Asraruhu, halaman 111, ditegaskan bahwa :

صَلَاةُ التَّرَاوِيْحِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً وَتُفِيْدُ هَضْمَ الطَّعَامِ وَتَنْشِيْطَ الْجِسْمِ وَمَغْفِرَةَ الذُّنُوْبِ

Artinya, “Shalat tarawih sangat dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan, yaitu terdiri dari 20 rakaat, dan berfaedah menghancurkan makanan (dalam perut), membangkitkan semangat badah, dan ampunan dosa-dosa.”​​​​​​​

Alloh SWT telah berfirman dalam QS Al Baqarah 183 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.”

Ibadah puasa sebagai mana ibadah pada umumnya, tidak hanya berkaitan dengan soal sah tidaknya, tetapi jika didalami juga memuat beberapa ada yang harus direaliasasikan untuk menjaga kualitas dari ibadah puasa. Wajar saja jika Al Ghazali mengklasifikasikan orang berpuasa kedalam tiga strata, yaitu strata puasanya orang kalangan awam, strata kedua untuk kalangan khusus / khowash (orang-orang shalih), dan strata ketiga (tertinggi) untuk khususul khusus /khowasul Khowash (wali, nabi).

Imam Al Ghazali pun mengkritik untuk mengingatkan kita yang sedang puasa, bahwa:

كم من صائم مفطر وكم من مفطر صائم

Artinya, “Banyak orang berpuasa, tapi sejatinya tidak. demikian sebaliknya, banyak orang tidak berpuasa, tapi sesungguhnya dialah seperti orang yang berpuasa.”, demikian dalam Ihya ‘Ulumuddin, Juz 1, hal. 272)

Oleh sebab itu, perlu kita perhatikan nasihat yang disampaikan dalam Kitab Ad-Adabu Fi Din yang termuat dalam Majmu’ah Rasil al Imam al-Ghazali (terbitan Kaira, Maktabah At-Tauqifiyah, t.th, halaman 439) , Imam Al-Gazali menasihati kita bahwa kita perlu menjaga kualitas dan kuantitas esensi puasa dengan 6 adab:

آدَابُ الصِّيَامِ: طَيِّبُ اْلغِذاَءِ، وَتَرْكُ اْلمِرَاءِ، وَمُجَانَبَةُ اْلغِيْبَةِ، وَرَفْضُ اْلكَذِبِ، وَتَرْكُ اْلآذَى ، وَصَوْنُ اْلجَوَارِحِ عَنِ اْلقَبَائِحِ

Artinya: “Adab berpuasa, yakni: mengonsumsi makanan yang baik, menghindari perselisihan, menjauhi ghibah (menggunjing orag lain), menolak dusta, tidak menyakiti orang lain, menjaga anggota badan dari segala perbuatan buruk.”

Oleh sebab itu optimalisasi ibadayah diniyyah dan ilmiyah menjadi kunci dalam menjalani ibadah di Bulan Suci Ramadan ini.

Salah satu keistimewaan Bulan Ramadan, disebut dengan Bulan Alqur’an. Dimana pada Bulan ini Alqur’an diturunkan, dan Nabi Muhammad sangat senang untuk berinteraksi dengan AlQur’an pada Bulan Ramadan.

Namun seringkali bahwa ibadah tadarus Alqur’an di Bulan Ramadan hanya dimaknai dari sisi aspek ibadah Diniyyah saja, padahal sebetulnya terkait juga dengan ibadah Ilmiyah.

Dalam konteks interkasi dengan Alqur’an, paling tidak ada tiga (3) ulama terkenal yang menyoal hal ini. Pertama Imam Al-Ghazali yang menulis bab tata kesopanan membaca Al-Qur’an dalam Kitab Ihya Ulumuddin nya; 2) Imam An Nawawi yang secara khsusus dan detail dama membahas adab membaca dan menghafal Alqur’an dalam Kitabnya At Tibyan. 3) Syekh Prof Dr Yusuf Qardhawi, ulama Mesir yang menulis kita Kaifa Nata’amal Ma’al Qur’an (bagaimana mekanisme dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an).

Tentu bagi kita yang berada diwilayah civitas akademika, berintekasi dengan Al-Qur’an janganlah hanya berhenti dalam tataran membaca (tilawah) saja, namun lebih dari itu, karena hakikatnya berinteraksi dengan Al-Qur’an bisa berdimensi ibadah diniyyah dan ilmiyah.

Setidaknya ada 6 (enam) cara dalam Kaifa Nata’amal Ma’al Qur’an berinteraksi dengan Al-Qur’an apalagi di Bulan mulia penuh keberkahan bulan Ramadan ini.

Pertama, Tilawah, yaitu membaca.

Kedua, Tafhim, yakni memahami,

Ketiga, Tanfidz, melaksanakan.

Keempat, Tahfidz, menghafal.

Kelima, Ta’lim yaitu mengajarkan

Dan Keenam tahkim yaitu berpedoman pada Al-Qur’an.

Pertama Tilawah, kata ini secara khusus di gunakan Al-Qur’an untuk merujuk pada maksud membaca teks-teks suci yaitu kitab-kitab yang di turunkan kepada para Nabi baik itu kitab Taurat, Zabur, Injil maupun Al-Qur’an, sebagaimana contoh di dalam surat Al-Kahfi ayat ke 27 (utluu maa uhiya ilaika) dan surat Al-Baqarah ayat 129 (yatluu ‘alaihim aayatik).

Selain redaksi tilawah, ada kata lainya yang sering digunakan yaitu qara’a atau iqra, tetapi kata ini ternyata bersifat umum dan bisa diimplementasikan dalam konteks membaca teks apapun termasuk juga Al-Qur’an. Dalam ranah ini, membaca tentu saja menjadi aktifitas awal kita untuk berintekraksi dengan al-Qur’an, karena bagaimana kita akan mengenal al-Qur’an tanpa membacanya ? Oleh sebab itu sebagai Muslim, apabila belum mahir dalam mebaca Al-Qur’an silahkan untuk belajar secara optimal, insyaAllah akan dimudahkan, apalagi puluhan bahwa ratusan metode dalam membaca dan belajar Al-qur’an sangat banyak ragamnya.

Membaca Al-Qur’an merupakan perintah dalam ajaran islam oleh karenanya menjadi ibadah dan akan mendapat pahala kebaikan dari Allah SWT. Setiap ayat yang di baca akan di lipatgandakan pahalanya, dari Ibnu Mas’ud r.a. bahwa Nabi bersabda;

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ : آلم حَرْفٌ ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ واللَّامُ حرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ

Artinya: “Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, baginya satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatgandakan sepuluh. Aku tidak menyebutkan bahwa Alif Lam Mim adalah satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”. (H.R. Tirmidzi)

Tentu dengan membaca (tilawah) saja tidak cukup dan harus dibekali dengan kesesuaian antara tajwid dan makharijul huruf. Serta harus dibarengi dengan peningkatan berupa tafhim, yaitu mencoba dan berupaya untuk memahami secara ilmiah dan mengerti bacaan Al-Qur’an. Proses tafhim ini bisa diawali dengan tadabbur dan meningkatkan pemahaman terhadap bahasa Arab atau tafsirnyakarena dengan mengerti dan memahami kata dalam Al-Qur’an maka kita akan mengetahui isi darinya.

Setelah tafhim, kita diarahkan pada level berikut nya yaitu Tanfidz, berupa meksanakan dalam kehidupan sehari-hari secara bertahap, konsisten dan berkelanjutan, sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya. Setelah level ini kita diarahkan untuk menapak strata selanjutnya berupa tahfidz yaitu proses memindahkan ayat-ayat Al-Qur’an kedalam relung hati kita. Mengajapa perlu dihafal ? sebab Al-Qur’an merupakan bekal, pedoman dan sebagai waf of life bagi manusia yang akan selalu sholihun likulli zaman wa makan. Yang mana intamassaktum bihi lan tadzillu Abadan.

Selain itu tubuh ini ibadah raga yang perlu di chase seperti battery hand phone. Tubuh manusia harus selalu diberikan bacaan Al-Qur’an supaya senantiasa berisi signal ilahiyyah dan terkoneksi kepada Allah Sst, sehingga dengan nya akan muncul konsep ihsan yang menyatu dalam diri sanubari. Dimana pun dan dalam situasi apapun selalu merasa diawasi oleh Alloh Swt, an ta’budalloh ka’annaka taroh, fainlam takun taroh fainnahu yaroka. Sehingga nilai-nilai spirit puasa akan bisa melekat dan diri setiap Muslim. Dalam konteks ini setiap kita harus menghiasi diri dengan Al-Quran, sahabat Abdullah bin Abbas r.a, berkata bahwa Nabi pernah bersabda:

عَن ابِي عَبٌاسٍ رَضَيِ اللٌهُ عَنُهمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَيِ اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ اِنَ الٌذِي لَيسَ فيِ جَوفِه شَي مِنَ القُرانِ كَالَبيتِ الخَرِبِ.

Artinya: “Barang siapa yang tidak ada dalam tenggorokannya ayat Al-Quran maka seperti rumah yang rusak.” (HR. Tirmidzi)

Setelah Tahfidz, interaksi berikutnya adalah level Ta’lim, yaitu mengajarkan kebali Al-Qur’an kepada orang lain. Maka civitas akademika, harus berupa untuk belajar dan kemudian mengajarkan al-Qur’an kepada orang lain, minimal putra putri, keluarga dekat dan masyarakat secara umum. Sebab hal ini merupakan aktifitas dan tugas paling mulia yang disabdakan Nabi.

عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ.

“Sebaik-baiknya kamu adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya”. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzy, Nasai, dan ibnu Majah)

Setelah ta’lim level berikutnya berupa tahkim, yaitu berpedoman dan menjadi Al-Qur’an sebagai way of life, pedoman dalam kehidupan. Maka standar kehidupan kita adalah Al-Qur’an, itulah puncak interakti dengan Al-Qur’an sebagaimana inpirasi Prof Dr Yusuf Qordlowi dalam Risalah Kaifa Nata’amal Ma’al Qur’an.