blank

Oleh  :  Sunardi KS

Bapak saya almarhum, meninggal tahun 1983, pernah membaca buku yang bagus. Buku itu beliau pinjam dari pamannya, adik ipar nenek saya. Judul bukunya, siapa pengarangnya, tentu saja saya lupa. Saya hanya mencuri-curi baca ketika buku itu sedang tergeletak, ketika bapak saya tidak membacanya. Buku itu — yang saya masih ingat, membahas tentang rahasia manusia. Buku filosofi Jawa.

Di dalam buku itu antara lain dibahas, di dalam tubuh manusia itu diibaratkan kerajaan. Rajanya, kalau saya tidak salah ingat, adalah pikiran. Patihnya, juga kalau saya tidak salah ingat, adalah hatinya. Saya tidak ingat betul, tak ingat sepenuhnya karena, ketika saya mencuri-curi kesempatan membaca buku itu usia saya masih belasan tahun. Dan kejadian itu di sekitar tahun 70-an. Sungguh.

Di dalam kesempatan ini ijinkanlah saya membahas tentang hati dan pikiran, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan buku yang pernah dibaca bapak saya dulu. Baiklah, pikiran masih tetap dianggap sebagai ‘raja’. Tetapi hati, saya umpamakan sebagai ‘penasehat raja’.

Karena raja, pikiran, seringkali bertindak semaunya. Apa lagi posisi raja pada jaman dahulu, dulu sekali ya, hem. Seolah-olah raja-raja diposisikan sebagai ‘Wakil Tuhan’. Maka apa pun kehendaknya harus ditaati. Ucapan raja sering disebut sabda. Maka ada ungkapan ; sabda pandita ratu. Ucapannya ibarat ucapan pandita, dianggap orang yang memiliki kesucian dan kesaktian lebih, punya daya linuwih. 

Seringkali digambarkan, kesaktian raja kalau dibantah sabdanya akan mendatangkan kutukan, bilahi/bla’i (Jawa). Rakyat atau kawula harus manut apa adanya. Raja punya kuasa. bahkan saking saktinya raja, bisa mempersunting makluk halus, jin (misalnya). Pusakanya bisa menjelma binatang buas dan sebagainya. Sampeyan bisa menandai sendiri, apakah kira-kira itu sungguhan atau mitos.

Hati diibaratkan sebagai ‘penasehat raja’. Gambaran sebagai penasehat raja biasanya orangnya sudah tua (sepuh), ilmunya sudah lumayan banyak/tinggi. Terutama di bidang spiritual atau agama. Penasehat raja seringkali dipangggil ‘paman’ oleh raja. Biasanya masih kerabat raja sendiri.

Bagi raja peranan penasehat bisa sepenuhnya dihargai, dipercaya nasehat-nasehatnya, ditaati. Dan juga bisa tidak dihargai sama sekali, semua omongannya dicibir. Bahkan bisa dianggap sosok yang kurang memberi kebebasan berpikir untuk menentukan, sesuai kehendak pikirannya sendiri. Tentu semua itu tergantung tingkat keimanan dan kepribadian raja. Raja toh pada hakekatnya manusia biasa.

Itu adalah kenyataan yang seringkali terjadi. Atau setidak-tidaknya yang seringkali digambarkan oleh ketoprak ketika berpentas, dan sedang menggambarkan adegan kerajaan. Dan bahasan di dalam persoalan tulisan ini adalah bahasan soal ‘kedudukan’ hati dan pikiran, yang mempengaruhi sikap, perilaku baik atau buruk manusia.

Gambaran Manusia

Maka yang kerap terjadi pada manusia, manusia kerap menganggap, pikiran adalah segala-galanya. Karena dari pikiran manusia bisa menentukan nasibnya, keberuntungannya, masa depannya, hari-hari panjangnya, keturunannya. Bahkan bangsa dan negaranya, bahkan akhiratnya. Karena pikiran, yang membedakan antara manusia, sebagai makhluk yang unggul dibanding makhluk yang lain. Semuanya karena tidak berpikir adalah bodoh.

Oleh karena itu yang kerap terjadi, manusia seringkali menentukan segala hal (hanya) dengan pikirannya saja. Hati, yang sebagai ‘penasehat’ kerap diabaikan. Meski pun hati tidak setuju dengan tindakan pikiran, pikiran seringkali pura-pura tidak mendengar kata hatinya.

Kalau ada perbuatan buruk yang dilakukan oleh manusia, yang digerakkan oleh pikiran, meski hatiya berbisik menasehati, pikirannya, akalnya, seringkali menyanggah. Supaya tindakan itu tetap berjalan, karena menguntungkan. Meski pun keuntungan yang sesaat, meski pun keuntungan yang membawa akibat, dampak buruk pada akirnya. Meski ‘kedudukan’ hati sebagai penasehat pikiran (raja) tetapi hati masih saja kerap kurang dianggap. Bahkan hati kerap disepelekan, kerap diremehkan.

Contoh, ada sabda raja, dalam hal ini tentu sabda pikiran. Tetapi tidak ada yang mengatakan sabda hati, sabda penasehat. Yang ada hanya kata hati, bahkan lebih diremehkan lagi dikatakan ; kata hati kecil. Jadi hati dikecilkan, keberadaannya. Barangkali hanya upaya untuk membedakan dengan ‘hati besar’ atau ‘besar hati’, yang ‘berbesar hati’. Ada pun maknanya ; gembira, ikhlas, tabah.

Padahal ‘hati kecil’ atau ‘kecil hati’ bisa bermakna pesimis, sedih, gulana nelangsa, dan segala hal yang negatif-negatif. Jadi antara hati dan pikiran atau akal seringkali tidak nyambung. Sehingga kerusakan dalam tatanan hidup bisa atau gampang terjadi. Kebenaran sering dianggap kurang penting, kejujuran sering dianggap penghalang.

Lalu hidup seolah-olah telah merambah ke apatis, apatia, atau apathia (Yunani). Adalah hidup tanpa atau hampa perasaan. Hal yang seperti itu sesungguhnya akan jauh dari kebahagiaan. Kebahagiaan, menurut filosof Epikurus adalah hidup yang bisa menyeimbangkan antara kenikmatan dengan pengendalian diri. Keseimbangan batin (hati/jiwa) sebagai hasil dari kontemplasi yang menandai bebas atau berkurang dari emosi atau kenggrangsangan pikiran, ambisi.

Sebenarnya hati bisa berperan sebagai spion. Yang bisa mengetahui, memberi tahu, apabila sewaktu-waktu terjadi bahaya, akibat kecerobohan pikiran. Hati adalah kontrol, pengendali. Maka hati bisa bersifat penyabar, penyejuk. Bisikannya, nasehatnya, bisa merupakan penyelamat bagi pikiran yang seringkali bersifat grusa-grusu, tergesa-gesa menentukan, cenderung bernafsu, ambisius.

Maka di ranah religi hati sebagai penanda. Meski secara fisik hati itu kecil, (bentuknya) tersembunyi, tetapi mewakili seluruh tubuh bahkan mewakili pikiran. Kalau hati itu baik akan baik semuanya, baik seluruh tubuh maupun pikiran. Tetapi sebaliknya kalau hati itu buruk akan buruk semuanya.

Kalau hati itu baik, maka akan menciptakan ‘keagungan batiniah’. “Dan keagungan batiniah” kata Harold Sherman, penulis dari Michigan, Amerika Serikat, “yang akan menentukan keagungan lahiriah. Itu sebabnya ‘keagungan batiniah’ mesti dibentuk terlebih dahulu jika ingin membentuk ‘keagungan lahiriah’

“Pekerjaan terpenting yang mesti dilakukan manusia di dunia ini adalah mengasah dan mengembangkan pikiran. Tetapi perlu diimbangi oleh ketabahan hati, supaya bisa kuat menghadapi tekanan, yang kadang justru datang dari pikirannya sendiri”

‘Keagungan batiniah’ yang menuntun manusia ke arah baik, sadar akan ‘keberadaan Tuhan’ Itu semua adalah pimpinan hati. Hati yang senantiasa mengajari hidup dengan rasa, lalu menciptakan ‘cinta’ bagi sesama hidup. Hidup manusia, tanpa adanya ‘hidupnya hati’ hanyalah wujud daging yang bergerak saja. Maka menjaga kesehatan fisik itu penting, dan menjaga kesehatan hati sesungguhnya jauh lebih penting lagi.

Karena hati sesungguhnya bisa menenangkan pikiran, bisa menentramkan. Dan ketenangan serta ketentraman manusia itu menentukan kesehatan fisiknya. Yang ketika kita control kesehatan fisik di rumah sakit, berjubel antreannya. Kita tidak pernah, atau belum pernah melihat, orang-orang berjubel sebab ingin sehat hatinya.

Penulis adalah sastrawan  dan budayawan yang tinggal di Jepara