JAKARTA (SUARABARU.ID) – Kegiatan kuliah umum Modul Nusantara Mahasiswa Inbound PMM 2 di Universitas Syiah Kuala diikuti oleh 60 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Di dalam kuliah umum sebagai materi refleksi dan inspirasi dihadirkan dua tokoh terkemuka di Aceh yaitu Asnawi Zainun selaku Ketua Majelis Adat Aceh Kabupaten Aceh Besar dan Kho Khie Siong, Ketua Yayasan Hakka Aceh.
Asnawi Zainun adalah tokoh di Aceh yang memiliki kontribusi besar untuk menjaga keluhuran dari adat istiadat yang ada di Aceh. Ia sangat memperhatikan hukum adat yang memberatkan perempuan, mendukung adanya feminisme serta revolusi terhadap wanita di Aceh.
Ia menggunakan pakaian dengan motif khas aceh yakni pintu Aceh yang memiliki filosofi terbuka untuk kebaikan tdan tertutup untuk keburukan. Jika orang Aceh tertutup maka nama Aceh tidak akan ada”. Ujarnya.
Menurut Asnawi Zainun, nama Aceh berasal dari empat bangsa penyusunnya. ACEH ialah singkatan dari, A yaitu bangsa Arab, C berasal dari bangsa China, E berasal dari bangsa Eropa, yang terakhir ialah H yaitu masyarakat Hindustan.
Keempat bangsa ini datang ke Nusantara masuk melalui selat malaka untuk berdagang sehingga banyak yang menjalin hubungan dengan masyarakat lokal sehingga masyarakatnya memiliki ciri fisik yang berbeda. Selain itu dijelaskan pula bahwa nama Aceh ini konon berasal dari pedagang India yang datang masuk ke sungai Aceh kemudian berteduh dibawah pohon yang rindang kemudian melihat pemandangan sekitar lalu mengucapkan “acha..acha” yang berarti indah.
Ia juga menjelaskan budaya yang ada di Aceh tak akan lepas dengan yang namanya HADIH MAJA. HADIH artinya pepatah atau perkataan. MAJA ialah orang tua, leluhur atau nenek moyang. Jadi hadih maja adalah perkataan orang tua (leluhur) yang memiliki arti filosofi tertentu.
“Di Aceh norma yang mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan Haddih Maja yang terdiri dari 4 macam hukum yaitu Adat bak Poteue Meureuhom, Hokum bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang dan Reusam bak Laksamana/Beuntara,” terangnya.
Menurut Asnawi Zainun, ada beberapa norma yang mengatur tata kehidupan orang Aceh yang disimpulkan dalam lembaga-lembaga tertentu. Yang pertama ialah adat berdasarkan kewenangan Allah SWT dan Raja yaitu Sultan Iskandar Muda. Kemudian Hukum yang berdasarkan pada Syiah Kuala yang memegang kewenangan tertinggi dalam hukum. Ini artinya syariah Islam yang ada di Aceh adalah hukum yang ditafsirkan dalam kitab yang dibuat Syiah Kuala.
Kemudian Kanun yang merujuk pada Putroe Phang atau Putri Pahang ini merupakan perempuan dari Malaysia yang kemudian menikah dengan Sultan Iskandar Muda raja Aceh. Ia membentuk lembaga legislasi di Aceh yang tugasnya menyusun peraturan tertulis saat ini disebut Lembaga Mahkamah Aceh. Sedang yang terakhir ialah Reusam yaitu aturan-aturan protokoler yang merujuk pada Laksamana Malahayati.
“Uniknya dari empat norma yang berlaku di Aceh dua diantaranya ialah dari pemikiran seorang wanita yaitu Putroe Phang atau Putri Pahang dan Laksamana Malahayati. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh menempatkan Perempuan pada tempat yang tinggi atau terhormat,” ujar Asnawi Zainun.
Kuliah umum yang kedua disampaikan oleh Kho Khie Siong, Ketua Yayasan Hakka Aceh) yang merupakan yayasan masyarakat Tionghoa yang ada di Aceh . Ia merupakan aktivis China yang lahir dan tumbuh dengan kebanggaan sebagai warga Aceh.
Yayasan Hakka Aceh ada untuk mengajak masyarakat Aceh untuk lebih bergaul dengan masyarakat lokal yang mayoritas beragama Islam. Yayasan ini melakukan kegiatan di bidang pendidikan, sebagai penyalur dana untuk orang yang sangat membutuhkan dukungan dalam finansial.
Kemudian juga sosial dan kemanusiaan, mulai dari donor darah. Selain itu dalam bidang kesehatan, juga membantu warga Aceh yang sakit sampai pulih total. Yayasan Hakka ini ingin menguatkan solidaritas bertoleransi terhadap umat beragama dan etnis dia Aceh” tutur Pak Aky.
Yayasan ini juga secara aktif dalam meleestarikan seni, budaya, serta olahraga dalam mengenalkan kebudayaan Tionghoa yang murni sebagai olahraga tanpa ada unsur mistik ataupun yang menyinggung agama. “Saya membawa wushu sebagai cabang olah raga tersulit dari negeri luar ke Aceh murni sebagai olahraga, dan saat ini banyak atlet yang menjuarai berasal dari muslim Aceh yang tergabung dalam yayasan kami” jelasnya.
Juga dikembangkan perlombaan catur China, kolaborasi tari seudati Aceh dengan pertunjukkan barongsai yang pertama kali dipentaskan dalam Festival Peunayong atau Festival Kebudayaan Tionghoa di Banda Aceh.
Hadepe – Amaliyatul Hidayah R