blank
Salah satu adegan dalam film "Silat Tani" garapan tim Ekspedisi Indonesia Baru. Foto : SB/Muharno Zarka

 

WONOSOBO(SUARABARU.ID)-Komunitas Jurnalis Wonosobo (KJW) mengajak berbagai komunitas seni, pegiat lingkungan, youtuber, kaum milenial, jaringan tani dan aktifis Gusdurian untuk nonton bareng (nobar) film “Silat Tani”, di Ruang Audio Visual Gedung Dinasr Arsip dan Perpustakaan Daerah (Arpusda), Senin (5/9/2022) sore tadi.

Film “Silat Tani” merupakan karya dokumenter tim Ekspedisi Indonesia Baru yang digawangi Farid Gaban (jurnalis senior-Wonosobo) Dandhy Dwi Laksono (sutradara-Jakarta), Yusuf Priambodo (fotografer-Tuban Jatim) dan Benaya Ryamizard Harobu (kameramen-Sumba NTT).

Film menggambil setting di dataran tinggi Dieng, seperti di lokasi proyek goethermal panas bumi dan lahan pertanian di Sigedang Kejajar, areal persawahan di wilayah Selomerto Wonosobo, lokasi tambang batuan andesit Desa Wadas Purworejo dan hamparan tanaman padi di Mlati Sleman Yogyakarta.

Nobar film berlatar belakang petani itu juga dilanjutkan diskusi bersama. Bertindak sebagai keynote speaker Fahmi Hidayat (Kepala Diskominfo Wonosobo) dan pemantik diskusi Muharno Zarka (Ketua KJW), Haqqi El-Anshary (pegiat Gusdurian) serta Aldhiana Kusuma Wardhani (Kabid IKP Diskominfo).

Fahmi Hidayat mengaku mengenal Farid Gaban dan Dandhy Laksono sudah sejak lama sebagai teman diskusi. Keduanya merupakan sosok yang luar bisa dan aset tak ternilai di negeri ini. Kepeduliannya para petani dan kerusakan lingkungan, tak pernah surut dan terus diangkat ke ranah publik.

“Karya film Silat Tani berusaha memotret realitas di kalangan petani yang selalu terpuruk akibat hargat produk pertanian yang selalu rendah. Juga ekploitasi lingkungan yang menyebabkan kerusakan kesuburan tanah dan nasib petani yang jadi korban industrialisasi,” ucapnya.

Perspektif Sosial

blank
Salah satu tim Ekspedisi Indonesia Baru, Farid Gaban. Foto : SB/Muharno Zarka

Haqqi El-Anshary menyebut secara tehnis dari cara pengambilan gambar dan sudut pandang film ini, sudah sangat sempurna. Maklum mereka berlatar belakang sebagai jurnalis senior, fotografer dan kameramen yang sarat pengalaman.

“Saya kira, teman-teman, terutama kalangan milineal, bisa belajar dari produksi film ini dalam membuat konten-konten kreatif. Dari sisi tehnis maupun konten sangat baik sekali. Bisa menggugah nalar kritis. Jadi tidak sekadar menghibur tapi juga mengasah perspektif sosial,” tegasnya.

Sementara itu, Muharno Zarka menyampaikan pihaknya sengaja mengajak berbagai komunitas untuk nobar film garapan pertama tim Ekspedisi Indonesia Baru itu. Film dokumenter ini layak ditonton oleh kaum milenial yang kini banyak tidak bersentuhan dengan dunia pertanian.

“Sebagai jurnalis dan sutradara, Mas Farid dan Mas Dandhy selalu bepihak pada nasib wong cilik, terutama kaum petani. Realitas yang disajikan melalui karya film merupakan sesuatu yang nyata terjadi di masyarakat,” terangnya.

Kabid IKP Diskominfo Aldhiana Kusuma Wardhani mengapresiasi inisiatif KJW yang mengajak berbagai komunitas di Wonosobo nobar film dokumenter tersebut. Setidaknya dari acara itu, penonton bisa terbuka wawasanya untuk melihat perihal potensi pertanian sekaligus seluk-beluk nasib petani.

“Karya film yang diciptakan keduanya selalu menimbulkan tanda tanya. Kok judulnya “Silat Tani”? Apa maksudnya? Film ini, semestinya, tidak cukup ditonton kalangan tertentu atau kelompok terbatas. Teman-teman di birokrasi, sekali waktu, juga bisa diajak nobar film cukup inspiratif ini,” ucap Aldhiana.

Muharno Zarka